Perempuan menggerakkan pers tercatat dalam sejarah Indonesia. Modernitas dengan pelbagai bawaan dan dampak turut menempatkan perempuan dalam peran besar. Dulu, orang mengingat Rohana Koedoes, selain mengagumi keberanian Tirto Adhi Soerjo.
Di Sumatara dan Jawa, agenda-agenda “kemadjoean” diselenggarakan dengan pers. Sejak awal abad XX, pers itu menentukan dalam “roman” besar di Indonesia mengandung masalah-masalah ideologi, iman, sastra, ilmu, identitas, bisnis, dan lain-lain.
Pada suatu masa, Indonesia menapaki revolusi. Di situ, ada peran pers. Perempuan-perempuan tangguh menggerakkan pers, sadar risiko politik dan kemauan memuliakan Indonesia.
Nama (wajib) tercatat dan teringat: Herawati Diah.
Pada masa 1950-an dan 1960-an, ia dihormati dengan terbitan majalah Keluarga. Herawati Diah berpredikat pimpinan umum dan redaksi. Ia rajin suguhkan tulisan-tulisan. Peran itu membedakan diri dari posisi suami (BM Diah) selaku pendiri dan penggerak surat kabar Merdeka.
Herawati Diah mengerti pers turut memajukan Indonesia. Ia mungkin sudah berpikiran jauh bakal ada “penerus”. Kaum perempuan dipastikan terus bertambah dalam ambil peran di perkembangan pers Indonesia. Pada masa dan situasi berbeda, orang-orang mengetahui sosok-sosok perempuan dalam terbitan Dunia Wanita di Medan dan Femina di Jakarta.
Dulu, majalah dikelola Herawati Diah mengaku: “Bulanan terbesar seluruh Indonesia.” Keluarga itu majalah membahas “masalah ibu, bapa, anak.” Penjelasan penting berlatar Indonesia masa 1950-an dan 1960-an: “Bapak pendjamin kesedjahteraan keluarga. Ibu sinar bahagia dalam keluarga. Anak harapan keluarga, bangsa, dan negara.”
Tulisan-tulisan cukup menggoda dari Herawati Diah berupa laporan dari perjalanan ke pelbagai negara. Tulisan mengandung perbandingan-perbandingan dengan beragam hal di Indonesia.
Kita membaca tulisan Herawati Diah berjudul “Kalau Orang Eropah Makan…” dalam majalah Keluarga edisi Maret 1961. Ia berbagi pengalaman dan cerita: “Makin lama saja di Eropah, makin baik pula saja mengenal watak dan sifat-sifat orang Eropah. Dahulu saja hanja mengenal orang Belanda, dan kebanjakan jang sudah lama tinggal di Indonesia. Orang Belanda memang mempunjai sifat-sifat istimewa, seperti ‘suka mengambil dan kurang memberi’. Orang Belanda pelit dimata orang Indonesia. Ada lagi sifatnja jang djelek, jaitu suka mengedjek. Pernah seorang wanita Indonesia berpakaian kain dan kebaja membawa mobil sendiri. Ia duduk di belakang setir. Lalu ada anak Belanda belasan tahun jang mengedjek: ‘Lihat itu, ada babu setir mobil.’ Ini benar-benar terdjadi kira-kira tahun 1950 ketika masih ada banjak orang Belanda di Djakarta.”
Tulisan-tulisan merekam dan siasat berpendapat. Herawati Diah mengajak para pembaca mengerti dan berani menentukan sikap. Keluarga menjadi majalah turut membentuk keluarga-keluarga sadar zaman dan berkemauan maju.
Di majalah Keluarga edisi Desember 1960, Herawati Diah berbagi pengalaman saat mengunjungi Praha. Tulisan mengenai hubungan Jakarta-Praha. Herawati Diah pun bercerita kedinginan saat di Praha. Di sana, ia berkebaya dan berkalung selendang besar untuk mengurangi dingin. Di kota jauh, ia mengerti perubahan-perubahan musim tak seperti saat mengalami hari-hari di Indonesia.
Ia mungkin mengartikan Indonesia dengan hujan dan kemarau turut menentukan cara hidup dan kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi. Di Eropa, ia disadarkan masalah busana dan benda-benda teknologi dalam menghadapi empat musim. Hal tak berlaku di Indonesia.
Herawati Diah mungkin cuma milik masa lalu bila orang-orang enggan membuka halaman-halaman sejarah dan perkembangan pers di Indonesia. Nama itu perlahan jarang dibicarakan saat industri pers di Indonesia makin ramai pada masa Orde Baru.
Di majalah Tempo, 9 Oktober 2016, kita membaca berita singkat: “Tokoh pers ini meninggal pada usia 99 tahun saat dirawat di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Jumat pekan lalu.” Sosok dihormati dalam jagat pers. Di majalah Tempo, disampaikan berita kurang lengkap: “Sejak Oktober 1954, dia memimpin harian berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Media ini mengkampanyekan aspirasi kemerdekaan dan negara-negara masih terjajah, yang makin menggelora sejak Konferensi Asia-Afrika pada 1955 di Bandung.” Peran di majalah Keluarga tak disebutkan, terlupa atau memang tak dianggap terlalu penting untuk mengenang sosok tiada tanding. Begitu.