Bocah-bocah suka dongeng binatang. Mereka masuk ke cerita dengan tokoh berupa binatang tapi memiliki sifat-sifat manusia. Berimajinasi tampang, gerak, dan bahasa digunakan para binatang dalam cerita. Bocah-bocah mungkin ingin mengetahui dunia binatang tapi tetap berurusan dunia manusia, Binatang sekadar tokoh. Binatang mungkin siasat mengelabui agar pembaca meragu dengan manusia.
Pada masa 1970-an, Ajip Rosidi berhasrat mengadakan buku-buku cerita bermutu untuk anak-anak di Indonesia. Ia lahir dan tumbuh dengan album cerita khas Jawa, Sunda, atau Nusantara. Pikat cerita-cerita membuat ia rajin menulis sastra sejak remaja. Indonesia masa 1970-an masih bergelimang masalah dalam pendidikan, perbukuan, demokrasi, dan lain-lain. Ajip Rosidi ingin bocah-bocah mengerti Indonesia melalui cerita-cerita.
Ia dan pelbagai pihak mendirikan penerbit bernama Pustaka Jaya, mula-mula memberi perhatian besar untuk buku cerita anak. Penerbit bertanggung jawab dalam perwujudan misi-misi keaksaraan dan keindonesiaan. Di majalah Tempo, 6 November 1971, kita membaca laporan utama berjudul “Batjaan Anak-Anak Kurang Apa?” Seribu masalah sedang diusahakan mendapat jawaban: salah atau benar. Perbukuan anak diinginkan bergairah, berkhasiat, dan bermartabat.
Penjelasan dari Ajip Rosidi dikutip dalam Tempo, memberi ingatan situasi perbukuan masa lalu: “Pemupukan minat batja bagi anak-anak dan menjalurkannja kearah buku-buku jang baik, sampai sekarang tak dapat berdjalan karena dari fihak pemerintah tidak ada program dan tindakan jang konkrit setjara kontinju.” Kritik itu terjawab oleh pemerintah dengan kebijakan pengadaan bacaan anak. Dana besar pemerintah digelontorkan untuk penerbit-penerbit dianggap sanggup menerbitkan buku-buku bermutu. Pustaka Jaya turut mendapat limpahan rezeki dari pemerintah. Pada babak awal, penerbit itu menghendaki buku-buku bermutu gubahan pengarang Indonesia dan seri terjemahan sastra (anak) taraf dunia.
Penjelasan dari direktur Pustaka Jaya cukup mengejutkan berlatar kegandrungan anak-anak membaca komik pada masa 1970-an: “Pustaka Jaya tidak akan menerbitkan komik karena komik membuat anak-anak malas.” Keterangan itu bisa dibantah dan dipatahkan. Bacaan dicap “baik” atau “sehat” terus menjadi perdebatan, menghasilkan belasan argumentasi ingin “menang”.
Pembuktian dilakukan oleh Pustaka Jaya, tak ikut berebut laba dalam pasar komik. Penerbit memiliki cara berbeda. Pada 1974, terbit buku berjudul Negara Margasatwa susunan Prabandaru (penulis) dan A Wakidjan (ilustrator). Buku tipis mendapat keterangan seri “Buku Bacaan Bergambar.” Kesenangan anak-anak membaca cerita memiliki gambar-gambar diwujudkan. Pengisahan dengan tokoh-tokoh binatang diharapkan membuat para pembaca terpikat.
Cerita bisa memikat tapi gambar tak ada jaminan. Penerbit belum memiliki kesanggupan mempersembahkan buku ramai warna. Ilustrasi-ilustrasi dalam buku cuma tiga warna: hitam, putih, dan hijau. Kita maklum ongkos dan teknik cetak masa lalu masih terbatas.
Kehadiran buku berjudul Negara Margasatwa itu selingan dari pesta komik di Indonesia. Bocah-bocah bisa membagi perhatian untuk mencerna kata-kata dan berimajinasi dengan gambar. Pembuka cukup klise: “Di Negara Margasatwa, kehidupan rakyat amat tenteram. Raja Gajah memerintah dengan bijaksana. Negara menjadi makmur sejahtera karena rakyat bekerja giat dan bergotong royong.” Pengarang bernama asli Sugiarto Sriwibawa tak mengisahkan rezim Orde Baru di Indonesia. Ia menulis “negara margasatwa” tanpa alamat terang. Ia mungkin terpengaruh atau pernah membaca novel George Orwell. Konon, novel berjudul Animal Farm
Prabandaru mengerti situasi Indonesia. Ia mungkin menghadirkan sekian hal agar terbaca anak-anak. Ia pun berhak “menutupi” atau sengaja tak menghadirkan bobrok-bobrok besar merujuk Indonesia. Penulisan cerita bisa menjadi rekaman zaman dan sindiran.
