Sedang Membaca
Dua Buku Salat Era Kolonial
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Dua Buku Salat Era Kolonial

Orang ingin salat memerlukan tuntunan. Pada abad XX, tuntutan itu sudah berupa buku dan poster. Penerbitan buku-buku mengenai tata cara salat sudah berlangsung sejak masa 1930-an. Buku-buku persalatan terus terbit dan laris, membuktikan orang-orang serius ingin mengerti salat sesuai kaidah-kaidah agama. Industri buku itu berlanjut dengan pembuatan poster.

Di kalangan bocah, poster sering dijuduli “Bimbingan Salat Ringkas.” Di selembar poster, kita melihat gambar gerakan-gerakan orang salat dan bacaan-bacaan beraksara Arab. Terjemahan dalam bahasa Indonesia kadang turut tercantum.

Kini, kita ingin mengenang dua buku lawas mengenai salat. Pada 1932, terbit buku berjudul Persalatan Indonesia susunan Sjamsoe Hadiwijata. Buku terbitan AB Sitti Sjamsijah, Solo. Buku saku berbahasa Indonesia. Buku berisi pelbagai penjelasan, tak melulu tata cara. Sjamsoe Hadiwijata menerangkan:

“Mendjalani sembahjang perloe lima wektoe ini maksoednja ketjoeali orang itu agar mengerti kepada wektoe (ilmoe falaq djoega) poen djoega agar selaloe bergaoelan dengan saudara-saudaranja Islam pada setiap wektoe sembahjang bardjama’ah dan bisa tertampak bertoenggal boedi, golongan dan roekoen sana memoeliakan Toehan, dan saling pesan-memesan perihal kebenaran dan kesabaran.”

Kita mungkin agak sulit paham dengan penggunaan kata-kata dari penulis. Pada masa lalu, bahasa Indonesia belum memiliki pembakuan untuk digunakan dalam tulisan.

Kita mengerti perkara salat berkaitan dengan waktu, kebersamaan, dan sikap. Sjamsoe Hadiwijata tak lekas menjelaskan segala hal ketentuan pokok salat ke pembaca. Ia cenderung memperpanjang renungan bersama pembaca. Renungan tentu milik kaum pembaca.

Pada masa 1930-an, jumlah orang Indonesia melek aksara masih sedikit. Pembaca buku berjudul Persalatan Indonesia tentu termasuk kaum terpilih. Keinginan mengerti dan melaksanakan salat sesuai kaidah mengacu ke bacaan, tak bergantung pada petunjuk-petunjuk lisan.

Di halaman 11-12, Sjamsoe Hadiwijata melanjutkan penjelasan:

Baca juga:  Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Penerima(an) Pancasila

“Ketahoeilah bahwasanja jang ditentoekan haroes mendjalani sembahjang lima wektoe itoe orang moekallaf. Adapoen akan arti moekallaf itoe jalah orang telah taklif (ditoentoet, diperdi), haroes menepati ‘amalan (djalan-djalannja) igama Islam, ja’ni orang jang telah baligh (dewasa) dan ber’aqal, dan lagi telah kedatangan da’wah igama (pengadjak mendjalani igama).”

Pembaca mungkin menganggap pengajuan maksud dari penulis itu bertele-tele di buku tipis. Kita mengandaikan membaca kalimat-kalimat itu di masa lalu: paham dan menganggap ada usaha penjelasan sampai rinci meski halaman terbatas.

Di halaman akhir buku, Sjamsoe Hadiwijata memberi konklusi: “… sembahjang dalam Islam itoe ada mengandoeng soesoenan jang serapi-rapinja, dan dengan tjara-tjaranja sembahjang jang mengandoeng gerak badan itoe, ada hikmah jang terbesar, ja’ni ada mengandoeng tjara-tjara sport badan jang serapi-rapinja, melebihi dari pada sport made in Zweden dan hatinja poen setidak-tidaknja tentoelah bisa ingat 5 kali sehari kepada Toehan.”

Kalimat itu tertinggal di masa lalu. Orang-orang tak lagi mengingat atau menganggap ada sodoran renungan salat pada masa 1930-an di kalangan pembaca berbahasa Indonesia masih berantakan.

Sikap berbeda dipilih M Natsir dengan menulis buku mengenai salat dalam bahasa Belanda. Ia menulis buku berjudul Komt Tot Het Gebed. Buku pengajaran salat untuk bacaan orang-orang Indonesia masa lalu saat fasih berbahasa Belanda. Sasaran buku tentu kaum terpelajar, berbeda dari sasaran buku Persalatan Indonesia susunan Sjamsoe Hadiwijata.

