Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Universitas Airlangga (Unair) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim mengadakan Internasional Webinar dengan mengangkat tema ‘Nasionalism, Education, Health, and Economy Partnership in Global Perspective’ pada Sabtu, (23/10/2021) pukul 09.00 WIB melalui zoom dan live Youtube pusat pembinaan idiologi Unesa
Dalam kesempatan ini hadir sebagai pemateri Ambassador Abdul Kadir Jailani (General Director of Asia Pacific and Africa Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia). Assoc. Prof. Aziz Rahman, MBBS., MPH., PhD. (Federation University, Australia) Prof. Dr. Jusuf Irianto, M.Com. (Indonesian Council of Religious Scholar East Java, Indonesia). Mr. Suyoto. (Kanda University of International Studies, Japan). Assoc. Prof. Dr. Khatijah Omar, BBA., MBA., PhD. (Universiti Malaysia Terengganu, Malaysia) dan Prof. Dr. H. Ali Maschan Moesa, M.Si mewakili MUI Jatim
Mr. Suyoto menyampaikan materi dengan judul Pendidikan Literasi Digital dalam Peningkatan Nasionalisme di Jepang Perspektif Orang Indonesia. Menurutnya masyarakat Jepang mempunyai 12 citra yang di pegang teguh.
12 citra itu adalah, maju/canggih (melek dan akrab dengan teknologi), disiplin dan bertanggung jawab, tidak pandai berbohong dan berbudaya malu, aktif menangkap peluang, menghargai usaha dan kualitas kerja, pekerjaan sebagai pilihan hidup, apresiatif terhadap seni dan keterampilan, sangat perduli dengan kebersihan dan kesehatan, teguh menjaga dan merawat tradisi, suka berkecil-kecil dan berorientasi data, suka membandingkan dan memperingkat, hubungan formal senior-yunior.
Terkait nasionalisme di Jepang, Mr. Suyoto menjelaskan bahwa nasionalisme di Jepang tidak lahir begitu saja.
“Awalnya Jepang menganut politik isolasi (SAKOKU), ini adalah upaya Tokugawa untuk menghindari intervensi asing,” ujarnya.
Melanjutkan penjelasannya bahwa kehadiran bangsa Barat yang diimpin oleh Komodor Matthew Perry pada 18/07/1853 yang menyadarkan ketertinggalan serta melucut semangat dan motivasi bangsa Jepang. Namun Shinto, Budha serta Tennosei mempunyai pandangan lain, menurutnya Kaisar sebagai keturunan Dewi Matahari ‘AMATERASU’ merupakan faktor utama tumbuhnya nasionalisme bangsa Jepang.
Dalam analisisnya, ihwal nasionalisme bangsa Jepang adalah kepercayaan (agama) Shinto dan Budha serta Ideologi Tennosei melahirkan jiwa nasionalisme bangsa Jepang. Nasionalisme di Jepang membentuk 4 aspek. Pertama, kaisar sebagai lambang Negara dan simbol kesatuan bangsa. Kedua, bushido (jiwa samurai) sebagai jati diri dan semangat patriotisme. Ketiga, ajaran Shinto dan Budha dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Keempat, adalah budaya dan tradisi sebagai identitas.
Beranjak menjelaskan literasi, Mr. Suyoto memaparkan bagaimana Jepang bisa masuk 5 besar negara dengan tingkat literasi tertinggi bersama Firlandia, Belanda, Swedia dan Australia.
“Budaya literasi di Jepang sudah di mulai sejak lama, budaya literasi di Jepang di mulai dengan sebuah konsep yang di sebut Terakoya yang mirip dengan Pesantren di Indonesia,” Jelas Mr. Suyoto
Terakoya ini adalah tempat belajar swasta (bukan sekolah formal) yang dimulai sejak zaman Edo. Di sini anak-anak masyarakat umum belajar membaca, menulis dan berhitung. Tahun 1830 Terakoya sudah berkembang ke seluruh Jepang, pada zaman Meiji (1868) jumlah Terakoya di Jepang mencapai 15.000.
Literasi dikenalkan kepada anak-anak Jepang sejak bayi melalui program pemberian buku kepada ibu ketika mengantarkan bayi imunisasi pertama. Kemudian anak-anak Jepang mulai dibangkitkan militansi membacanya dengan dibacakan orang tuanya setiap hari menjelang tidur.
Para ahli pendidikan di Jepang sangat percaya bahwa keberhasilan sebuah bangsa, khususnya di bidang pendidikan adalah di tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu literasi sangat diutamakan oleh masyarakat Jepang di masa pendidikan dasar.