Pademi telah menyerang 2 tahun yang lalu yang berakibat semua orang tak bisa melaksanakan secara serentak. Dengan begitu aktivitas masyarakat sangat terganggu karena harus mematuhi protokol kesehatan sesuai aturan negara. Mengadakan acara besar-besaran adalah risiko tinggi terhadap penyebaran penyakit.
Keadaan itu berubah total setelah saya mendengar bahwa haul Habib Ali bin Ali Al-Habsyi telah dibuka umum. Semua kalangan nyampur jadi satu. Masjid Riyad yang hanya bertingkat 3 sesak dipenuhi oleh jama’ahnya yang ribuan orang. Acarannya dimulai tanggal 12-16 November. Acaranya meliputi 12-14 Rauhah, 15 acara haul, 16 acara maulid. Saya menyempatkan datang di tanggal 15 November. Karena saya tahu jika datangnya awal, uang pasti habis secara merata.
Banyak pedagang yang berjualan peci, sarung, surban, dan segala atribut perayaan sangat lengkap. Saya berangkat pukul 07.30 bersama karib saya, Ahmad dan Amin. Saya benar-benar merindukan keramaian. Begitu ramainya yang tak terbayangkan sama sekali. Kita harus duduk di pinggir jalan yang berjarak 5 kilo dari Masjid Riyad. Semua berdesak-desakkan demi ingin melihat langsung para habaib yang datang dari berbagai penjuru Indonesia.
Itulah mengapa haul Habib Ali selalu ramai yang selalu menjadi sebagian orang bertanya-tanya, siapa itu sebenarnya Habib Ali? Mengapa bisa dirayakan di Indonesia khususnya di Solo? Padahal makamnya terletak di Yaman, Hadramaut. Pertama kali diadakan oleh anaknya Habib Ali, yakni Habib Alwi yang menginginkan haul anaknya dirayakan di sSolo. Menurut Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi bahwa haul Solo karena banyak muridnya di Solo.
Artinya, reputasi Habib Ali bin Ali Al-Habsyi adalah orang yang berpengaruh di Indonesia sebagai ulama yang disegani, dihormati, disanjungi oleh warga Solo dan sekitarnya. Selain itu, haul Solo selalu dibumbui makanan khas Arab yakni: nasi kebuli, daging, dan susu persis milo. Walaupun saya tidak kebagaian, tapi saya senang suasana haul Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Mendengar sholawat burdah, manaqib, dan tausiyah-tausiyah para habaib.
Ada tausiyah terkesan penjelasan oleh Habib Jindan yang mengutarakan “agama islam adalah agama yang penuh cinta dan kasih sayang, seperti halnya kita mendoakan Habib Ali sebagai rasa hormat kepada Rasulullah Saw”. Apalagi membersamai ibu-ibu penjual es teh yang terus terang sangat senang setelah bakulannya ludes di depan mata. “Alhamdulillah mas saget bersyukur kulo sampun ludes bakulan kulo, seng penting diniati nggo ibadah (Alhamdulillah mas sudah sangat bersyukur saya jualan saya sudah habis, yang penting diniati ibadah). Mendengar curhatan ibu tersebut, saya pun penasaran dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
“la niki bukakke lekas jam pinten bu?” (“la ini bukaknya mulai jam berapa bu?”). Ibunya pun mantap menjawab “bukakke pun ket ndek winggi mas, dadi kulo lagi mawon ngertos acara niki, padahal kulo warga mriki, hehehe” (bukanya sudah dari kemarin mas, jadi saya baru saja tahu acara ini, padahal saya warga sini, hehehe). Saya bersama teman-teman tidak sempat menanyakkan nama ibu beserta keluargannya. Uniknya lagi ada beberapa minuman gratis dan makanan gratis. Batin saya, “Alhamdulillah ini semua berkat pengaruh Habib Ali dengan peran dakwahnya yang fenomenal.”
Saya memutuskan membeli kitab Simtutduror, kawan saya bernama Amin membeli peci hitam, sedangkan kawan saya bernama Ahmad membeli surban. Kita pun juga terkaget-kaget banyak para habaib yang pergi mengunakan becak-becak. Entah habib siapa, yang jelas wajahnya persis habaib-habaib pada umumnya.
Lalu, saya mampir angkringan dekat puskesmas Pasar Kliwon. Bakul hik tersebut sontak memulai pembicaraan keadaan haul tahun kemarin sampai sekarang, “wingi kae ora separah iki mas, tertib, mergane pandemi, iki taakoni rame bianget mas”. ( kemarin itu tidak separah tahun ini mas, tertib, karena pandemi, ini saya akui rame sekali mas). Seru rasannya bisa bercakap-cakap warga Pasar Kliwon yang justru sangat menikmati kampung halamannya dengan haul, meskipun tidak terlibat duduk dengan para jama’ah di depan.