Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Bahasa: Baku dan Berkuasa

Kbbi...

Indonesia dibentuk dengan bahasa-bahasa. Semula, pembentuk bukan cuma bahasa Indonesia. Pada babak-babak sejarah terpenting, bahasa Indonesia berperan besar. Sejarah mengandung peristiwa, tokoh, dan buku dalam membentuk dan memuliakan Indonesia dengan bahasa Indonesia.

Kita pastikan Indonesia belum memiliki pusat dokumentasi terlengkap untuk ribuan judul buku bertema dan mengenai bahasa Indonesia, dari masa ke masa. Buku-buku mungkin tersimpan “sedikit” di Perpustakaan Nasional dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Di pelbagai perpustakaan milik perguruan tinggi dan daerah mungkin memiliki koleksi juga “sedikit”.

Kita bermimpi saja bakal ada perpustakaan besar dan ruang belajar untuk mengetahui sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia. Di situ, pengandaian terkumpul ratusan ribu buku beragam bahasa. Kita berharap ada pula pajangan foto-foto para tokoh, peristiwa sejarah, dan poster-poster pernah turut membesarkan bahasa Indonesia.

Pada setiap Oktober, publik diajak memuliakan bahasa dan sastra Indonesia. Ajakan dari pemerintah mungkin teranggap baik meski kita biasa menambahi dengan “tapi” atau “andai”. Kita mungkin mengalami pengulangan dan bosan setiap Oktober berurusan dengan tata cara peringatan dan seruan-seruan bersumber pemerintah. Kita ingin mendapat kejutan-kejutan atau “kebaruan” agar Oktober menjadi bulan “penasaran” bahasa Indonesia.

Peringatan dengan kliping dan membaca terbitan-terbitan lama agak menjawab penasaran. Kita mengenang bahasa Indonesia berlatar masa 1980-an. Di situ, ada masalah-masalah politik, pendidikan, bahasa, dan lain-lain. Kita membaca saja masa lalu sambil iseng membandingkan dengan masa sekarang. Di hadapan kita kliping tak lengkap dan dua buku persembahan pemerintah.

Tempo menjadi sumber kliping. Dua resensi dibuat Slamet Djabarudi untuk menanggapi kebijakan pemerintah mewujud dua buku. Konon, buku-buku “mengesahkan” tanggung jawab rezim Orde Baru memajukan bahasa Indonesia. Kita bisa gegabah memberi tafsiran bila tak memiliki album kliping lengkap dan dokumen-dokumen resmi. Dulu, urusan bahasa (Indonesia) memang mudah dimengerti berkaitan kekuasaan.

Di majalah Tempo, 5 November 1988, resensi berjudul “Tata Bahasa Buat yang Terpelajar”. Resensi tampil apik bersama pemuatan foto serah-terima buku berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Kita melihat dua sosok penting: Fuad Hassan dan Soeharto. Foto mengabarkan nasib bahasa Indonesia dalam lakon Orde Baru. Kita berimajinasi Soeharto menjadi pihak (paling) bahagia dengan kemajuan bahasa Indonesia. Acara itu dilakukan berbarengan dengan peringatan bersejarah: 28 Oktober 1988. Buku ingin terhubung sejarah dan kekuasaan.

Baca juga:  Lebaran: Ceritarasa dan Mustikarasa

Slamet Djabarudi menerangkan: “Berisi sebelas bab, buku ini menguraikan berbagai soal kebahasaan dengan istilah yang, diakui oleh para penyusun, agak sulit bagi orang awam. Diberikan contoh-contoh kata dan kalimat yang berterima dan tidak berterima dalam bahasa Indonesia.” Pembedaan dimunculkan: awam dan terpelajar. Buku sebagai hadiah peringatan Sumpah Pemuda mengesankan “serius”, “berat”, dan “sulit”.

