Kubro Siswo Kembali Meliuk-liuk di Maulid Nabi

Kubro Siswo Kembali Meliuk-liuk di Maulid Nabi

Malam gerimis, tapi tidak menghalangiku untuk tetap berangkat. Di sana, di Gunungpring, acara perayaan Maulid Nabi Muhammad saw sedang berlangsung. Lapak makanan, pakaian, aksesoris, wahana permainan, dan segala hal yang biasa kau temui di pasar malam tumpah di sepanjang jalan Watucongol-Gunungpring.

Lima panggung kesenian juga sudah berdiri di berbagai titik untuk ikut memeriahkan hajatan tahunan ini. Tiap malam, selama sepuluh hari, berbagai tontonan tampil berbarengan di masing-masing panggung. Dan yang paling penting, malam itu adalah giliranmu dan kawan-kawanmu di kelompok kesenian Kubro Siswo Panca Muda untuk tampil.

Malam itu menjadi malam yang penuh kerinduan. Setelah sekian tahun absen dari panggung Perayaan Mauludan di Gunungpring, kelompok kesenian asal Ketaron, Tamanagung, Muntilan—hanya sepuluh kilometer dari tempat acara—ini akhirnya kembali hadir sebagai penampil.

Munculnya kembali anak-anak muda di dusun yang mau menggerakkan kesenian menjadi faktor penting bangunnya Panca Muda dari tidur yang panjang—faktor yang sama dialami berbagai kelompok seni kubro siswo yang lain. Di luar itu, tren masyarakat sekitar Magelang juga sedang mulai menggandrungi kembali kubro siswo sebagai tontonan.

Sejak masa kelahirannya pada 1969 Panca Muda hanya beberapa kali memiliki anggota yang solid. Ia sering kali ditinggalkan seiring selera masyarakat yang terus berpindah dari satu tontonan ke tontonan yang lain. Meski begitu, kubro siswo tak pernah benar-benar mati. Ia menunggu orang-orang di desa untuk kembali mengisi.

Lahir dengan Kegelisahan

Pada mulanya adalah santri-santri yang gelisah soal kondisi zaman. 1960-an, umur Indonesia masih muda dan perebutan hegemoni ideologi dengan agama masih santer-santernya. Menawarkan nilai-nilai keislaman ke dalam bentuk-bentuk kesenian yang lebih populer dan punya daya magnet terhadap masyarakat banyak menjadi tantangan para santri.

Baca juga:  Sosoro dalam Tradisi Suku Baduy, Maknanya bagi Pendidikan Karakter

Di Magelang, keresahan itu kemudian mewujud dalam kesenian kubro siswo. Grup kesenian kubro siswo lahir pertama kali di Dusun Cabean, Kecamatan Mendut, Kabupaten Magelang pada awal 1960-an.

Waktu itu, tak hanya di tingkat bawah saja yang sedang getolnya mempromosikan Islam sebagai sebuah identitas. Di kalangan budayawan elit pun, Islam memang sedang mencoba menonjolkan diri karena polarisasi politik dan pertarungan antar-ideologi sedang menguat. Jihad Burhannudin dalam penelitian tugas akhirnya, berhasil mencatat identitas sosial berikut sejarah kemunculan kesenian tradisional ini.

1960-an adalah waktu yang sama di mana beberapa sineas seperti Umar Islami, Asrul Sani, dan Djamaludin Malik mulai bergabung dengan Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi). Mereka kemudian berinisiatif untuk membuat film yang menampilkan riligiusitas dan humanis sebagai bahan promosi keislaman lewat seni budaya.

Sama halnya dengan kisah-kisah pewayangan yang mengajarkan nilai-nilai Islam, kubro siswo juga lahir dalam akulturasi antara budaya dengan agama.

Ia hadir dengan mengusung semangat pendidikan Islam yang berpadu dengan simbol-simbol identitas lokal yang sudah melekat di benak masyarakat. Mulai dari gamelan yang mereka pakai hingga lirik-lirik lagu yang dilantunkan Bowo (penyanyi) mengiringi para penari, bisa diidentifikasi sebagai percampuran dari berbagai identitas, agama maupun budaya.

