“Jangan malu berprofesi jadi penulis”. Demikian ujar Savic Ali dikala menyemangati para kontributor Islami.co agar tetap produktif menulis. Kalimat tersebut saya lebih suka menyebutnya sebagai ‘mantra’.
Memang sih, penulis adalah profesi yang menawarkan popularitas, kesan sebagai pemikir, intelektual atau cerdik pandai. Namun, di sisi lain, kebanyakan penulis memiliki rapor buram secara finansial.
Andaikan kalau Savic Ali sudah berkeluarga, memiliki anak, dan memikirkan kebutuhan keluarga termasuk biaya pendidikan anak yang kian hari makin tak terjangkau, mungkin dia akan merevisi mantra tersebut.
Hahaha
Bukan, bukan seperti itu maksud dari tulisan ini.
Baiklah, mari kita kupas mantra Savic dari sudut pandang yang lain.
Savic Ali dan Media Digital
Bila mendengar nama Savic Ali tentu ingatan kita akan mengarah kepada sejumlah media digital seperti NU Online, Islami.co, dan Nutizen. Sebelum bergerak di media, pria kelahiran Pati-Jawa Tengah ini lebih dikenal sebagai salah satu eksponen aktivis gerakan reformasi 1998 yang meruntuhkan tembok rezim otoriter Orde Baru. Sebenarnya tidak sulit bagi Savic jika mau merapat ke salah satu partai politik atau LSM untuk menikmati segarnya udara demokrasi saat itu, dibanding ‘mengurusi’ anak-anak muda NU.
Namun justru Savic lebih memilih jalan lain, yakni meneladani laku Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang tiada henti menjaga silaturahmi dan membangun jaringan anak-anak muda di akar rumput, termasuk menjadi salah satu inisiator Jaringan GUSDURian.
Dalam dunia yang digelutinya itu, Savic ibarat simpul yang menghubungkan generasi 1998 dengan generasi milenial saat ini—termasuk penulis. Jika sebelumnya yang dilawan adalah rezim Orde Baru, kini perlawanan itu justru diarahkan kepada hasil perjuangannya. Ya, dengan dibukanya kran demokrasi di negeri ini, satu hal yang tidak bisa dihindari adalah menjadi momentum gerakan-gerakan Islamis untuk menyeruak di ruang publik.
Era reformasi, yang digadang-gadang menjadi babak baru kehidupan bangsa Indonesia, ternyata menampilkan konservatisme Islam, mulai dari gerakan Tarbiyah yang menjelma menjadi KAMMI dan PK (sekarang PKS), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lainnya.
Pada era ini kita juga menyaksikan sejumlah tragedi aksi teror berkedok agama mulai dari Bom Bali I dan II (2002), Bom Hotel JW Marriot dan Kedubes Australia (2004), sampai kepada gerakan Jamaah Islamiyah, termasuk ISIS. Dari segi kuantitas, jumlah mereka sangatlah kecil, jika dibanding dengan NU, Muhammadiyah, atau ormas Islam moderat yang lain. Akan tetapi, suara mereka sangat lantang dalam menyerukan versi Islam ala-ala mereka.
Apapun masalah ketimpangan sosial, penegakan hukum, dan ekonomi, solusinya hanya satu: khilafah dan penegakan syariat Islam. Demikian ini yang terus menerus mereka teriakkan.
Di ranah media, kelompok-kelompok ini telah mencuri start. Gagasan tentang khilafah, solidaritas terhadap umat Islam di berbagai negara khususnya Palestina, klaim sesat terhadap kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah, membanjiri pemberitaan di laman media digital. Di level global, situs-situs keislaman berkembang pesat terutama pasca tragedi 9/11. Beberapa media tersebut antara lain www.answering-Islam.org, www.absolutIslam.com, www.Thequran.com, dan www.Allahassurance.com (Ahmad, 2013). Di Indonesia, website keislaman yang paling banyak dikunjungi antara lain Republika, Era Muslim, Voa-Islam, Hidayatullah, Rumayso, dan Arrahmah.com (Wildan, 2014).
Di sisi lain, NU (dan Muhammadiyah) sebagai ormas Islam mainstream di negeri ini seolah tak berdaya menghadapi gelombang konservatisme Islam, baik offline maupun online. Kedua ormas ini bak sillent majority, mayoritas yang diam. Saya pun tidak yakin, jika anak-anak muda NU seperti Savic Ali tidak melakukan jihad di bidang media, akan jadi apa negeri ini. Oleh sebab itu, kehadiran NU Online dan media-media Islam moderat, menurut saya, hukumnya sudah berada di level fardhu kifayah, bahkan mendekati wajib.
