Pelajaran berharga dari pentingnya mendengar, membaca, dan bertanya adalah adanya kebenaran dan kedamaian. Jika ketiga hal tersebut disatu-katakan, itulah pentingnya tabayun. Apa pasalnya? Dalam seminggu ini, di tengah hiruk pikuk wabah pandemik Covid-19 yang semakin hari makin belum ada tanda-tanda “penurunan korbannya”, kita dihebohkan dengan viralnya puisi dan video bersamaan dengan perayaan hari besar keagamaan. Sengaja tidak kusebutkan apa isi puisi dan video-nya, sebab tulisan ini hanya mengulas sedikit terkait, “pengarang tidak mati” dan “pembaca jangan merasa bebas membaca teks”, karena itu sekali lagi pentingnya tabayun.
Dalam kamus istilah keagamaan (2014: 180), tabayun diartikan pemahaman atau penjelasan atas terjadinya perbedaan (kontradiksi) antara satu dengan yang lain. Definisi istilah ini sejalan dengan arti secara leksikal, seperti disebutkan dalam Mu’jam al-lughah al-‘arabiyah al-mu’ashirah, Hans Wehr (1961: 88), tabayun diartikan difference, unlikeness, dissimilarity dan disparity. Terjemah harfiah tabayun seperti itu pula yang disebutkan dalam KBBI, yaitu pemahaman, penjelasan, perbedaan, ikhtilaf, dan kontradiksi.
Dalam QS. Al-Hujarat: 6, disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” Diterjemahkan telitilah, tabayanu itu selaras dengan terjemahan Muhammad Sayyid Thantawi dalam Al-Qur’an At-Tafsir al-Muyassar, yang menerjemahkan fatabayyanu dengan fatatsabbatu (telitilah).
Tampaknya, tabayun seperti disebut dalam Al-Quran lebih banyak harus dilakukan oleh penerima berita, pembaca, pendengar atau orang kedua, ketiga atau di luar pembawa berita atau pengarang/penulis informasi. Artinya apa? Posisi pengarang, sebutlah begitu, dianggap bukan utama atau sudah mati. Namun, sebagaimana dalam asbabun nuzulnya, disebutkan jangan lupa diteliti dulu pembawa beritanya. Al-Walid bin Aqobah sebagai pembawa berita harus dikonfirmasi dulu kebenarannya, kata Nabi Muhammad Saw. saat menginformasikan sesuatu dari Bani Mustholiq. Pada konteks “diteliti atau konfirmasi dulu” ini posisi pengarang menjadi hidup kembali, atau tidaklah mati.
Pada kasus puisi dan video, seperti disebut di awal tulisan, untungnya saat tulisan ini dibuat, semua pihak yang ada dalam pemberitaan sudah melakukan klarifikasi, seperti organisasi yang dianggap terlibat, media TV yang menyiarkan, dan utamanya klarifikasi atau penjelasan dari penulis teks puisi, yang ternyata sesuai penuturannya, bukanlah diniatkan sebagai puisi, karena berawal dari postingan yang sepotong-potong melalui twiter, lalu dirangkai oleh seseorang sehingga menjadi “satu puisi”, seperti yang sudah viral.
Penjelasan ini sangat penting, selain untuk mendudukkan persoalan puisi ataupun makna dibalik kata-kata yang terangkai itu.
Dengan demikian, posisi pengarang, seperti disebut oleh Roland Barthes, the death of the author dalam kasus viralnya puisi melalui video itu maka pengarang tidak boleh mati atau dimatikan, sebab, penjelasan pengarang, bukan saja memberikan keutuhan gagasan apa yang kemudian disebut “puisi”, tetapi juga Pembaca jadi mengetahui proses konteks situasi intelektual dan spiritual pengarang. Tanpa bermaksud membatasi kemerdekaan “Pembaca”, tapi penjelasan pengarang tersebut semestinya, Pembaca juga, seperti halnya penulis, merasa berterima kasih sehingga clear. Karenanya, kekesalan atau kegundahan secara teologis, baik karena isi puisi atau Pembaca puisi dan medianya, seharusnya sudah selesai. Problemnya adalah “kemarahan” itu sudah menjadi opini publik dan dimungkinkan terdapat pihak-pihak lain yang diuntungkan karena kontroversi pemberitaannya saat ini, padahal puisi itu sudah ada sejak 7 (tujuh) tahun lalu. Dalam konteks itulah tabayun semua pihak yang sudah “kadung” marah, seyogyanya segera dilakukan, supaya suasana kembali normal kembali.
Pada situasi yang semestinya sudah normal dan damai ini, terdapat beberapa catatan penting atas peristiwa puisi dan video tersebut. Pertama, bagi pendengar/pembaca viral video puisi ternyata tidak boleh serta merta terbawa emosi karena melihat sesuatu yang dianggap tidak lazim dan menui kontroversi. Bagaimana pun, tabayun haruslah menjadi sikap yang harus diambil untuk melihat persoalan itu dengan seksama dan proporsional. Apalagi, di era media sosial yang sangat cepat sekali menyebar dan disebarkan suatu informasi, hanya cukup “klik” saja sudah tersebar se-antero jagat. Kedua, bagi Pembaca puisi dengan segala yang melekat dalam dirinya, penting juga memperhatikan hal-hal yang mengurangi kontroversi. Sebab, selama kurang lebih 7 tahun, sejak puisi ini diviralkan, tidak pernah seheboh saat ini. Simbol yang melekat saat puisi dibacakan ternyata masih penting bagi para Pembaca/pemirsa video viral itu. Apalagi, jika Pembaca/pemirsa sudah tidak netral lagi, hanya gegara pengarang puisi atau simbol yang melekat saat puisi dibacakan.
Ketiga, bagi pengarang puisi, selagi masih dapat dijelaskan lebih jauh konteks kelahiran puisi secara obyektif sehingga dapat memberikan proporsi yang adil, tentu saja hal itu penting dilakukan, sekaligus menegaskan bahwa pengarang itu masih hidup. Teks puisi, Bahasa puisi, ternyata tidak cukup memberikan kebebasan Pembaca lain merasa nyaman, karena latar belakang pengarang juga dapat mempengaruhi pemaknaan sebuah teks, termasuk puisi sebagai bagian dari sastra.
Dalam hemat penulis, tidak mungkin tabayun dilakukan oleh semua pihak, jika tidak mau mendengar, membaca dan bertanya terlebih dahulu atas persoalan yang menimpa dirinya. Dengan tabayun, sesungguhnya tidak ada pihak yang merasa benar atau salah, merasa menang atau kalah, karena pada akhirnya kebenaran dan kenyamananlah yang menang itu. Pihak-pihak di luar itu barangkali yang merasa kalah dan salah, ketika tabayun itu telah dilakukan. Toh, tabayun juga menjadi salah satu ajaran Islam melalui teks suci; Al-Quran dan As-Sunnah. Akhirnya, setelah tabayun, semoga peristiwa viral video tersebut sudah selesai, dan kita kembali fokus untuk penanganan dan pencegahan Covid-19 yang masih terus menggila di tengah masyarakat. Kita harus tetap membantu negara dalam menyelesaikan dampak Covid-19 ini semampunya. Tetap di rumah adalah salah satu bentuk bantuan yang sangat sederhana, selain kitapun harus hati-hati saat di rumah, sesuai protokol kesehatan. [] Wallahu a’lam bish shawab
Jalan Arya Putra, Kedaung Hijau Pamulang.