Sedang Membaca
Cetak Ulang dan Terlarang
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Cetak Ulang dan Terlarang

34957139

Kita mungkin cuma memiliki daftar pendek nama para pengarang dari masa 1940-an. Selama belajar di sekolah “kebenaran” bisa dimuat di buku pelajaran dan penjelasan guru: tokoh puisi (Chairil Anwar) dan tokoh prosa (Idrus). Sekian nama tak dikenalkan atau mendapat penjelasan agak panjang.

Pada masa 1950-an, buku-buku pelajaran dan pengantar sastra masih memuat puluhan nama bisa dikenali dalam perkembangan sastra sejak masa 1920-an sampai 1940-an. Sekian nama tak dimunculkan lagi selama Orde Baru. Kita membuka buku berjudul Riwajat Hidup Ringkas Pudjangga dan Pengarang Indonesia (1954) susunan Mochtar Railan. Di halaman 47, dicantumkan nama Bakri Siregar. Pengarang lahir di Langsa (Aceh), 1922. Ia bekerja menjadi guru. Di situ, ada pencantuman satu judul tulisan dihasilkan Bakri Siregar: “Ditepi Kawah”. Kita menduga ia tentu tak cuma membuat satu tulisan saat turut dalam arus sastra Indonesia.

Bakri Siregar, nama kurang diakrabi oleh para pembaca sastra di Indonesia akhir abad XX dan awal abad XXI. Nama masuk di buku-buku lama tapi jarang dimunculkan dalam obrolan sastra. Nama disepikan dari ulasan-ulasan sastra.

Pada 2018, terbit buku berjudul Jejak Langkah oleh Balai Pustaka. Konon, buku mula-mula terbit pada 1945. Tahun bersejarah untuk Indonesia. Buku terbit bukan berkaitan proklamasi tapi bisa mengajak pembaca mengerti situasi kesusastraan menjelang proklamasi. Buku itu mungkin “proklamasi sastra” dari Bakri Siregar meski tak mendapat sambutan panjang. Di situ, ada cerita berjudul “Di Tepi Kawah”. Kita menduga Mochtar Railan saat membuat buku kekurangan sumber data. Hal terpenting: Bakri Siregar tercatat sebagai pengarang.

Baca juga:  Menyingkap Keberadaan Hantu “Islamisme” Ikhwanul Muslimin

Buku cerita itu kurang gereget. Cerita sederhana dan berlagak memberi renungan-renungan tentang manusia dan gunung, manusia dan kebebasan, burung dan hasrat, rumah dan kebatinan, dan lain-lain. Cerita-cerita ditulis pada 1942 dan 1944. Bakri Siregar memang bukan pencerita ulung atau memikat. Renungan disodorkan Bakri Siregar: “Pendek, masih pendek jalan. Tiap kali menoleh bertambah pendek. Bekas lalu masih baru. Telah berapa kali hujan. Berhenti hujan, cahaya datang. Basah kering bertukar, dingin panas berganti.”

Bakri Siregar, nama masih mungkin teringat dalam penulisan buku sejarah sastra. Dulu, kita membaca buku berjudul Ikhtisar Sedjarah Sastra Indonesia (1969) susunan Ajip Rosidi. Buku sering dicetak ulang untuk dipelajari guru, dosen, mahasiswa, dan umum. Kita mendapat keterangan singkat: “Bakri Siregar lahir di Langsa, Aceh, 1922. Cerpennja jang pertama berdjudul ‘Ditepi Kawah’ mendapat hadiah pertama sajembara mengarang tjerpen. Tjerpen itu melukiskan kehidupan ditepi kawah jang djauh dari masjarakat umum, kemana sepasang suami-istri melarikan diri. Tjerpen ini merupakan sebuah tjerpen pelarian.”

Ajip Rosidi mengabarkan buku berjudul Djedjak Langkah terbit pada 1953, berbeda dari tahun dicantumkan di terbitan Balai Pustaka untuk cetakan kedua. Pada masa lalu, buku itu mendapat pembaca dan pengulas tapi lekas berlalu. Orang-orang justru mengingat peran Bakri Siregar di Lekra. Ajip Rosidi menjelaskan: “Ia menulis buku Sedjarah Sastra Indonesia Modern (1964) jang baru selesai satu djilid. Sekarang termasuk buku jang dilarang.”

