Sehari untuk menghormati. Pada 16 Januari 2022, orang-orang melihat tampilan Google Doogle. Sosok mungkin tak lekas teringat nama dan peran. Perempuan berkacamata dikelilingin bocah-bocah bermain. Di situ, gambar matahari, awan, dan tempat bermain. Sosok tak gampang dikenali kaum muda mengalami hidup berlatar abad XXI.
Orang melihat sejenak. Perempuan itu bukan artis. Ia bukan sosok dalam politik Indonesia mulai ramai dengan kaum perempuan. Sosok berperan besar belum tentu selalu terceritakan saat tahun-tahun berlalu.
Ia bernama Ibu Kasur (1926-2002). Orang mengetahui nama dan secuil biografi bila mau menggerakkan jari bermisi “pencarian” di internet.
Minggu ingin cerita. Di tatapan mata, Ibu Kasur mengembalikan nostalgia bagi kita bersenandung dan bermain. Dulu, kegembiraan kita sebagai bocah turut dalam pengasuhan Pak Kasur dan Ibu Kasur. Pasangan itu membahagiakan anak-anak selama puluhan tahun. Terkenang bagi orang masih memberi perhatian atas pendidikan dan lagu untuk anak-anak.
“Pemasangan Ibu Kasur sebagai tampilan depan mesin pencari itu seakan mengajak masyarakat untuk tak melupakan perempuan kelahiran 16 Januari 1926,” tertulis di Koran Solo, 17 Januari 2022. Kita prihatin dengan penggunaan diksi “seakan”. Kita belum dalam kesungguhan.
Kita membaca berita dengan sekian data mungkin “salah”. Sumber-sumber berupa buku atau hasil wawancara tiada tercantum bagi pembaca ingin (makin) mengenali Ibu Kasur.
Keterangan penting: “Bersama Pak Kasur pula, ia menjadi pembawa acara Taman Indria di TVRI dan juga pendiri TK Mini di Jakarta. Ketika televisi swasta muncul pada awal 1990-an, Ibu Kasur tampil dalam acara kuis Hip Hip Ceria.” Keterangan agak meragukan berkaitan lagu gubahan Ibu Kasur. Di berita, kita membaca daftar lagu: “Kucingku”, “Bertepuk Tangan”, “Lihat Kebunku”, “Menanam Jagung”, “Naik Delman”, dan “Main Sembunyi”. Kita bisa melakukan lacakan keterangan berkaitan Ibu Kasur dan gubahan lagu berdasarkan buku-buku masih bisa ditemukan.
Pada 1987, terbit buku berjudul Pak Kasur, Pengabdi Pendidikan disusun oleh Sides Sudyarto DS, Pertiwi B Hasan, dan Naning Pranoto. Buku menghormati Pak Kasur, mengikutkan pula Ibu Kasur. Di situ, kita membaca pengisahan dari Ibu Kasur: “Saya pada mulanya memiliki hobi lain. Tetapi karena saya ini orang kuno dan menaati pepatah, ‘Istri yang baik akan mengikuti suaminya ke mana saja, termasuk ke liang semut.’ Nah, karena itulah saya lalu mengikuti jejak Pak Kasur.” Di ingatan publik, Ibu Kasur adalah pendidik. Ia pun menggubah sedikit lagu dan turut dalam perkembangan bacaan anak di Indonesia.
Keputusan mengikuti atau menemani Pak Kasur dalam pendidikan anak dan acara-acara untuk anak-anak, Ibu Kasur “menemukan dunia baru yang sangat menarik”. Ia berbahagia dengan mendidik anak-anak. Ibu Kasur memilih membahasakan “sekadar berkumpul untuk bergembira”, bukan mendidik. Kita tetap mengartikan Pak Kasur dan Ibu Kasur mendidik melalui pelbagai cara.
Peran sebagai istri dibuktikan dengan meladeni Pak Kasur. Kita terharu atas kesetiaan dan ketulusan Ibu Kasur: “… maka saya sediakan kertas dan pensil di mana-mana. Alat tulis itu lalu digunakan oleh Pak Kasur. Maka, lahirlah ratusan lagu untuk anak-anak. Dan, saya ikut berterima kasih kepada siapa pun yang mau menyanyikan lagu-lagu Pak Kasur.” Di pelbagai tulisan atau berita, Ibu Kasur dianggap menggubah lagu berjudul “Naik Delman”. Penggubah lagu itu Pak Kasur.
Pada suatu hari, Pak Kasur dan Ibu Kasur melakukan perjalanan ke pelosok. Di persawahan, pasangan itu melihat orang mencangkul sambil bersenandung. Ibu Kasur berkata: “Pak, dengarlah, lagumu dinyanyikan orang yang sedang mencangkul itu!” Mereka terharu dan bahagia. Ibu Kasur mengungkapkan: “Ternyata, apa yang pernah kami lakukan dahulu dianggap berguna bagi orang lain. Padahal, kami merasa hanya berbuat sedikit sekali.” Kesederhanaan dan sikap mendidik Ibu Kasur menjadikan kita bergerak menjauh dari nalar-akademik atau popularitas berdalih komersial.
Anita Rachman, pembaca berita kondang di TVRI masa lalu, mengagumi Ibu Kasur. Pujian pantas dan cocok: “Orang boleh saja menggembar-gemborkan emansipasi dalam segala bentuknya yang muluk-muluk itu. Tetapi, menurut saya, Ibu Kasur-lah salah seorang yang telah berhasil mencapainya dalam arti yang sebenar-benarnya.” Kita memiliki tokoh jarang menempatkan dalam arus besar gerakan perempuan. Sosok tekun dan tulus mendidik itu berpengaruh meski pengisahan pada masa-masa berbeda sering tak lengkap.
“Justru dengan kesetiaan dan pengabdiaannya kepada suami, beliau membuktikan kemampuannya sebagai pendamping dan penopang sejati, yang mampu meneruskan tugas suaminya yang mulia itu,” penilaian Anita Rachman. Kita diajak berpikir (lagi) mengenai suami-istri dalam pengabdian pendidikan dan usaha-usaha memuliakan Indonesia. Dua sosok itu berperan besar.
Pengenalan dan kekaguman dari dekat diungkapkan Seto Mulyadi. Dulu, ia pernah mendapat pesan dari Pak Kasur bakal menjadi “penerus” atau “pelanjut”. Di buku berjudul Kak Seto: Sahabat Anak-Anak (2008) susunan Evi Manai, kita membaca peristiwa bermakna. Pada suatu hari, Kak Seto melihat acara Taman Indria di televisi. Ia kagum dan ingin bertemu Ibu Kasur selaku pengasuh acara. Kak Seto bergerak menuju rumah Pak Kasur-Ibu Kasur. Ia ingin menjadi seperti Ibu Kasur dan Pak Kasur: dekat dan bermain bersama anak-anak. Pertemuan dan percakapan bersama tokoh dikagumi itu tercatat 4 April 1970. Hari diakui bersejarah dalam keputusan Kak Seto mengabdi dalam pendidikan anak-anak.
Tahun-tahun berlalu, Ibu Kasur dan Pak Kasur terkenang oleh publik. Pada abad XXI, ketokohan itu mungkin surut akibat ketiadaan pengisahan dan pembuatan acara-acara menghormati tokoh. Kita mengandaikan Ibu Kasur itu dijadikan nama penghargaan atau referensi dalam lomba menggubah cerita anak dan usaha pengabdian pendidikan anak di seantero Indonesia. Begitu.