Buku membahagiakan masih mengandung kelemahan. Slamet Djabarudi berlaku sebagai pembaca mencari kesalahan dan kelemahan. Kita mengutip: “Di sepanjang buku ini terlihat kurangnya ketaatan pada asas penerapan ejaan. Misalnya pemakaian koma dalam rincian, dalam aposisi, dan dalam kata maka, dengan demikian yang berfungsi sebagai penghubung antarkalimat. Buku ini juga kurang mantap menerapkan pedoman pembentukan istilah.” Buku belum sempurna. Buku susah sempurna gara-gara disusun tergesa untuk peringatan sejarah dan berhasrat politis.

Di hadapan kita, buku dengan sampul berwarna hijau. Pilihan warna agak aneh bila kita mengenang masa lalu kekuasaan berwarna kuning. Buku diadakan pemerintah dijamin tak menarik dalam kualitas cetak dan penampilan. Kita maklum terlalu lama. Buku tetap penting bila ingin mengerti nasib bahasa Indonesia. Buku itu berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Cetakan pertama, Oktober 1988. Cetakan kedua, Desember 1988. Catatan: “dengan perbaikan”. Kita ingat saran Slamet Djabarudi: “Dengan perbaikan kecil, misalnya keseragaman ejaan apapun – apa pun, istri – isteri, dan koreksi atas kesesuaian antara uraian dan contoh, buku ini sangat bermanfaat bagi proses pembakuan bahasa Indonesia.” Kita menduga kritik itu diterima dan dibuktikan dengan cetakan kedua mencantumkan keterangan: “dengan perbaikan”. Pemberi kritik dan usulan tentu bukan cuma peresensi di Tempo.

Kita membaca penjelasan di halaman prakata mumpung buku lama itu masih terperoleh: “Walaupun buku ini merupakan ramuan pendapat dan temuan ahli bahasa Indonesia yang mutakhir, para penyusunnya sadar sepenuhnya bahwa karangannya masih menunjukkan banyak rumpang. Karena itu, setelah mendapat tanggapan para pemakainya akan diusahakan pelengkapannya dalam edisi yang berikut.” Para ahli masih mungkin salah. Kita maklum saja. Pembuatan buku dimaksudkan baik demi perkembangan bahasa Indonesia.

Buku memuat sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan: “Tata bahasa memang tidak menentukan hidup matinya suatu bahasa; bahkan bahasa dalam pengejawantahannya sebagai ujaran adakalanya tidak terikat pada suatu tata bahasa, tetapi berlangsung sesuai dengan kelaziman penggunaan awam belaka. Sebaliknya, ada bahasa yang memiliki tata bahasa yang baku, namun tinggal sebagai bahasa yang membeku tanpa faidah sebagai sarana ujian.” Kita tak mengetahui sambutan dari menteri mendapat koreksi atau melalui editor sebelum terbit. Kita membaca kalimat agak aneh bila menganut kaidah bahasa Indonesia. Penulisan “faidah” bisa dianggap salah bila pembaca menganggap penulisan baku itu “faedah”.

Baca juga:  Sastra Kita Jalan di Tempat?

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), faedah berarti “guna, manfaat, untung, laba, sesuatu yang menguntungkan.” Pada saat menulis sambutan, Fuad Hassan mungkin tak membuka kamus. Sejak puluhan tahun lalu, ia sudah moncer sebagai penulis dan penerjemah. Orang-orang mengira ia mahir berbahasa Indonesia, tak ada ketergantungan dengan kamus-kamus.

Semula, Kamus Besar Bahasa Indonesia terbit pada 1988. Kamus menjadi hadiah dalam peringatan 60 tahun Sumpah Pemuda. Pemerintah menunaikan kerja besar agar sejarah itu termaknai dengan kamus. Sebutan “besar” memastikan kamus berbeda dari kamus-kamus terdahulu atau semasa.

Sekian hari setelah terbit, Slamet Djabarudi menulis resensi di majalah Tempo, 12 November 1988. Ia tampak sebagai peresensi tangguh setelah berani memberi kritik atas penerbitan buku berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988). Ia menganggap dua buku itu berkaitan.

