“Punika azimat barang sakarepe sinurat, maka ingangge sawabe kang asengita dadi asih, kang angina dadi mulyaaken, kang ewuh dadi gampang, kang abot dadi dangan, kang suker dadi ludang, kang alarang dadi murah. ikilah rajahe..”
Selasa, 7 Juli 2020 saya diminta untuk berbagi pengetahuan pengobatan dalam naskah Cirebon oleh bidang Lektur Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) via zoominar. Kebetulan saya pernah beli buku terbitan naskah “Tetamba” (Perpusnas, 2011) hasil alih aksara drh. H.R. Bambang Irianto, BA. dan Muhammad Mukhtar dari koleksi keluarga Kraton Kacirebonan.
Awalnya, saya buka katalog Naskah Keagamaan Cirebon 2 yang disusun Zulkarnain Yani Al-Palembani (BLAJ-Alvabet, 2019). Bermula dari situ saya coba telusuri naskah “Tetamba” itu. Ternyata tahun 2017 sudah ada terjemahannya yang diterbitkan Perpusnas juga dan penerjemahnya dua orang yang sama pula. Sebelum saya temukan dua terbitan “Naskah Tetamba” tersebut, saya coba berburu naskah digitalnya. Alhamdulillah akhirnya saya peroleh dari tim peneliti BLAJ.
Seperti lazimnya kerja filologis, saya coba baca dari depan ke belakang atau sebaliknya. Kata perkata, huruf per huruf, harakat per harakat, termasuk titik, warna tinta, terlebih terkait rajah, azimat dan mantra harus ekstra hati-hati lagi. Untuk menambah pengetahuan lain, saya coba tanya apakah sudah ada alih aksara dan terjemahannya, ternyata sudah ada sembilan tahun lalu untuk alih aksaranya dan tiha tahun lalu untuk alih bahasanya (untuk kerja filologisnya, akan saya tulis khusus di kemudian hari. Insya Allah).
Dari hasil bacaan tersebut, saya dapat simpulkan sementara, bahwa pengobatan di Cirebon sesuai “naskah tetamba” di atas, dapat dibuat dua kategori, pengobatan dari penyakit medis dan non medis. Akan tetapi model penyembuhannya dilakukan dengan cara-cara yang serupa, yaitu selain dengan bahan herbal, seperti dedaunan, tanaman, atau semacamnya, juga dari hewan. Setelah itu diracik dan dikasihkan pada yang kena penyakit.
Ternyata tidak hanya sampai di situ, sebab ada juga jimat (azimat), mantra, dan rajah. Model pengobatan semacam itu, setelah saya baca naskah lainnya, seperti terbitan alih aksara “Kitab Tibb (W 227)” dalam bahasa Melayu, ternyata juga tidak jauh berbeda. Ada kemiripin dengan naskah “tetamba” dalam bahasa Jawa-Cirebon.
Paragraf pembuka di awal catatan pendek ini adalah salah satu contoh azimat dan rajah untuk kategori penyakit non-medis. Yakni, penyakit hati atau pikiran. Jika sedang benci maka dibuat sayang, jika sedang kesulitan semoga dimudahkan, dan seterusnya. Termasuk kategori non-medis ini adalah orang yang kena sambet (tidak sadar atau hilang ingatan sesaat) atau sawan.
Adapun kategori medisnya seperti penyakit beser (kencing terus menerus), sakit perut, orang gila, kudis, kurap, sakit gigi, sakit mata, sakit alat kelamin, dan lain sebagainya. Bahkan untuk ikhtiar lelaki atau perempuan mandul atau dimandulkan dituliskan juga dalam naskah itu.
Menurut teman saya, Dr. Jamaluddin dari UIN Mataram yang ikut hadir dalam Zoom, penjelasan yang bersifat “ideologis” itu perlu dibedakan dengan yang bersifat “medis”, sehingga kontribusi naskah kuno pada kehidupan nyata benar-benar dapat dirasakan umat, termasuk jika kerja sama dengan kementerian kesehatan atau semacamnya.
Saya setuju dengan usulan itu, sebab pemahaman ideologis atau mirip magis, spiritual tersebut juga tidak semua orang mampu memahaminya secara rasional, bahkan dalam perspektif keagamaannya juga masih diperdebatkan.
Sebelum saya presentasi, masih pagi-pagi pada hari Selasa dalam satu grup WA khusus aktivis perempuan, kebetulan sedang ada obrolan hangat, dan nyebut istilah jimat. Tanpa pikir panjang lagi, aku kirim sampul bahan presentasiku (lihat di bawah), ternyata direspon dengan bertanya, adakah jimat atau rajah untuk anti kekerasan seksual?
Saya jawab ada. Ternyata pertanyaan serupa juga dilontarkan oleh salah seorang aktivis perempuan yang menjadi peneliti di BLAJ. Menurut keduanya, bagi dong demi antisipasi kekerasan seksual oleh pihak-pihak yang tidak bertangung jawab. Semoga lain kali saya tulis khusus untuk bagian itu, seperti bahasan khusus tentang mantra, jimat dan rajah dalam perspektif teologis.
Dari beberapa konteks di atas, pertanyaan mendasar saya, apakah kita masih mempercayai rajah, mantra dan jimat jika untuk kebaikan itu di era milenial kini? Ada juga yang menjawab, percaya saja, apalagi jika menguntungkan dalam berdagang. Itu respon kawan di grup WA lain yang berbeda. Seperti dalam akhir pernyataan saya pada zoom acara NGOLEK, ngobrol seputar lektur kemarin (7/7/20), saya tegaskan bahwa saya bukanlah orang yang punya maqam untuk bagi-bagi rajah, mantra atau jimat, saya hanyalah pembaca naskah kuno yang kebetulan menemukan hal-hal unik pada masa lalu dan mungkin saja relevan saat ini.
Semoga bermanfaat dan kita semakin meyakini bahwa bangsa Indonesia ini bangsa yang beradab, kreatif dan inovatif sejak masa lalu. Wallahu a’lam.