Pada masa 1970-an, jutaan warga di Indonesia tercatat miskin. Tatanan politik dan ekonomi perlahan pulih setelah malapetaka 1965. Kemunculan elite politik cap “baru” dan kaum modal agak menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang, malu bila selalu berstatus negara miskin atau negara terbelakang.
Prabandaru memunculkan tokoh bergelimang uang, ajakan agar tak berpikiran Indonesia dihuni orang-orang miskin. Ia mengisahkan: “Pak Jago yang paling kaya. Sebagai saudagar, ia pandai dan rajin berdagang, sehingga mendapat laba banyak. Rumahnya bagus dikelilingi kebun yang teratur ramai.” Dulu, Indonesia menghendaki kemakmuran meski dinikmati sedikit orang.
Pak Jago berhak mendapat pujian sebagai saudagar. Pelengkap tentu kritik. Prabandaru menampilkan istri disebut Bu Babon. Kebiasaan: “… suka memamerkan kekayaannya. Jika pergi ke pasar saja, dikenakannya segala perhiasan yang serba mahal: kalung mutiara, giwang emas, dan cincin berlian. Karena itu banyak tetangga dan kenalan yang iri.” Kita mengandaikan anak-anak membaca itu belajar kesenjangan ekonomi dan sosial. Mereka prihatin kaum miskin tapi sadar dampak orang-orang bergelimang uang pamer kemakmuran di hadapan publik. Para pembaca bisa mengaitkan cerita dengan situasi hidup keseharian di desa atau kota. Makmur atau sejahtera bukan untuk semua orang. Uang dan harta kadang membenarkan kesombongan menimbulkan iri, benci, dan tragedi.
Puluhan tahun berlalu, buku tipis itu ditemukan dan dibaca lagi. Buku tak dinikmati seperti anak-anak membaca pada masa 1970-an. Kita sebagai pembaca dewasa memiliki sangkaan-sangkaan besar atas maksud pengarang dan ilustrator. Cerita bertokoh binatang-binatang memang “menunda” pembaca dalam mencari kemiripan atau persamaan dengan tokoh-tokoh di Indonesia. Buku itu mengajak pembaca memikirkan binatang meski berpredikat raja, polisi, hakim, jaksa, saudagar, pencuri, dan lain-lain.
Prabandaru mengajukan tragedi. Pak Jago dan Bu Babon mengalami tragedi malam hari. Pencuri masuk rumah dan mengambil harta. Kejadian pencurian itu diceritakan dengan wajar. Srigala sebagai pencuri berhasil menipu Angsa selaku penjaga rumah. Angsa ditipu dengan kenikmatan rokok dan arak memabukkan. Suasana malam mengakibatkan Angsa terjebak bujukan Srigala. Kita tak terlalu kaget dengan masalah pencurian di rumah penuh harta. Kaget justru dalam pilihan menjadikan gambar Angsa sedang merokok dipasang di sampul depan. Gambar cocok dengan cerita. Gambar itu mungkin sasaran kritik bagi kaum moralis tak menghendaki anak terpengaruh atau meniru adegan merokok.
Cerita dan gambar kadang memberi pengaruh ganda. Kita mengerti gambar-gambar buatan Wakidjan tampil sederhana dalam terbitan Pustaka Jaya. Dulu, para bocah saat membaca mungkin sudah memberi pujian, diam-diam menginginkan beragam warna. Mata melihat gambar-gambar margasatwa sambil mengimajinasikan “negara” dengan alamat tak diketahui. Bocah mulai berpikiran kritis mungkin mencari pertautan dengan Indonesia.
Kini, buku tipis mencantumkan dua nama di sampul bersamaan itu bakal dianggap “kuno”. Buku memberi penghormatan atas peran penulis cerita dan ilustrator. Kita menilik masa 1970-an. Buku-buku bermutu diusahakan oleh sekian penerbit sambil menanti kebijakan-kebijakan pemerintah. Masa itu berlalu. Kita masih mungkin mengenang jika bertemu buku dan membaca (lagi) tanpa wajib berimajinasi “margasatwa” masih berlaku di Indonesia masa sekarang. Begitu.