Sekian hari lalu, tiga bocah (Abad Doa Abjad, Sabda Embun Bening, dan Bait Daun Takjub) memiliki permainan memicu lapar. Pagi, mereka sudah menata batu bata, mengumpulkan ranting, dan mempersiapkan alat-alat. Oh, mereka bermain masak-masakan di bawah pohon pisang dan jambu! Peristiwa kecil di bulan Ramadhan. Mereka ingin bahagia.
Lihatlah, api itu membuat wajan kecil berisi air blekuthuk–blekuthuk. Daun-daun dirajang untuk ditaruh di air mendidih. Mereka memiliki tugas: menjaga api, mengaduk, dan menata piring. Ibu berpredikat mandor dan memberi petunjuk-petunjuk. Pagi, tiga bocah berimajinasi memasak dan makan bersama. Si bapak melihat mereka sambil menjemur pakaian meminta sentuhan matahari. Pagi itu sederhana dengan peristiwa kecil di halaman belakang ketimbang murung gara-gara wabah.
Berpuasa tapi membuat peristiwa berimajinasi memasak dan makan? Memasak itu memberi kepuasan atas selera. Berimajinasi makan itu pilihan menguji iman, memastikan ibadah puasa tak biasa-biasa saja. Bapak merasa lega melihat tiga bocah memilih bermain masak-masakan: kesibukan membuat waktu bergerak meski tak cepat. Bapak belum memberi ke mereka buku tebal berjudul Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia (1967). Buku tebal banget disusun gara-gara seruan Soekarno menginginkan ada album lengkap (resep) masakan di seantero Indonesia.
Soekarno menjadikan Indonesia teringat dan termuliakan di atas meja makan. Pada masa berbeda, buku dicetak ulang oleh Kobam. Harga tentu mahal. Buku edisi lama dan baru dimiliki bapak tapi belum diniatkan menjadi bacaan bagi tiga bocah masak-masakan. Kelak, buku tetap untuk mereka bila berpikiran ingin berindonesia dengan masakan. Bapak juga sudah memiliki buku berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini (2005).
Bersandar di tiang, bapak mulai melamunkan perempuan. Ia belum ingin berbagi cerita untuk tiga bocah mengenai perempuan cantik dipuja di masa lalu. Ia bernama Ida Iasha, terkenang dengan film-film dan iklan sabun mandi. Ida Iasha, idaman bagi kaum lelaki sering melamun di depan televisi atau memandangi gambar di majalah. Di Tempo, 29 April 1989, kita melihat ia mengenakan kerudung. Anggun. Penulis lekas teringat dan membandingkan dengan artis pujaan sudah berkerudung dan menjadi istri “pedagang roti” di stasiun-stasiun kereta api: A Soebandono. Ah, kita belum ingin berimajinasi kecantikan! Kita mau mengingat masalah makan.
Ida Iasha berpuasa tapi tetap bekerja dalam pengambilan gambar untuk film berjudul Giliran Saya Mana. Film komedi. Ida Iasha diminta sutradara melakukan adegan makan. Puasa tak boleh batal. Terbaca di berita: “Akhirnya, adegan (makan) itu menggunakan trick. Kamera menembak dari arah samping.” Ida Iasha pura-pura makan. Ia pun mengaku tak ngiler saat melihat makanan-makanan enak di meja. Oh, ia berhasil melawan godaan terlezat! Berita terbaca saat Ida Iasha sudah memeluk Islam, sejak tiga tahun lalu.
Tiga bocah sudah selesai bermain masak-masakan. Mereka berada di depan televisi. Iklan-iklan makanan dan minuman terus disiarkan memicu lapar dan haus. Dua bocah tetap tabah. Bait Daun Takjub memilih makan dan minum, mengaku puasa tapi tetap rajin makan dan minum, sejak pagi sampai sore. Mereka belum mengenal Ida Iasha. Bapak agak rikuh bercerita artis masa lalu. Pengenalan mungkin tak berfaedah bagi mereka. Pada suatu masa, tiga bocah itu mungkin ingin melihat film-film lawas Indonesia. Mereka bisa melihat Ida Iasha dan Rhoma Irama dalam film berjudul Bunga Desa. Begitu.