Belasan siswi SD Negeri Kaliharjo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah berlatih tari dolalak di halaman sekolah. Mereka mengenakan kostum berwarna hitam dengan ornamen kuning mencolok.
Celana mereka pendek selutut. Selendang merah dan alas kaki yang sama merahnya menjadi aksen penghias yang kontras. Pemandangan ini saya temukan di sebuah foto di rubrik Nusantara Harian Kompas, Sabtu 17 Februari 2018.
Foto ini membawa ingatan saya melayang kepada sebuah kejadian masa kecil ketika sebuah parade kesenian tengah diselenggarakan di desa sebelah. Hari itu, yang terjadwal tampil adalah tari dolalak, dan karena itulah saya tidak diperbolehkan menonton oleh orang tua. Ada jatilan, kuda lumping, topeng ireng, dll. di hari-hari sebelumnya yang mana saya diperbolehkan pergi ke sana bersama teman-teman. Namun tidak hari itu.
Alasannya, kata bapakku, tidak aman; banyak orang mabuk; berbahaya kalau-kalau ada penonton yang berkelahi. Hampir semua anak kecil di lingkungan kompleks rumah berduyun-duyun datang ke sana. Saya, dari kaca jendela rumah, menangis melihat mereka semua berangkat penuh semangat.
Ketakutan orang tua saya memang bukan tanpa sebab. Kala itu, berulang kali pentas dolalak berakhir rusuh. Sama rusuhnya kalau ada pentas dangdut di desa. Sebagai gambaran, contoh ekstrem kerusuhan karena dangdut yang pernah terjadi berakhir dengan penusukan seorang pemuda.
Keluarga dan teman-teman korban yang tidak terima membalas dengan lemparan puluhan batu ke rumah pelaku, meski orang yang bersangkutan sudah dibawa ke kepolisian. Kejadian ini membuat aparat kepolisian melarang pementasan dangdut di desa. Kejadian yang sama terjadi lima belas tahun yang lalu menimpa dolalak di Purworejo.
Tidak main-main, larangan dari aparat kepolisian terhadap pementasan tari dolalak berlaku selama 10 tahun.
Pada Mulanya Laki-laki
Do la la. Ratusan tahun silam, ketika para tentara Belanda butuh hiburan di tanah jajahannya, mereka bakal berdansa. Lagu-lagu dansa yang menghibur itu disetel di tangsi-tangsi militer di mana mereka tinggal. Tak terkecuali di Purworejo. Irama dengan notasi “do la la” menjadi satu potongan lagu yang menempel bukan hanya di ingatan para tentara, tapi juga masyarakat pribumi di sekitarnya.
Lagu-lagu dengan tone riang dan menghibur itu menginspirasi beberapa orang—yang salah tiganya adalah Duryat, Renodimejo, dan Rejo Taruno—untuk membikin hiburan bagi kelompok mereka sendiri. Sebuah ide yang kemudian mewujud menjadi tari dolalak pada tahun 1915.
Dari sebuah kelompok tari di Loano, kini kesenian ini sudah dipelajari di berbagai tempat di Purworejo dan sekitarnya. Kurang lebih ada sekitar 60 kelompok tari dolalak yang masih bertahan. Perkembangannya yang pesat, apalagi pada fase awal pembikinannya, salah satunya dipengaruhi oleh minimnya hiburan masyarakat kala itu.
Di masa-masa awal kelahiran tari dolalak, para penarinya hanya mengenakan pakaian layaknya orang hendak pergi bertani. Celana pendek dipilih karena pada dasarnya sehari-hari mereka bertani dengan celana pendek. Topi dari sabut kelapa dibikin layaknya topi-topi para kumpeni.
Seiring berjalannya waktu dan penerimaan masyarakat yang semakin tinggi, muncul gairah untuk mulai membikin kostum penari. Mulai dari celana, baju, topi, selendang, diatur sedemikian rupa. Kacamata hitam pun tak lepas mengisi kostum para penari dolalak. Seakan belum benar-benar gaul, kala itu, jika penarinya tak memakai kacamata hitam.
Selain kostum, gerakan demi gerakan tari pun mulai dibikin ciri khasnya. Mulai dari kirig di mana gerakan ini para penarinya akan menggetarkan punggung hingga ngetol di mana pantat digoyang-goyangkan. Semua gerakan itu dilakukan oleh para penari pria—dan memang hanya ada penari pria kala itu.
Keadaan berubah mulai tahun 1970-an di mana penari perempuan mulai bermunculan. Dicatat Kompas, Tahun 1990 adalah titik masa di mana tari dolalak perempuan mulai lebih diminati ketimbang tari dolalak laki-laki. Adanya perubahan tipikal penarinya membuat dolalak mengalami banyak perubahan dari segi penampilan, mulai dari kostum hingga gerakan. Pada masa inilah gombyok dan anting-anting rumbai mulai digunakan oleh para penari.
“Hal lain yang berubah adalah celana yang semakin pendek. Kelompok penari di sejumlah tempat bahan memangkas celana yang semula selutut menjadi sepangkal paha,” tulis Kompas.
Dan sebagaimana sudah disinggung di awal bahwa dolalak pernah dilarang oleh aparat kepolisian selama 10 tahun, larangan pun pernah keluar dari kalangan ulama di Purworejo. Di titik masa ini “kostum dolalak dianggap tidak sejalan dengan ajaran agama Islam.”
Sebuah paradoks karena beberapa lagu yang dinyanyikan dalam pentas dolalak berisi syair-syair dakwah dan selawat.
Namun, itu adalah dolalak sebelum tahun 2000-an. Kini, di mana tari dolalak sudah tidak lagi dilarang, kelompok dolalak mulai kembali digemari. Sekitar lima tahun terakhir, tari ini kembali mulai bergeliat. Sanggar-sanggar kecil mulai bermunculan. Sebuah fase dolalak yang sempat dilarang diganti dengan dolalak yang seperti sedia kala: dolalak yang riang gembira tanpa harus menjadi vulgar.
Pemerintah Purworejo sendiri kini menjadikan dolalak sebagai salah satu ikon daerah mereka. Oleh Dinas Kebudayaan setempat bahkan dibikinkan silabus agar para guru bisa mengajarkan dolalak di sekolahan, seperti yang dilakukan oleh siswi-siswi SD Negeri Kaliharjo.