Kultur Hibrida
Selain sebagai simpul, Savic Ali juga menjadi generator kalangan muda NU dalam mengarungi rimba raya jagad media digital hari ini. Meminjam terminologi Antonio Gramsci, Savic Ali adalah representasi intelektual organik. Dia tidak hanya memproduksi gagasan, tetapi lebih dari itu, ia juga menerjemahkan gagasannya ke level praksis.
Tentu saja tidak hanya Savic Ali. Beberapa nama seperti Hairus Salim dan Imam Aziz merupakan rujukan kalangan muda NU dalam aktivisme gerakan mereka. Jika ditarik ke atas lagi kita akan sampai kepada figur Abdurrahman Wahid yang telah mengawali dan menjadi sumber inspirasi kalangan muda NU saat ini.
Sebagaimana Gus Dur, angkatan muda NU, terutama yang menikmati pendidikan tinggi, tidak hanya terpaku pada tradisi (turats), tetapi juga menggandrungi pemikiran madzhab kritis yang berkembang di Perancis. Hasilnya, mereka menekankan pada pentingnya realitas empiris yang kemudian dipadukan dengan teks. Hal ini berbeda dengan Muhammadiyah, misalnya, yang lebih dipengaruhi oleh gaya berpikir Weberian dengan menekankan pada pentingnya ide dan teks baru kemudian diterjemahkan ke realitas empiris.
Selain itu, kalangan muda NU juga menemukan piranti baru untuk membaca tradisi secara kritis seperti yang diusulkan Al-Jabiri dan Hasan Hanafi. Dengan piranti itu mereka tampil semakin percaya diri bahwa untuk maju kita tidak harus meninggalkan tradisi, tapi justru berangkat dari tradisi itu sendiri (Burhani, 2012). Hairus Salim (1999) menyebut angkatan muda ini sebagai kultur hibrida.
Pada saat yang sama, kita juga menyaksikan kultur hibrida ini dalam bentuk yang berlawanan. Pada dekade 1980-an, ketika Gus Dur, Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo dan lainnya menyerukan pembaharuan Islam, kalangan Islamis juga mulai menyusun agenda reformasi Islam versi mereka. Diawali dengan gerakan Tarbiyah yang berhasil memasuki arena-arena penting seperti masjid dan perguruan tinggi sekuler, gerakan ini mendapatkan dukungan yang kuat dengan hadirnya alumni dari Timur Tengah yang bersentuhan dengan ide-ide Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahir. Tokoh utama yang berkontribusi terhadap pengiriman generasi muda ke Timur Tengah itu adalah Muhammad Natsir, eks-Masyumi yang mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia kala itu (Machmudi, 2006).
Saat ini, dua model kultur hibrida itu bertarung memperebutkan panggung dakwah Islam di Indonesia, terutama melalui media digital.
Persaingan Otoritas Keagamaan
Harus diakui bahwa media digital berjasa besar terhadap meningkatnya konsumsi keagamaan di tengah masyarakat kita. Kepanikan moral dan goncangan identitas sebagai akibat modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi, mengarahkan umat untuk mencari sumber-sumber bimbingan moral yang baru melalui agama (Fealy 2012, 26-27).
Jika pada masa sebelumnya otoritas keagamaan diperoleh terutama berdasarkan pada pendidikan agama: di mana lembaganya (biasanya pesantren atau perguruan tinggi Islam), siapa ulama/kyai yang mengajar, dan berapa lama waktu yang diinvestasikan untuk belajar, guna mendapatkan otoritas keagamaan tersebut. Kini, dengan difasilitasi media digital, tatanan itu telah berubah. Kita menyaksikan munculnya para pendakwah baru yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai ulama mengisi ruang publik kita (Slama, 2017).
Dalam konteks inilah kita melihat pentingnya NU Online, Islami.co, dan website keislaman moderat lainnya. Sejumlah media tersebut dibangun sebagai rujukan otoritas keagamaan di media digital sekaligus membendung arus konservatisme keagamaan.
Situs keislaman dengan perspektif ke-NU-an ini tidak bisa hanya digerakkan oleh segelintir penulis. Tetapi, ini harus menjadi sebuah gerakan dalam rangka menjaga dan mempromosikan Islam rahmatan lil alamin di Indonesia.
Savic Ali berjasa dalam memberikan panggung kepada anak-anak muda NU, para intelektual amatir seperti saya ini untuk berkembang. Membangun otoritas keilmuan yang kami geluti.
Savic Ali bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Menyerukan pentingnya keterlibatan kawula muda NU dalam mewarnai perang otoritas keagamaan di media digital. Dia menenun kultur hibrida NU yang berserakan di berbagai daerah untuk bersama-sama membangun gerakan literasi media digital ini.
Nah, di sinilah mantra Savic Ali, Sang Kiai Digital itu mendapatkan tempatnya.