Pada suatu hari, Saifuddin Zuhri merasa sedih dan berutang. Kita mengingat cerita mengenai sedih dan berutang itu mumpung dalam peringatan seabad Saifuddin Zuhri (1 Oktober 1919- 25 Maret 1986).
Kini, orang-orang sedang sibuk dengan perkara-perkara politik, hukum, korupsi, dan lain-lain. Kita ingin sejenak menghormati Saifuddin Zuhri saat Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Pesantren dan Hari Santri. Peringatan tokoh untuk penguatan tema-tema keindonesiaan, dari masa ke masa.
Di Kompas, 20 Maret 1980, Saifuddin Zuhri mengisahkan pertemuan dengan Wangsawidjaja, sekretaris Mohammad Hatta. Dua orang sudah berteman sejak lama dan bersekutu memberi penghormatan tinggi kepada Bung Hatta. Saifuddin Zuhri minta cerita mengenai keseharian Bung Hatta. Pada awal 1980-an, Bung Hatta dalam kondisi ringkih. Beliau cuma berbaring, dari hari ke hari. Wangsawidjaja menginformasikan bahwa Bung Hatta tak lagi nekat menikmati hari dengan membaca buku-buku. Kondisi tubuh tak memungkinkan. Beliau memilih menunaikan ibadah-ibadah untuk dekat dengan Allah. Di ranjang, beliau dalam ketenangan dan renungan tanpa ada alunan lagu-lagu dari kaset. Saifuddin Zuhri penasaran: “Bagaimana mendengarkan Al Quran?” Si sekretaris menjawab: “Yang itu dia senang!”
Percakapan itu menghasilkan janji-utang. Saifuddin Zuhri ingin mencari kaset Al Quran bakal dihadiahkan ke Bung Hatta. Hari demi hari, ia membuat pertimbangan. Saifuddin Zuhri ingin membeli kaset Al Quran dengan patokan “bersuara lembut dan tenang” berargumentasi cocok bagi orang sedang sakit. Kaset itu mesti berisi rekaman pembacaan Al Quran oleh Musthafa Ismail. Pada saat mencari kaset, berita di koran mengabarkan Bung Hatta masuk ke rumah sakit. Orang-orang tak diperbolehkan menjenguk, kecuali keluarga terdekat. Saifuddin Zuhri semakin bersemangat mencari kaset meski sulit ditemukan di pelbagai tempat. Ia sudah semakin nekat. Keinginan menjenguk “terlarang” tapi Saifuddin Zuhri berjanji jika kaset sudah berhasil diperoleh bakal diselundupkan ke rumah sakit melalui Wangsawidjaja.
Keinginan atau janji itu belum terpenuhi tapi televisi memberitakan Bung Hatta telah berpulang ke rahmatullah. Saifuddin Zuhri berduka: “Saya merasa mempunyai utang kepada Bung Hatta sebuah kaset Al Quran. Oleh karena keadaan toh tidak mungkin bisa dipenuhi janji saya, saya ajak seluruh isi rumah bersama-sama membaca Al Quran… Bung Hatta yang telah jadi jenazah mulia toh tidak memerlukan kaset dan segala benda apa pun. Seperti halnya dengan semua orang yang telah berpulang ke rahmatullah, yang diperlukan hanyalah ampunan Ilahi dan doa sekalian yang masih hidup, terutama keluarganya dan dari orang-orang yang mencintainya. Mudah-mudahan utang saya telah lunas!”
Di hadapan kliping sudah usang itu keharuan terasakan. Penulis menundukkan kepala sejenak mengenangkan Bung Hatta dan Saifuddin Zuhri. Mereka rajin beribadah dan memuliakan Indonesia dengan tulisan-tulisan dan perbuatan mulia. Saifuddin Zuhri merasa berutang dan ingin melunasi janji. Kita menginsafi kepribadian para tokoh di masa lalu. Mereka bukan berpikir melulu kekuasaan, duit, kemonceran, dan lain-lain. Kesederhanaan dalam hidup dan pancaran keimanan diarahkan ke pemajuan Indonesia. Mereka “berutang” kepada Indonesia dan cara “melunasi” adalah urun ide melalui tulisan-tulisan dan peran di pelbagai peristiwa penting dalam babak-babak kesejarahan Indonesia. Saifuddin Zuhri di tulisan mengharukan itu memberi sebutan ke Bung Hatta sebagai “Pancasilais saleh”. Sebutan penting dipikirkan oleh elite politik dan ulama di masa sekarang.
