Kita melihat ia sebagai artis. Kagum itu wajar. Kita mengidolakan pun tak salah. Ia bernama Dian Sastrowardoyo. Sekian hari lalu, foto-foto artis itu dimuat di koran-koran nasional. Ia tak sedang bermain film. Penampilan dengan kebaya memicu pemberitaan. Pembaca berhak memuji, menganggukan kepala, dan tepuk tangan.
Penampilan itu beda. Sekian hari, ia mengenakan kebaya. Foto-foto digunakan sebagai dokumentasi. Di pengertian berbeda, foto-foto itu ajakan kepada kaum perempuan. Seruan indah, santun, dan ampuh. Foto-foto digenapi kalimat-kalimat sudah dipertimbangkan menimbulkan dampak.
Di Media Indonesia, 25 Juli 2022, foto Dian Satrowardoyo mengenakan kebaya berwarna hitam. Ia pun berselendang dan membawa tas. Kacamata besar makin menguatkan pesona. Ia perlu mengumumkan misi dalam campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris: “Kita jarang banget melihat kebaya itu digunakan sebagai something that you really ‘this is me’.” Ia sedang bicara kepada publik di Indonesia, bukan di Eropa atau Amerika Serikat.
Ia memastikan kebaya itu warisan luhur. Ia ingin kebaya terakui di UNESCO. Keinginan atau janji diberitakan: “Ia mulai berkampanye untuk mengenakan kebaya di acara sehari-hari dalam beragam kegiatan.”
Di tabloid Nova edisi 11-17 Agustus 2022, foto berukuran besar Dian Sastrowardoyo. Ia tetap mengenakan kebaya, berselendang, dan bertas. Kacamata dipegang di tangan. Pembaca mula-mula berpikiran sosok itu artis. Pikiran lanjutan: kebaya. Pikiran penting lagi: harga. Pencantuman judul membenarkan: “Bangga Pakai Kebaya, Harganya Rp 55 Ribu Saja”. Kita boleh geleng-geleng kepala. Harga itu murah! Pikiran kita lekas pulih. Perkara terpenting itu kebaya dikenakan artis. Harga mengesankan pujian boleh ditambahi agar kemauan atau misi Dian Sastrowardoyo mewujud.
Pada hari-hari melihat foto-foto Dian Sastrowardoyo, Juli-Agustus, kita berharap tak kebingungan. Kita diajak memikirkan kebaya, bukan mutlak tentang artis. Kebaya mengisahkan selera dan tata cara berbusana dari para leluhur. Kita sedikit berpikiran harga tapi sadar ada masalah-masalah besar belum termunculkan.
Pada suatu hari, anak-cucu kita mungking mengakui bahwa Dian Sastrowardoyo tak cuma artis. Ia masuk daftar teratas untuk panutan kaum perempuan berkebaya di Indonesia. Ia bakal menjadi idaman dan tercantum dalam buku sejarah (busana) di Indonesia.
Kita mundur dulu untuk mengetahui ikhtiar-ikhtiar bertema kebaya. Kita membuka majalah Kartini (2013) edisi khusus kebaya. Judul besar di kulit muka: “50 Kebaya Pilihan untuk Berbagai Kesempatan”. Foto-foto dalam majalah menampilkan artis berkebaya. Kita diwajibkan mementingkan artis sebelum kebaya atau kebaya sebelum artis.
Penjelasan dari pihak redaksi: “Sejak dulu di zaman kolonial wanita Indonesia sudah memakai kebaya walaupun hanya di kalangan ningrat atau kerajaan saja. Bahkan wanita-wanita Eropa juga mulai mengenakan kebaya. Dengan berjalannya waktu kebaya berkembang dan akhirnya bisa dikenakan semua kalangan.” Di situ ada seruan: “Selamat mengenakan kebaya sebagai identitas wanita Indonesia.”
Busana itu identitas. Kita membuktikan dengan membaca artikel-artikel dimuat dalam buku berjudul Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (2005) dengan editor Henk Schulte Nordholt. Ada penjelasan-penjelasan memikat dan peringatan. Editor menjelaskan dari pelbagai kajian dan sumber: “…. maka upaya-upaya untuk menganalisis ide-ide identitas, kedirian, atau makna yang diberikan pada simbol-simbol tidak lagi dapat dibatasi oleh pernyataan-pernyataan umum tentang sistem, struktur, dan kelompok. Kajian tentang pakaian, yaitu sosiokultur kita, terutama layak mendapatkan pendekatan yang hati-hati terhadap objek-subjek ilmu sosial yang paling problematis, yakni individu dalam beragam konteks, di mana ia bergerak.”
Kita mengingat lagi foto-foto dipasang di koran, tabloid, dan majalah itu para artis berkebaya. Tokoh mungkin terlalu dipentingkan dulu. Urusan lanjutan: memikirkan dan memuliakan kebaya. Identitas diketahui secara cepat menghasilkan pendapat sering pujian.
Di majalah Kartini, kita simak pengakuan Prisia Nasution: “Aku suka kebaya yang earth colour karena tidak terlalu heboh banget. Kulitku susah masuk dengan warna mencolok. Jadi, kalau warna tanah akan kelihatan lebih glowy.” Penjelasan-penjelasan dari artis-artis terduga berpengaruh besar: menjadikan kebaya sebagai tema (sangat) penting.
Perhatian dan keramaian atas pesan-pesan berkebaya membesar saat kita mengalami Agustus. Kita teringat sejarah saat melihat foto-foto para perempuan berkebaya dalam peristiwa-peristiwa menandai babak-babak sejarah di Indonesia. Berkebaya menebar undangan ke sejarah dan permainan identitas. Begitu.