Zaenal, seorang ketua kesenian kubro siswo di dusun Sedayu, Muntilan, yang menjadi narasumber Jihad Burhanudin menjelaskan bahwa kubro adalah singkatan dari kesenian ubahing badan lan rogo.

Kubro siswo menjadi sarana kesenian untuk mengingatkan umat Islam dan manusia pada umumnya untuk menyelaraskan kehidupan di dunia dan akhirat.

Baca juga:  Tradisi Chaharsambeh Sori dan Nowruz di Iran

Berubah Seiring Zaman

Tiga buah bendhe dipukul dengan tempo yang masing-masing berbeda, kendang muncul sepanjang pementasan, suara seruling bergantian dengan enam orang Bowo yang menyanyi, bedug yang terus berdentum konstan, dan tiga buah rebana yang terus bergemerincing. Begitulah formasi gamelan yang dimainkan Panca Muda malam itu.

Dari lagu yang pertama, lantunan selawat langsung terdengar. Beberapa lagu selanjutnya berkisah tentang riwayat nabi. Ada juga tentang ajakan belajar sepanjang hayat, rajin salat, kisah orang berhaji, hingga lagu perjuangan.

Sepintas, beberapa lagu yang dibawakan dalam kubro siswo identik dengan beberapa tari kolosal yang lain seperti topeng ireng ataupun jatilan.

Kostum penari yang jumlahnya berkisar 12 hingga 40 orang dalam satu set penampilan pun terbilang sederhana. Dalam busana rodat, para penari hanya mengenakan kaos seragam yang didobeli gombyok dengan mutik-mutik, ikat kepala, sarung tangan, tameng, dan pedang dari bambu, serta sepatu warior dengan kaos kaki panjang.

Selain rodat, di sesi yang lain penari akan mengenakan busana setrat. Pada sesi ini para penari akan menggunakan pakaian daerah. Umumnya batik dengan motif sederhana ala pekerja zaman dulu, seturut dengan lagunya tentang kejadian sehari-hari. Ada satu set khusus dalam setrat yang menggunakan jubah dan sorban layaknya orang Arab. Pada sesi ini akan muncul boneka onta yang didalamnya dikendalikan dua orang. Seorang anak kecil dengan kostum sorban dan jubah akan dinaikkan di atas boneka onta yang berjalan.

Baca juga:  Kopi Hitam dan Islam Indonesia

Yang tak kalah seru dari itu semua, di akhir tiap sesi, biasanya para penarinya akan kesurupan. Meskipun hadir dengan misi penyebaran nilai-nilai Islam, kejadian ini seperti tidak bisa dihindarkan. Malahan bagi beberapa orang, kesurupan itulah pertunjukan yang ditunggu-tunggu. Pemandangan itulah yang saya temukan dalam pementasan Panca Muda malam itu. Satu per satu penari jatuh dari langkahnya dan melanjutkan menari dengan tidak sadarkan diri. Di saat seperti ini, penonton yang sudah mulai bosan, biasanya akan kembali heboh.

Beberapa grup kubro siswo memang sudah tak pernah menampilkan penarinya yang kesurupan. Utamanya karena kritik soal pendidikan keislaman yang menjadi keinginan awal orang-orang yang dulu mendirikannya. Meski demikian, kritik terhadap kesurupan ini tidak ada apa-apanya dibanding dengan kemunculan evolusi paling kiwari dari bentuk kubro siswo: brodut alias kubro dangdut.

Seperti namanya, brodut adalah perpaduan dari tarian kubro siswo dan musik-musik dangdut. Mulai dari gerakan tarian sampai kustom sama sekali tak berbeda. Hanya set gamelan yang biasanya berisi bendhe, rebana, dan beduk diganti menjadi gitar listrik, bass, dan drum. Kendang dan seruling tetap bisa kita temukan di dalam brodut.

Di satu sisi, banyak orang nyinyir terhadap kemunculan brodut. Dibilang kurang islami hingga dianggap tidak menjaga ketertiban karena lebih berpotensi membuat penonton saling senggol hingga jotos-jotosan. Namun di sisi lain, ada orang-orang menikmati kesenian ini.

Pada akhirnya, memang akan selalu begitu nasib sebuah karya seni. Kalau tidak berubah seiring zaman ya ditinggalkan. Berubah sekalipun tidak mengurangi potensi untuk ditinggalkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top