Sejarah revolusi di Indonesia tak selalu bertokoh lelaki. Kita membaca buku-buku sejarah memang sering mendapat daftar para lelaki dianggap berperan besar dalam menggerakkan dan memuliakan Indonesia. Kita perlahan mulai membuat dan menambah daftar bahwa revolusi Indonesia bertokoh perempuan.
Kita mengajukan satu nama penting: Fatmawati. Di buku berjudul Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi (1977), Rosihan Anwar menulis situasi Indonesia, Agustus 1945-Januari 1946. Buku ditulis oleh wartawan dan pengarang itu memuat peran besar Fatmawati. Peristiwa menakjubkan: “Ketika dilangsungkan rapat raksasa di Cirebon di pagi yang cerah, Presiden Soekarno sebelum ia sendiri beserta Hatta dan Sjahrir berbicara, meminta istrinya naik ke atas mimbar. Saya kira maksudnya untuk memperkenalkan Fatmawati kepada rakyat supaya istri Presiden pun turut berpidato. Ternyata tidak begitu.” Suasana ramai dalam deru revolusi Indonesia.
Rosihan Anwar memberi kesaksian: “Wanita muda yang cantik memakai kerudung putih di kepala itu menaiki mimbar, berdiri depan mikrofon. Lalu terdengarlah suaranya mengalun indah dan terang di atas lapangan tempat ribuan rakyat tengah berkumpul.” Di arus revolusi, Fatmawati berperan dengan kehadiran dan suara. Ia bukan orator. Rosihan Anwar melanjutkan kenangan revolusi: “Fatmawati membawakan ayat-ayat suci Kitab Al Quran. Ia mengaji di luar kepala, tetapi tiada satu kali pun dia terantuk-antuk. Ia mengaji memuji-muji kebesaran Allah di alam terbuka, di bawah langit lazuardi biru dengan berlatar belakang menjulang Gunung Cerme. Rapat raksasa menjadi tepekur terdiam.”
Kita berharap peristiwa itu dipotret wartawan. Pada suatu hari, potret-potret itu disajikan di hadapan publik. Peristiwa itu menakjubkan dan mengharukan. Revolusi di Indonesia bergerak dengan kitab suci. Kehadiran sosok Fatmawati bukan sekadar pendamping. Ia menjadi perempuan agung menggetarkan revolusi Indonesia. Di atas panggung, kitab suci menjadi referensi pemuliaan Indonesia.
Pengandaian bila tiada foto dalam acara di Cirebon, kita masih mungkin turut “mengalami” dan merasakan melalui sodoran pengisahan Rosihan Anwar: “Saya memandang kepada Fatmawati yang mengaji dengan bening. Saya memandang kepada rakyat yang menundukkan kepala dengan hening. Saya memandang kepada puncak Gunung Cerme di sana.” Fatmawati mengajak ribuan orang berdoa dan berharap Tuhan memberi berkah atas misi-misi revolusi Indonesia. Ajakan dalam kejadian dan suasana puitis.
Sejak kecil Fatmawati memang rajin mengaji. Ia dalam pengasuhan dan pendidikan berpijak religius. Di keseharian, ia memang tak menunjukkan simbol-simbol Islam tapi menghendaki biografi menjadi orang beriman. Di buku berjudul Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016), Fatmawati mengenang masa kecil: “… aku belajar membaca Al Quran dari seorang guru. Temanku belajar mengaji ada 15 orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Pada suatu hari, ia belajar lagi agar fasih membaca kitab suci. Fatmawati mengisahkan: “Tetanggaku mempunyai kebiasaan membaca Al Quran sehabis sembahyang. Dia membaca Al Quran dengan logat Mesir. Tetangga ini tinggal di ruang bawah dari tempat yang kupakai.
Dalam suasana yang sepi dan lengang, berkumandanglah suaranya, yang memanggil hati untuk turut serta mengagungkan Tuhan. Tertarik oleh lagu-lagu yang enak didengar itu, aku mulai belajar membaca serta mengaji kepada tetangga. Permintaanku dikabulkan dengan senang hati. akhirnya aku dapat membaca Al Quran dengan berlagu.”
Masa kecil, masa membentuk diri. Fatmawati tak pernah mengetahui nasib bakal menjadi istri Soekarno. Ia berada dalam jalan besar revolusi saat bersama Soekarno dan tokoh-tokoh politik. Orang-orang selalu mengenang peran Fatmawati dalam menjahit bendera. Kini, kita memperingati 100 tahun Fatmawati (5 Februari 1923- 5 Februari 2023) berhak menambah ingatan sejarah: Fatmawati mengaji kitab suci dalam arus revolusi. Kita memastikan itu memiliki kaitan-kaitan dengan pidato Pancasila (1 Juni 1945), pembacaan Proklamasi (17 Agustus 1945), dan pengesahan UUD 1945 (18 Agustus 1945).
Kita membuka lagi buku berjudul Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (1966) susunan C. Adams. Soekarno mengisahkan hari-hari bersejarah, berpusat 17 Agustus 1945: “Setelah puluhan tahun mendoa, merentjanakan dan mengharap, bukanlah begitu bajanganku akan terdjadinja Peristiwa Maha-besar.” Penulisan dan pembacaan teks Proklamasi menentukan sejarah Indonesia. Sejarah itu bergerak dengan doa.
Sejarah menimbulkan gairah dan lelah. Soekarno pun lelah. “Hingga achirnja aku rebah,” kenang Soekarno. Fatmawati menjadi pihak (paling) mengerti dan merawat Soekarno agar revolusi tak padam. Fatmawati bersama Soekarno memastikan sejarah terus berkobar meski proklamator itu sakit. Kita menduga di rumah beralamat Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, Fatmawati tekun mengaji kitab suci dan berdoa demi Soekarno dan Indonesia.
Kehadiran sosok Fatmawati di samping Soekarno memang belakangan tapi berhikmah besar untuk sejarah Indonesia. Pada saat ia masih kecil dan belajar mengaji, Soekarno didampingi Inggit Garnasih dalam menggerakkan dan memuliakan Indonesia. Pada 1923, pernikahan Soekarno dan Inggit. Pada 1923, Fatmawati lahir dan turut dalam membentuk sejarah Indonesia. Pada 1943, Fatmawati menjadi istri Soekarno. Kita makin mengerti bahwa revolusi di Indonesia tak melulu laki-laki. Pada 2023, kita mengenang dan menghormati Fatmawati turut dalam revolusi dengan acuan kitab suci. Begitu.