Pada 17 Agustus 2020, bocah-bocah masih di rumah. Mereka tak berada di halaman sekolah atau lapangan untuk mengikuti upacara. Di rumah, mereka tetap memberi pemaknaan (sejarah) Indonesia. Pada masa sebelum wabah, murid-murid SD lazim bersenandung lagu-lagu nasional dalam upacara peringatan hari-hari nasional. Kini, mereka masih mungkin bersenandung tapi tanpa berkumpul di suatu tempat. Suasana pasti berbeda. Kita pernah menjadi murid SD masih ingat lagu-lagu nasional itu memicu semangat, keharuan, dan kesungguhan. Di rumah, bocah-bocah mungkin bersenandung Indonesia mengartikan kemerdekaan, sejenak jeda dari pelajaran-pelajaran harian.
Tema untuk 75 tahun kemerdekaan adalah “Indonesia Maju”. Bocah lekas mengingat lagu berjudul Maju Tak Gentar. Dulu, boca-bocah lantang membawakan lagu sambi berdiri atau berbaris. Mereka belum berpikiran nama penggubah lagu. Maju Tak Gentar digubah oleh Cornel Simanjuntak. Kita mengutip lirik lagu ingin mengaitkan dengan tema “Indonesia Maju”. Diksi “maju” menjadi kata kunci bagi bocah-bocah memuliakan Indonesia. Kita simak: Maju tak tak gentar, membela yang benar/ Maju tak gentar, hak kita diserang/ Maju serentak mengusir penyerang/ Maju serentak tentu kita menang/ Bergerak, bergerak/ Serentak, serentak/ Menerkam, menerjang, terjang/ Tak gentar, tak gentar/ Menyerang, menyerang/ Majulah, majulah, menang. Lagu berpesan keberanian dan meraih kemenangan. Heroisme demi kedaulatan dan kemuliaan Indonesia. Dulu, bocah bersenandung itu berimajinasi dalam suasana perang.
Selama di SD, kita jarang mendapat cerita dari guru tentang para penggubah lagu-lagu nasional. Penggalan-penggalan biografi tokoh kemerdekaan diberikan di buku pelajaran dan guru. Kita mungkin kecewa tak mengetahui atau telat mengenali Cornel Simanjuntak, Ibu Sud, Kusbini, L Manik, WR Supratman, Ismail Marzuki, T Prawit, dan lain-lain. Mereka memberi dan mewariskan lagu-lagu biasa terdengar dalam hari-hari bersejarah di Indonesia, rutin disenandungkan saat upacara di sekolah-sekolah.
Cornel Simanjuntak menempuh pendidikan di sekolah guru Muntilan, 1937. Tahun-tahun di Muntilan, ia rajin membaca buku sastra, bermain musik, dan mengagumi Candi Borobudur. Pada masa pendudukan Jepang, Cornel Simanjuntak mengabdi sebagai guru di Magelang. Situasi memang tak keruan tapi ia berpikiran nasib Indonesia. Pada situasi perang, Cornel Simanjuntak diminta pihak Jepang menggubah lagu-lagu propaganda dan bersemangat disiarkan di radio. Ingatan itu diceritakan oleh Binsar Sitompul dalam buku berjudul Cornel Simanjuntak: Komponis, Penyanyi, Pejuang (1987). Buku terbitan Pustaka Jaya masuk seri “Pustaka Anak”.