Pada 1956, buku Natsir itu terbit dalam terjemahan bahasa Indonesia dijuduli Marilah Salat. Di mata umat Islam, Natsir adalah pemimpin dan intelektual. Persepsi itu menjadikan buku laris alias sering cetak ulang. Pada 1981, buku Marilah Salat mengalami cetak ulang ke-8, diterbitkan oleh Media Da’wah (Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia).

Baca juga:  Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih
Terbit lagi di masa kemerdekaan dengan bahasa Indonesia (Dok. Penulis)

Pengantar dari Dewan Da’wah edisi 1981 memastikan buku itu tertuju ke kaum terpelajar, bukan kaum awam:

“Menurut hemat kami, buku ini benar-benar ditujukan kepada suatu golongan pembaca tertentu, yakni mereka yang mempunyai pengetahuan umum yang lanjut atau kaum terpelajar, akan tetapi masih sangat awam mengenai pokok-pokok ajaran Islam termasuk di dalamnya mengenai seluk-beluk salat atau sembahyang.”

Natsir sengaja ingin mengajak kaum terpelajar mengerti Islam dan memahami tata cara salat melalui bacaan sesuai taraf intelektual mereka.

Natsir menjelaskan salat:

“Sembahyang dalam Islam itu bukanlah suatu upacara, yang harus dilakukan paling banyak setengah hari dalam tiap-tiap tujuh hari (seminggu), tapi ia adalah suatu tempat berlindung yang tak mengecewakan bagi seorang Islam, yaitu suatu keadaan, tempat ia lebih banyak mengumpul tenaga sesudah keributan dan kegelisahan sehari-hari sehingga ia lebih tabah untuk meneruskan perjuangan hidup selanjutnya.”

Pemaknaan kontekstual itu mengarah ke dampak atau ejawantah salat di kehidupan keseharian. Natsir memastikan salat itu wajib dan berfaedah di keseharian, bukan “hanya jadi komat-kamit bibir yang hakikatnya tidak lebih dari bisikan serta deretan gerakan tubuh yang tiada berarti.”

Pengajuan renungan salat oleh Natsir terasa “berat” ketimbang Sjamsoe Hadiwijata. Penggunaan bahasa pun mengesankan ada tantangan bagi pembaca berpikiran kritis, tak tergesa pada pengertian-pengertian dangkal.

Baca juga:  “Nabi Muhammad Bercukur”: Sebuah Tembang Kerinduan dari Nusantara

“Salat seperti yang diwajibkan oleh Islam kepada kita, bukanlah alat untuk melenyapkan kemurkaan seorang dewa yang sedang ngamuk atau murka dan bukan pula untuk membeli kesenangan hatinya seperti maksud sembahyang dalam kebanyakan agama yang lain-lain, tapi salat dalam Islam itu untuk mengangkat derajat jiwa dan mempertinggi susila dari yang mengerjakan salat itu sendiri,” tulis Natsir seperti memberi peringatan atas perbandingan makna salat dengan ibadah-ibadah di agama-agama berbeda.

Sejak masa kolonial, Natsir moncer sebagai pemikir Islam. Ia pun menggerakkan politik agar berlaku adab dalam ejawantah demokrasi di Indonesia. Puluhan buku telah ditulis memuat pelbagai pemikiran. Orang-orang mungkin paling ingat dengan buku berjudul Capita Selecta. Ingatan pada buku berjudul Marilah Salat mengajak kita mengenali Natsir berpikiran serius mengajak kaum terpelajar mengerti dan menunaikan salat. Pilihan menerbitkan buku mengartikan pemajuan adab literasi.

Di akhir buku bergelimang pemikiran dan renungan salat, Natsir memberi konklusi ke pembaca:

“Salat itu sungguh-sungguh hendaknya menjadi sumber tenaga, keberanian dan keteguhan hati bagi saudara, jadi tidak hanya lagu dan bisikan kata-kata yang saudara tiada tahu artinya serta tidak menjadi gerak badan yang hampa. Saudara hendaknya dapat menyadari pengertian dan tujuan tiap-tiap kalimat, bukan hanya kata demi kata.”

Buku itu mengingatkan kita usaha mengadakan pustaka salat telah berlangsung sejak lama dengan keragaman penggunaan bahasa dan pengajuan renungan. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top