“Orang tak akan meragukan adanya Tuhan kalau dia pernah berada dalam kegelapan selama bertahun-tahun,”
Ir. Soekarno.
Beberapa waktu lalu, sebuah tayangan dari Mata Najwa yang bertajuk “Pura-Pura Penjara” melakukan liputan di Penjara Sukamiskin. Investigasi ini berkaitan dengan tertangkapnya Kepala Lapas Sukamiskin tersebut oleh KPK karena diduga memperjualbelikan fasilitas mewah di penjara.
Yang menarik dari investigasi tersebut, bukan pada bagimana ketersediaan fasilitas mewah itu. Tapi, bagaimana para tahanan “berlomba-lomba” menampilkan sisi religiusitasnya. Lutfi Hasan Ishaq, misalnya. Di dalam penjara terdakwa korupsi impor daging sapi itu, tidak hanya berjejalan fasilitas yang cukup mewah untuk ukuran penjara, namun juga dijejali buku-buku. Termasuk juga buku-buku agama dan kitab suci.
Begitu pula yang ditunjukkan oleh Setyo Novanta, tersangka korupsi kasus e-KTP. Ia terlihat sibuk membaca buku yang mengupas kosakata Alquran. Bahkan, ketika menengok bilik penjara Nazaruddin, akan lebih atraktif lagi. Tawanan korupsi yang sempat buron cukup lama itu, terlihat sedang membaca Alquran. Lengkap dengan gamis dan peci putihnya.
Tulisan ini tak hendak menghakimi sisi religiusitas para narapidana tersebut. Entah itu hanya “mainan”, pelarian psikologis, ataupun karena murni peribadatan atas dasar pertobatan. Akan tetapi, bagaimana penjara mampu mendekatkan diri seorang hamba pada Tuhannya. Penjara Sukamiskin yang berdiri sejak 1817 itu, menjadi saksi tersebut. Tidak hanya para tahanan masa kini, tapi juga tahanan pada masa silam.
Salah satu tahanan yang pernah mendekam di Sukamiskin adalah Ir. Soekarno. Presiden pertama Republik Indonesia itu, tentu saja tidak dipenjara karena kasus korupsi sebagaimana banyak penghuni Sukamiskin saat ini.
Bung Karno ditahan karena dianggap sebagai orang berbahaya yang menghasut rakyat untuk memberontak pada pemerintah kolonial masa itu. Kala itu, ia didakwa melanggar Pasal 169, 161, 171 dan 151 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kolonial. Ia pun divonis empat tahun kurungan di Sukamiskin.
Meski harus tinggal di dalam ruangan sempit berukuran 1,5 meter lawan 2,25 meter, gelap nan sunyi itu, Soekarno menemukan momen penting yang kelak bakal memperteguh perjuangannya. Ia menemukan Tuhan dibalik jeruji penjara tersebut.
“Di sinilah seringkali air mata menetes dari matanya orang-orang yang tadinya menganggap menyembelih leher manusia sama dengan memotong sayur. Di sinilah banyak orang hukuman yang tadinya verrek – tak acuh – kepada agama, menjadi menyala rasa ketuhanannya,” kenang Soekarno kala dipenjara di Sukamiskin sebagaimana ditulis dalam artikelnya berjudul ‘Propaganda Islam di dalam Pendjara’ yang dimuat di Pedoman Masjarakat, 9 Maret 1938.
Keterdesakan dan keterbatasan dalam Penjara Sukamiskin itu, menjadi katalisator ampuh dalam memperkenalkan hamba pada Tuhannya. Kehidupan bebas di luar penjara, terkadang melalaikan manusia pada agama dan Tuhan. Keterbatasan penjara tak jarang mengantarkannya dalam hal-hal yang transdental tersebut.
Saat itu, otoritas di penjara Sukamiskin melarang buku-buku politik maupun surat kabar masuk ke dalam penjara. Hanya kitab suci dan buku-buku keagamaan saja yang diperkenankan. Sebagaimana dicatat oleh Cindy Adams dalam “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, keterbatasan penjara itu, mengantarkan untuk mendalami agama Islam.
“Kemudian membaca Alquran. Dan hanya setelah menyerap pemikiran-pemikiran Nabi Muhammad swa aku tidak lagi mencari-cari buku sosiologi untuk memperoleh jawaban bagaimana dan mengapa sesuatu terjadi. Aku memperoleh seluruh jawabannya dalam ucapan-ucapan Nabi. Dan aku sangat puas,” akunya sebagaimana dicatat Cindy Adams.
Momentum mendalami agama itu, merupakan kesempatan yang tak pernah dirasakan sebelumnya oleh Bung Karno. Ketika berusia 15 tahun, saat tinggal bersama H.O.S Tjokroaminoto, ia seringkali mengikuti kajian keagamaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Akan tetapi, meski memperhatikan secara seksama, ia tak berhasil menemukan Islam yang sungguh-sungguh dan benar sebagaimana yang ia rasakan di dalam penjara.
Di Sukamiskin tersebut, sang proklamator kemerdekaan Indonesia itu, tidak hanya mendalami Alquran. Tapi juga rajin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Selain salat lima waktu, ia juga kerap sholat tahajud.
Di tengah sujudnya saat salat malam itu, Seokarno kerap kali berdoa untuk keteguhannya memperjuangkan rakyat Indonesia. Doa dan itikad yang juga seharusnya dipanjatkan oleh para narapidana korupsi yang berada di Sukamiskin saat ini.
“Tuhan, setiap manusia dapat menjadi seorang pemimpin, setidaknya dalam keluarganya sendiri. Tetapi aku tahu, Engkaulah gembala sesungguhnya. Aku mengerti, satu-satunya suara manusia adalah kata-kata Tuhan. Sejak hari ini dan seterusnya aku mempersiapkan diri untuk memikul tanggung jawab dari segala apa yang aku kerjakan – tidak saja kepada rakyat Indonesia, tapi sekarang juga kepada-Mu.”