Pada suatu masa, bocah belum bisa membaca tapi merasa diri sebagai bocah ajaib. Ia terbiasa berada di perpustakaan milik kakek. Mata melihat buku-buku. Ruang untuk takjub dan bermisteri. Ia bernama Sartre, belum bisa membaca tapi telah terpikat buku dan sesumbar ingin hidup bersama buku-buku.
Ia bertumbuh di Eropa berlatar awal abad XX. Dunia sering bergolak. Di Paris, ia merasa bahagia mendapat segala kasih dan marah dari kakek, nenek, dan ibu. Konon, ia mengaku agak beruntung tak berada dalam asuhan bapak. Pada buku-buku dan diri, Sartre bermain misteri: memungkinkan kejutan-kejutan dan kesan terkenang sepanjang masa.
Ia perlahan bisa membaca, suka buku-buku cerita seru: dari pengembaraan dan heroisme sampai detektif. Sartre terlalu beruntung diasuh buku-buku sejak bocah. Ia menerima takdir berbuku sampai tua.
Pada suatu hari, Sartre mengaku: “… hingga kini pun aku lebih suka membaca cerita detektif dibanding (Ludwig) Wittgenstein.” Kita tak usah kaget, kegandrungan membaca cerita-cerita detektif dianggap seru ketimbang melulu membaca seruan-seruan filsafat. Di buku berjudul Kata-Kata (2009), kita belum mengetahui daftar cerita atau novel detektif digemari Sartre. Di Eropa, bocah atau remaja membaca cerita-cerita detektif itu kelumrahan. Ratusan judul buku tersedia di toko buku dan perpustakaan. Sekian judul laris sepanjang masa.
Sartre membaca cerita-cerita detektif mungkin mencari hiburan. Sekian cerita bisa berpengaruh dalam berfilsafat. Kita mengandaikan eksistensialisme itu mula-mula kesibukan “detektif”: melacak sejarah dan mengamati abad XX di kemurungan dan kehancuran.
Di Indonesia, penulisan cerita anak atau remaja berjenis detektif masih jarang. Buku-buku di pasar atau toko itu sering terjemahan dari novel-novel detektif asal pelbagai negara. Bocah dan remaja suka membaca tapi sering mengarahkan imajinasi (misteri) ke benua-benua jauh. Mereka jarang mendapat suguhan cerita detektif gubahan pengarang-pengarang Indonesia.
Di majalah Bobo edisi 24 Februari 2022, kita membaca puisi berjudul “Jadi Detektif” gubahan Keenan Datu H asal Magelang. Pengakuan pembaca fanatik cerita-cerita detektif. Kita simak: Aku suka membaca buku fiktif/ Karena aku ingin menjadi detektif/ Pekerjaan ini penuh dengan misteri/ Seperti dalam buku yang berseri/ Detektif dapat membantu banyak orang/ Walau ada rintangan menghadang/ Aku yakin mendapat titik terang/ Untuk memecahkan kasus yang tak gampang. Kita menduga Keenan salah menulis di larik awal: “fiktif”. Kita bisa membenarkan: “fiksi”. Ralat bakal mengganggu rima atau selera puisi gubahan bocah.
Bocah belum mengenal atau membaca buku-buku Sartre. Ia berpikiran kerumitan dan kejutan dalam cerita detektif. Tokoh berpredikat detektif dijamin bisa membuka misteri atau merampungi masalah. Di puisi, Keenan tak mencantumkan judul buku atau tokoh detektif dikagumi.
Kita memberi pujian atas puisi terhindar dari basi atau repetisi biasa ditampilkan bocah-bocah di Indonesia. Detektif! Tokoh mudah dikagumi saat bocah-bocah suka membaca buku. Penerbit-penerbit memilih menghadirkan buku-buku terjemahan, berharap terakui bermutu dan menimbulkan ketagihan. Bocah kadang bersambung dengan menonton edisi film-film detektif.
Pada saat dewasa, Keenan mungkin tak menggemari novel-novel gubahan Sartre. Ia mendingan memilih membaca novel gubahan Umberto Eco berjudul The Name of the Rose bila ingin serius dan mengesahkan diri adalah penggemar cerita detektif.
Kita menanti saja ada puisi baru bertema detektif tanpa janji ada belokan kesenangan. Kini, keenan masih suka membaca buku dan menggubah puisi. Sekian tahun lagi, ia bisa berubah gara-gara beban mata pelajaran di sekolah, pergaulan, industri hiburan, atau pasang-surut pasar buku di Indonesia. Kita berharap ia bakal teringat pernah membaca buku bercerita detektif dan membuat pengakuan dengan puisi. Begitu.