Pada suatu hari, Cornel Simanjuntak pindah ke Jakarta. Di situ, ia berada dalam pergaulan bersama Ibu Sud, para seniman, dan kaum pergerakan kebangsaan. Sekian hari setelah 17 Agustus 1945, Cornel Simanjuntak mendapat tugas membahas lagu kebangsaan bersama para tokoh di Jakarta. Cornel Simanjuntak terus bermusik saat mendapat mandat dalam mengadakan penerangan. Lagu berjudul Sorak-Sorak Bergembira dan Maju Tak Gentar. Kita ikuti pengisahan Binsar Sitompul cara para seniman memberi penerangan: “Di sepanjang jalan, dengan iringan gitar kami menyanyikan lagu-lagu perjuangan Sorak-Sorak Bergembira dan Maju Tak Gentar, dan lain-lain, sambil melambai-lambaikan bendera merah putih. Bila kami tiba di suatu tempat, semakin lantanglah kami menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Dan kalu sudah cukup banyak orang terkumpul, mulailah salh satu berpidato.” Cerita itu memastikan bahwa lagu-lagu berpengaruh besar dalam mengumumkan kemerdekaan. Kerja belum selesai. Pada 15 September 1946, Cornel Simanjuntak berusia 26 tahun pamitan dari dunia. Ia mewariskan lagu-lagu terus disenandungkan bocah-bocah di seantero Indonesia.
Bocah mungkin mengerti lagu Maju Tak Gentar ketimbang harus menafsir tema besar buatan pemerintah: “Indonesia Maju”. Bocah mudah berpikiran tentang maju melalui lagu, cerita, film, gambar, dan lain-lain. Maju dalam lagu berarti keberanian, tekad, kesanggupan berkorban, dan pengharapan meraih kemenangan. Semua demi Indonesia. Pada masa berbeda, diksi “maju” juga digunakan T Prawit-Karip dalam gubahan lagu berjudul Pahlawan. Kita simak lirik lagu: Maju jalan terus maju jalan/ itulah semboyan pahlawan berjuang/ berbakti ikhlas, rela/ menuju cita-cita mulia tak kenal menyerah. Sejak puluhan tahun lalu, “maju” menjadi diksi membarakan semangat dan menguatkan keberanian dalam raihan kemerdekaan dan pemuliaan Indonesia.
Tahun demi tahun, bocah di TK dan SD diajari lagu-lagu kebangsaan atau nasional. Sekian lagu berhasil dihapalkan tapi ada lagu-lagu agak sulit dimengerti dan dihapalkan. Lagu-lagu teringat: Indonesia Raya (WR Soepratman), Bagimu Negeri (Kusbini), Satu Nusa Satu Bangsa (L Manik), Berkibarlah Benderaku (Ibu Sud), dan lain-lain. Pada masa wabah dan bocah-bocah di rumah, mereka tak lagi berada dalam acara-acara untuk mengibarkan bendera. Pada tahun-tahun lalu, mereka bergembira mengartikan Indonesia dengan mengibarkan bendera. Di buku berjudul Ketilang (1995) berisi lagu-lagu gubahan Ibu Sud, kita mengutip lirik lagu Berkibarlah Benderaku, tebar semangat dan mengingatkan sejarah: Berkibarlah benderaku/ lambang suci gagah perwira/ di seluruh pantai Indonesia/ kau tetap pujaan bangsa. Lagu mengandung semangat kemerdekaan. Ibu Sud, turut memberi lagu menggugah dalam sejarah Indonesia. Ia menjadi rujukan bagi Cornel Simanjuntak selama menjalani kehidupan seni dan pergerakan kebangsaan di Jakarta.
Pada masa Orde Baru, kita mendengar lagu berjudul Pantang Mundur gubahan Titiek Puspa. Dulu, Titiek Puspa itu artis dalam industri lagu pop tapi memiliki keberpihakan dalam gubahan lagu-lagu nasionalisme. Lirik teringat: Kulepas dikau pahlawan/ kurelakan kau berjuan/ demi keagungan negara… terus maju pantang mundur. Lagu itu tetap memilih diksi “maju” membuktikan keberanian meraih dan memaknai kemerdekaan di masa lalu. Kini, bocah-bocah di rumah diminta pemerintah agar “maju” dalam pendidikan. Mereka dirundung bosan dan sedih tapi dituntut “maju”. Mereka mungkin memilih bersenandung untuk hiburan dan mengartikan kemerdekaan. Peristiwa mereka bersenandung Maju Tak Gentar tentu ledekan bagi kaum politik mengartikan diksi “maju” adalah bertarung di pilkada dan menang dengan segala cara. “Maju” mulai rancu. Begitu.