“Selama lebih dari 30 tahun, dunia ‘perkamusan’ bahasa Indonesia ‘dikuasai’ oleh kamus umum susunan WJS Poerwadarminta,” si peresensi membagi ingatan perkamusan. Ia melanjutkan: “Kini, 36 tahun setelah kamus Poerwadarminta terbit, barulah lahir Kamus Besar Bahasa Indonesia.” Penantian agak lama saat perkembangan bahasa Indonesia mendapat sanjungan.  Di foto dimuat di Tempo, kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia dicetak dalam dua jilid. Penerbit mungkin memiliki pertimbangan khusus untuk menghadirkan kamus 1.090 halaman. Pada 1989, cetak ulang kedua wujud buku berbeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia cuma sejilid dengan sampul keras berwarna hijau.

Slamet Djabarudi mengabarkan: “Dibandingkan dengan kamus Poerwadarminta, kamus ini berbeda dalam hal pencantuman tanda salib. Dalam kamus terdahulu, tanda itu dipasang untuk menyatakan bahwa kata yang bersangkutan disangsikan, jarang dipakai, sudah usang atau mati, dan hanya hidup sejenak lalu tenggelam.” Orang-orang lama ingat kamus memuat tanda salib. Pada masa berbeda, masa 1980-an, orang-orang tak bertemu tanda salib. Kamus mengabsenkan tanda salib demi perkembangan kata-kata dalam bahasa Indonesia, dari dulu sampai sekarang.

Baca juga:  Aceh dan Syariatisasi

Kamus itu bukan bacaan penuh kenikmatan seperti novel. Kamus tentu bukan puisi menuntun pembaca menempuhi halaman-halaman bermisteri. Kamus bukan komik, tak pamer gambar dan kata-kata khas percakapan. Peresensi kamus pasti sosok tangguh, terbiasa membuka kamus-kamus setiap hari. Di akhir resensi, Slamet Djabarudi setor kritik pendek: “Dengan perbaikan kriteria, penertiban tulisan, dan peningkatan ketaatasasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ini bisa tampil sebagai rujukan yang mantap.” Kita menduga ribuan orang bergembira atau memuji penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Mereka memiliki rujukan bila kebingungan kata dan pengertian. Slamet Djabarudi itu pengecualian.

Fuad Hassan memberi pujian: “Sebagai kamus besar yang menghimpun kata-kata dari bahasa Indonesia dalam perkembangan yang sedemikian pesat, niscaya akan diperlukan usaha untuk terus-menerus melengkapinya dengan kata-kata baru yang muncul dalam perkembangan bahasa Indonesia pada masa mendatang. Dengan terbitnya Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi perdana ini, maka usaha melengkapinya akan jauh lebih sederhana.”

Kita ingat penjelasan Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Ia mempersembahkan kamus cap “sederhana”. Pada masa 1980-an, tim di naungan pemerintah menggunakan sebutan besar dalam membuat kamus (bukan) baru. Pada pembaca kamus, “lengkap” itu terpenting.

Di Jakarta, 28 Oktober 1988, Anton M Moeliono (Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) menulis prakata empat alinea saja. Pilihan waktu berkaitan peringatan hari bersejarah. Isi prakata mementingkan “terima kasih”. Orang penasaran dengan kamus boleh kecewa. Keinginan mengetahui segala hal dalam penerbitan kamus dicukupkan dengan satu halaman tak penuh. Urusan itu milik tim (pemerintah), belum menjadi menu gosip bagi publik.

Di halaman 110, kita membaca sekian pengertian besar: “lebih dari ukuran sedang, lawan dari kecil, tinggi dan gemuk, luas, tidak sempit, lebar, hebat, mulia, berkuasa, banyak, tidak sedikit, menjadi dewasa, lebih dewasa dari sebelumnya, penting (berguna) sekali.” Kita mendapat giliran untuk cepat paham judul buku terbitan pemerintah berjudul Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kita menduga pilihan diksi “besar” berarti membedakan dari kamus-kamus pernah terbit disebut “kecil”. Pada 1988, kamus buatan pemerintah terbukti “berkuasa”, tak lagi Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta. Begitu.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top