Entah karena faktor apa isu pendirian Negara Islam terus santer terdengar di masyarakat. Khilafah didengung-dengungkan tak berhenti, bahkan menurut sebagian kalangan sudah membahayakan persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerusuhan 21-22 Mei, kelompok khilafah terindikasi memboncenginya.
Argumen klasik yang terus dimunculkan oleh kelompok pendukung khilafah ini adalah Islam dan Indonesia akan jaya kalau menggunakan sistem khilafah dan meninggalkan sistem demokrasi yang menurut kelompok ini sistem kafir atau taghut.
Sayangnya, ide khilafah bukan hanya menyuguhkan konsep yang tidak jelas, tapi juga cenderung memilih jalan ekstrim, yang justru bertentangan dengan pendekatan yang selama ini diteladankan oleh Nabi Muhammad saw, sebagai pembawa risalah suci Islam. Sampai di sini, kampanye khilafah hakikatnya tuna argumen.
Kelompok ini memandang, khilafah merupakan sistem ketatanegarakaan yang dikembangkan oleh masyarakat muslim. Hal ini dapat dilihat pada sejarah pasca Meninggalnya Nabi Muhammad saw, suksesi kepemimpinan sepenuhnya diserahkan keapada kaum muslimin, sehingga lahir metode yang berbeda-beda dalam setiap zamannya.
Jika kita menelisik sejarah, setidaknya akan menemukan tiga model. Pertama, musyawarah perwakilan- ini terjadi pada pemilihan khalifah Abu Abkar, dimana musyawarah dilakukan bersama perwakilan dari kalangan Muhajirin dan Anshar secara terbatas;
Kedua, melalui surat wasit yang ditulis oleh Sayidina Abu Bakar mewariskan kepemimpinan kepada Syayidina Umar bin Khathab, saat itu surat wasiat di tulis oleh Syayidina Usman bin Affan, kemudian surat wasit itu dibaca dihadapan kaum muslimin, dan setelahnya dilakukan pembaiatan.
Ketiga, pemilihan melalui mekanisme majelis syura yang saat itu beranggotakan enam orang, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdur rah man bin ‘Auf.
Sistem ini diadopsi oleh Nahdlatul Ulama dalam pemilihan Rais Aam dengan sistem ahlul halli wal aqdi. Tokoh muslim kenamaan yang juga presiden ke-4 Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab di sapa Gus Dur menyatakan “Islam tidak pernah memunculkan diri sebagai sebuah negara, melainkan sebagai komunitas atau masyarakat, umat. Dua buah hal yang sama sekali tidak pernah disinggung secara teoritik dalam Islam. Kedua hal itu adalah ketentuan mengenai suksesi kepemimpinan, dan ukuran fisik dari sebuah negara dari pandangan Islam, walaupun demikian dalam praktek kedua hal itu diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin sendiri, sebagai sebuah komunitas.”
Pandangan ini tentu bukan tanpa alasan, secara prinsip sistem khilafah memang tidak diatur secara spesifik dalam Islam. Perkembangan sistem kepemimpinan diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan bersama.
Berangkat dari catatan sejarah di atas, penulis perpandangan lahirnya tiga model suksesi kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, membuka ruang yang sangat lebar bagi umat muslim untuk memilih sistem mana yang ingin dipakai. Tidak ada kebakuan apalagi kekakuan dalam suksesi kepemimpinan.
Ruang kebebasan umat muslim untuk memilih model setidaknya dari tiga model yang ada menunjukkan demokrasi sangat jelas diajarkan oleh Islam. Penting untuk difahami bersama, ketiga model sistem itu juga melekat pada sejarah dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Fakta sejarah Indonesia mencatat tiga model suksesi kepemimpinan sudah dipraktikan baik oleh bangsa Indonesia maupun elemen yang ada didalam bangsa Indonesia. Sebelum kemerdekaan, bahakan setelah kemerdekaan kepemimpinan yang dipilih melalui warisan terjadi pada sistem kerajaan, dimana system ini kala itu berkembang pesat diseluruh wilayah Indonesia.
Dalam tata Negara, saat itu pemimpin atau raja harus dipilih berdasarkan titah raja sebelumnya atau diwariskan. Artinya, masyarakat Indonesia sudah mempraktikkan sistem warisan yang dilanjutkan dengan bai’at. Sistem ini berjalan sangat lama dan mendominasi catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Musyawarah perwakilan, pasca kemerdekaan sistem ini dikembangankan di Indonesia, di mana presiden dipilih oleh berdasarkan keterwakilan masyarakat Indonesia di parlemen. Mekanisme yang dikembangkan dalah pemilihan umum, di mana masyarakat memilih calon wakilnya di parlemen, selanjutnya wakil ini akan mewakili masyarakat dalam memilih kepala negara, atau kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota). Sistem Pemilihan melalui dewan syuro, juga dilakukan oleh beberapa elemen bangsa Indonesia, di antaranya yang sudah penulis ungkapankan di depan adalah organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama.
Penting juga diketahui, bahwa perjalanan system suksesi kepemimpinan juga mengelama perubahan diseluruh belahan Dunia, termasuk di Indonesia, setelah melakukan refleksi secara menyeluruh, kemudian dikembangkan pemilihan presiden secara langsung. Masayarakat diberi kesemapatan secara penuh sebagai pemegang kedaulatan negara untuk memilih pemimpinnya. Meskipun sistem ini masih perlu di evaluasi, terelebih dengan adanya system kepartaian yang dianut oleh Indonesia.
Dari semua hal di atas, penulis menilai bahwa Islam sudah menjadi nafas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, bahkan ini disepakati bersama oleh seluruh elemen bangsa yang notabene beragam. Islam sudah tercantum dalam naskah Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Seperti halanya Piagam Madinah yang di buat oleh Nabi Muhammad sebagai pegangan kaum muslimin dan mendapat pengakuan dari seluruh elemen masyarakat pada saat itu.
Penulis memandang, menjadi sangat penting untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah konsesnsus bersama, yang di dalamnya menjunjung tinggi ajaran Islam, bahkan menjadikan ajaran Islam sebagai dasar dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegera.
Masih mau bicara khilafah di Indonesia? Saran saya berhentilah. Tak berguna!
Banyak typo’e mas. Lantas tolong sertakan sumber ya.
Nu sdh memilih rais AM melalui AHWA ahlu hali wal aqdi,, tapi kenyataanya tetap sj yg terpilih dicaci dan dihujat,,,
Kl sj dlm negara dilakukan ahwa bisa jd yg masuk AHWA atau SYURO terap dimaki juga khalifahnya!!!