Baca juga:  Iki Sejarah Ushul Fiqh: Kitab Kritik Kaum Wahhabi Karya KH. Sanusi Babakan Cirebon (1974)

Selama masa kekuasaan Soeharto, buku itu sulit muncul. Orang-orang harus diam-diam mempelajari agar tak bermasalah. Buku dianggap berbeda haluan ideologi dengan rezim Orde Baru. Pada 2023, buku itu masih ada. Kita membaca berbarengan mengingat 100 tahun Bakri Siregar: 14 Desember 1922-14 Desember 2022. Nama patut terus dicatat. Warisan buku-buku pantas dihormati.

Buku berpenampilan apik. Di sampul, kita membaca nama: Prof Bakri Siregar. Kita mengandaikan penulisan “profesor” itu menimbulkan guncangan dan kepastian mutu akademik berlatar masa 1960-an. Bakri Siregar itu guru besar di Universitas Peking (1959-1963). Di Indonesia, ia menjadi Ketua Akademi Sastera dan Bahasa “Multatuli”, Jakarta. Di sampul bagian atas, kita melihat gambar mengisahkan buruh dan petani. Di situ, ada pula gambar burung.

Penjelasan penting dari Bakri Siregar: “Sastera Indonesia merupakan pentjerminan kehidupan masarakat Indonesia serta perdjuangannja dengan memakai alat bahasa Indonesia.” Kalimat itu menjadi bekal untuk mendefinisikan sastra Indonesia dan menentukan babak-babak sastra terpenting di Indonesia, sejak akhir abad XIX sampai masa 1960-an.

Di ingatan sejarah, Bakri Siregar menolak sastra “modern” di Indonesia dimulai oleh Balai Pustaka. Ia mengajukan alur berbeda: “… sastera Indonesia modern bermula dengan lahirnja kesadaran nasional tersebut, jang tertjermin dalam hasil-hasil sasterawan dalam tingkatan dan tarap jang berbeda – sesuai dengan masa dan lingkungannja sebagai ternjata dalam kritik sosial dan tjita-tjita politik jang dikemukakannja, serta alat bahasa jang dipergunakannja.” Ia mengajukan kaidah atau ketentuan untuk pembuktian kemunculan sastra modern, bukan selalu harus menengok ke Balai Pustaka atau Pujangga Baru.

Baca juga:  Laju Puisi Arab di Rel Modernitas

Ia lugas mengungkapkan: “Sastera Indonesia modern bermula dengan kesadaran nasional. Adalah benar bahwa dia dimulai dengan tradisi revolusioner jang dilaksanakan oleh Mas Marco Kartodikromo.” Pada 2020, kita memperingati 100 tahun penerbitan Azab dan Sengsara oleh Balai Pustaka. Novel digubah oleh Merari Siregar. Kini, kita memperingati 100 tahun penerbitan novel berjudul Sitti Nurbaja oleh Balai Pustaka. Novel dipersembahkan Marah Rusli. Dua pengarang itu tak diakui Bakri Siregar sebagai pemula sastra modern di Indonesia.

Usulan dan pemikiran Bakri Siregar itu tak berhasil mendapat mufakat dalam pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Pada masa Orde Baru, buku garapan Bakri Siregar itu terlarang. Sejarah sastra “edisi tandingan” sulit dihadirkan setelah publik tak berhasil mendapat buku-buku dari kaum dicap kiri. Buku itu berusia pendek. Sekian buku mungkin dibuang, dibakar, atau dihancurkan gara-gara malapetaka 1965. Kini, kita menanti Sedjarah Sastera Indonesia Modern bisa cetak ulang. Buku bisa menjadi sumber berbeda bagi orang-orang masih berkepentingan membuat buku mengenai sejarah dan perkembangan sastra di Indonesia. Begitu.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top