Kita beralih ke penghormatan bertokoh Saifuddin Zuhri. Album masa lalu mencatat ia sibuk di politik, dakwah, dan ibadah keaksaraan. Semasa masih muda, Saifuddin Zuhri memiliki kebiasaan merokok dan minum kopi. Konon, semua itu mengiringi kehendak berpikir dan berbuat dalam pemenuhan janji-janji untuk Indonesia.
Pada usia tua, ia “bercerai dari rokok dan kopi”. Ia memilih menikmati pagi dengan salat, mengaji Alquran, berdoa, lari kecil, minum air jeruk, dan membaca koran. Kebiasaan itu diselenggarakan di Jalan Darmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta. Kebiasaan penting setelah Saifuddin Zuhri menderita sakit (asma dan jantung) dan pernah menginap di rumah sakit selama dua minggu.
Dulu, ia adalah menteri agama. Segala kebijakan telah diselenggarakan dan diimbuhi pergumulan intelektual melalui ceramah dan buku-buku. Ia pun terkenang sebagai penggerak koran NU bernama Duta Masyarakat. Puluhan buku sudah terbit memberi bacaan bermutu ke publik: Palestina: Dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building (1965), Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972), Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977), Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (1980), dan Kaleidoskop Politik di Indonesia (1981).
Kiai di Darmawangsa itu memang penulis ampuh! Ketekunan menulis membuat ia peka dan mengerti pelbagai hal.
Pada saat menua, kebiasaan membaca dan menulis justru tak sanggup menanggulangi “tekanan”. Kondisi tua dan sakit “diperparah” oleh masalah-masalah politik di masa Orde Baru.
Di Panji Masyarakat, 1 April 1982, Saifuddin Zuhri menjelaskan: “Sebab ada stress politik sedikit saja, dada saya jadi sesak. Padahal banyak yang harus dipikir, tapi semua tidak menggembirakan. Karena tidak menggembirakan, kadang-kadang saya menghindari saja daripada stress.” Ia masih mungkin menikmati musik dan menonton pentas wayang kulit. Pada masa 1980-an, politik gampang membuat orang sakit semakin sakit atau orang waras “terpaksa” sakit. Politik memang petaka ketimbang girang bagi semua.
Orang-orang pasti lekas mengingat ketokohan Saifuddin Zuhri melalui buku laris berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Ia memang bermula dari pesantren untuk berpolitik, berdakwah, dan beribadah keaksaraan. Buku itu mulai dikerjakan setelah percakapan Asrul Sani dan Saifuddin Zuhri di Gedung DPR RI. Asrul Sani mengusulkan agar Saifuddin Zuhri sudah kondang di politik “berbuat sesuatu untuk dan atas nama pesantren.”
Hari demi hari, ia mengenang saat menjadi santri, 40 tahun lalu. Halaman demi halaman, cerita-cerita mengenai para kiai dan kejadian-kejadian penting berhasil ditulis. Kita mengandaikan keinginan mengisahkan pesantren itu dibaca lagi oleh orang-orang di DPR RI. Mereka selaku anggota DPR lama atau baru. Kita memang mencatat DPR telah mengesahkan Undang-Undang Pesantren tapi kemauan mereka menulis tema pesantren belum tampak.
Peringatan seabad Saifuddin Zuhri (1 Oktober 1919-1 Oktober 2019) semakin bermakna dengan Undang-Undang Pesantren dan Hari Santri. Kita mungkin terlalu sibuk mengurusi hal-hal besar di Jakarta sampai “lupa” untuk membuat seri peringatan menghormati tokoh masa lalu. Kita tentu “berutang” jika tak sanggup membuat acara atau tulisan sederhana untuk Saifuddin Zuhri. Kita tak mau menjadi pelupa atau gagal melunasi “utang-utang” ke penghormatan tokoh dan pemuliaan Indonesia. Begitu.