Ia mengerti dan menguasai panggung. Di pelbagai desa dan kota, ia biasa berada di panggung untuk tebar kata. Di tangan, ia memegang mikrofon. Orang-orang berkerumun mendengar kata-kata penuh pikat dan bergelimang makna. Pengucap kata-kata itu bernama Emha Ainun Nadjib.
Ribuan atau jutaan orang berhak menghormati Emha Ainun Nadjib sebagai sosok di panggung. Ia memang menjadikan orang-orang mau memberi telinga dan berani bicara. Kata-kata selama pengajian atau obrolan tak menghendaki “tata bahasa baku” atau “tertib linguistik”. Di situ, mereka bisa tertawa dan menangis. Kini, ia tetap memiliki panggung saat berusia 70 tahun. Ia sah menua tapi tak rampung mengucap kata-kata.
Dulu, orang-orang berdatangan untuk melihat Emha Ainun Nadjib. Telinga terbuka agar dihampiri kata-kata. Kini, mereka bisa menonton dengan gawai setelah pernah menikmati di televisi. Perjumpaan dan kehadiran bersama dikangeni. Sekian orang mengaku tenteram bisa hadir bersama Emha Ainun Nadjib meski berjarak sekian meter dari panggung. Sosok itu tampak berjanji belum ingin meninggalkan panggung. Kita masih mungkin berjumpa.
Di rumah, sekian orang memilih berjumpa dengan buku-buku. Kita belum mengetahui jumlah buku telah terbit. Emha Ainun Nadjib telah memberi buku-buku dengan beragam penerbit: dari penerbit kecil sampai penerbit besar. Orang-orang memilih menjadi kolektor: mencari dan membeli buku-buku lama gara-gara makin susah ditemukan. Sekian orang memilih menjadi pembaca buku-buku Emha Ainun Nadjib asal tersedia di toko buku atau pasar buku bekas. Keinginan memiliki koleksi lengkap memerlukan duit, tabah, dan keberuntungan.
Penghormatan untuk 70 tahun Emha Ainun Nadjib bisa berbekal tiga buku. Kita tak ingin muluk-muluk dalam mengingat dan mengenali sosok keranjingan menggubah puisi sejak remaja. Ia pernah diramalkan menjadi sosok tenar dan berpengaruh di sastra meski beralamat di Jogjakarta. Emha Ainun Nadjib justru memilih tak terlalu “bernafsu” di sastra saat jalan itu mulai memunculkan sosok-sosok kondang. Ia mudah teringat dengan puisi tapi tampil memicu ketagihan dengan kolom-kolom di pelbagai koran dan majalah. Ia tak selalu berpuisi atau berjanji hidup-mati dengan puisi.
Pada saat Mei belum pamit, kita membaca tiga buku puisi Emha Ainun Nadjib: Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba, 99 untuk Tuhanku, dan Cahaya Maha Cahaya. Tiga buku masih bisa ditemukan dengan penerbit-penerbit berbeda. Judul tiga buku itu mengesankan religiositas. Emha Ainun Nadjib tak sedang “berdakwah” tapi puisi-puisi itu mengundang pembaca di renungan religiositas.
Kita mulai menikmati buku berjudul Cahaya Maha Cahaya (1991). Dulu, ia membuat ketegangan-ketegangan dalam puisi. Pembaca menduga ia suguhkan renungan sufistik. Pembaca mengira tersaji penggalan biografi. Di puisi berjudul “Tak Kunjung”, Emha Ainun Nadjib (1986) mengungkapkan: hidupku tak kunjung tuhan/ namun matiku semogalah// sudah kusisih-sisihkan badan/ agar tergabung di allah// tapi berapa sebuah pertemuan/ minta seberaba-abad darah. Kini, kita membaca dengan imbuhan ketegangan mengetahui pertambahan bab dalam biografi Emha Ainun Nadjib. Puisi itu bermasa lalu tapi kita mengerti ada lanjutan atau perubahan.
Pada masa 1980-an, Emha Ainun Nadjib seperti memiliki seribu mata untuk melihat Indonesia. Ia tak rampung-rampung mengisahkan Indonesia. Puisi tak selalu pelik. Ia kadang gamblang. Indonesia pun dihadirkan dengan “kedirian” dan pembahasaan “bertuhan”. Puisi berjudul “Ajari Aku Tidur” itu mengatakan dan berharapan: tuhan sayang ajari aku tidur/ seperti dulu menemuimu di rahim ibu/ sesudah lahir menjadi anak kehidupan/ sesudah didera tatakrama, pendidikan, politik/ dan kebodohan/ bisaku cuma tertidur/ tertidur. Kita membaca mengandung beda bila ia “nakal” dalam esai-esai. Puisi masih mungkin “bermisteri” saat mengaku tak perlu bertindak heroik. Tidur itu kehendak tak mudah terwujud. Tidur menjadi pilihan kebalikan dari kemauan-kemauan mengubah dan meralat. Emha Ainun Nadjib (1986) tak sedang berkelakar tentang tidur.
Kita membuka halaman-halaman buku berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990). Di puisi berjudul “Memecah Mengutuhkan”, kita insaf Emha Ainun Nadjib (1987) ingin membacakan lantang. Puisi bisa dihadirkan dalam demonstrasi atau prolog pengajian. Larik-larik menghindari suara pelan. Emha Ainun Nadjib menulis: Lengan tanganmu tanggal sebelah/ Karena siang hari politik yang gerah/ Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu/ Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu. Puisi di gairah memberi kritik, protes, atau gugatan. Ia memiliki kefasihan berbahasa, tak jemu membuat pertentangan dan perbandingan. Puisi bisa mengeras.
Sejak lama, Emha Ainun Nadjib keseringan mencantumkan Tuhan dalam puisi-puisi. Ia mungkin tak mungkin mengabsenkan Tuhan untuk larik-larik mengajak orang-orang mengingat Tuhan. Puisi mirip undangan berdoa dan berzikir. Di buku berjudul 99 Untuk Tuhanku (1983), Emha Ainun Nadjib bicara: Tuhanku/ kapan, kapan, di tengah abad glamor, di tengah/ kanker teknologi, di tengah bumerang kemajuan,/ di tengah kesia-siaan pertumbuhan, di tengah/ jebakan mimpi, di tengah simpang siur/ nilai-nilai, di tengah berjejal-jejalnya/ kerakusan dan lupa diri/ kapan/ kapan/ aku bisa setia/ menggapai-gapai-Mu/ senantiasa. Buku sengaja berjudul Tuhan, mengesahkan ia melulu mencantumkan Tuhan.
Puisi-puisi lama tetap menegangkan saat kita membaca sambil menghormati Emha Ainun Nadjib menua. Kita bisa berdoa berbekal puisi-puisi, berharapan sosok itu belum selesai dengan Tuhan dan puisi. Ia mungkin terus berpuisi tanpa kita bisa menagih semua bisa terbit menjadi edisi lengkap. Buku puisi tebal seribuan halaman bakal membuat kita kewalahan berurusan dengan Tuhan. Begitu.