Kungkungan kolonialisme tak hanya sebatas eksploitasi sumber daya alam maupun kisah-kisah kekerasan fisik. Berabad lamanya Belanda bercokol di bumi pertiwi, juga menghancurkan keadiluhungan bangsa baik martabat maupun budayanya. Untuk yang terakhir ini, tak cukup dengan mengangkat senjata atau diplomasi politik. Perlu adanya konter narasi kebudayaan untuk mengimbangi atau bahkan menghapusnya.
Satu contoh yang dapat dikemukakan perihal kolonialisme kebudayaan adalah lukisan Nicolas Pieneman. Pelukis asal Belanda itu, mengabadikan momen penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Hendrik Merkus Baron De Kock – pemimpin perang Belanda – pada 28 Maret 1830. Judulnya “De Onderwerping van Diepo Negoro aan luitenat-general De Kock, 28 Maart 1830”. Terjemah bebasnya kurang lebih takluknya Diponegoro kepada Letnan Jendral De Kock, 28 Maret 1830.
Lukisan tersebut menampilkan suasana yang penuh kekalahan dan kepasrahan sekaligus pesta kemenangan yang senyap.
Diponegoro dan De Kock menjadi sorotan utama. Sang pangeran terkulai lemas kedua tangannya, sedangkan sang jendral berkacak pinggang sembari tangan kirinya menunjuk ke arah kereta kuda.
Pasukan sang pemimpin perang Jawa (Java Oorlog) itu, setali tiga uang. Mereka bertukuk lutut. Lemah. Penuh kepasrahan. Tombak-tombak tergeletak di tanah. Begitu juga istri sang pangeran yang tampak bersujud pada sang jendral memohon ampunan.
Berbanding terbalik dengan simbolisme penjajah. Pasukan mereka tanpak elegan dengan seragam kebesaran yang kuat warnanya. Di tambah latar gedung Keresiden Magelang – markas sang jendral – yang megah dan bercahaya. Serta kibaran bendera Belanda yang berkibar angkuh di samping gedung. Simbol kemenangan yang paripurna.
Apa yang digoreskan oleh Pieneman dalam kanvasnya, tak lain adalah eksploitasi kebudayaan. Ia menggambarkan bagaimana kepuasan Belanda bisa menaklukan Diponegoro.
Ia telah menguras habis keungan penjajah untuk meredam perang Jawa yang berlangsung dahsyat selama lima tahun (1825-1830). Kemenangan gemilang yang patut diabadikan dalam sebuah karya monumental.
Karya monumental Pieneman terhadap suatu peristiwa penting dalam kehidupan bangsa jajahan tersebut, adalah bagian dari imperialisme kebudayaan. Ia mencitrakan ketakberdayaan pribumi melawan penjajah. Ada semacam pesan yang ingin disampaikan dari lukisan tersebut kepada segenap yang melihatnya:
“Jangan pernah melawan kita, sehebat apapun kalian, akan kami libas!”
Tentu saja imperialisme kebudayaan demikian tak bisa dibiarkan. Perlu ada konter narasi untuk melawannya. Diponegoro adalah pemimpin tangguh yang tak cengeng.
Ia adalah petarung yang konsekuen dengan perjanjian. Hanya kelicikan Belanda lah yang bisa menaklukannya.
Konter narasi yang demikian, dipenuhi oleh Raden Saleh Syarif Bustaman. Ia melukis peristiwa yang sama dengan perspektif yang berbeda. Judulnya “De Gevangenneming van Prins Diponegoro door Generaal De Kock” yang artinya, penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Kock.
Dari judul yang digunakan, begitu kentara perlawanan Raden Saleh terhadap karya Pieneman. Kata “penangkapan” menyiratkan adanya ketegaran dan kekuatan. Jauh berbeda dengan kata “takluk” yang digunakan Pieneman. Penuh dengan ketakberdayaan dan kekalahan.
Kesan perlawanan semakin kuat jika lebih detail mengamati lukisan pria kelahiran Semarang, 1811 itu. Diponegoro dan De Kock dalam lukisan Raden Saleh berada di posisi yang setara. Sang Pangeran tanpak “menantang” terhadap si jendral. Sembari tangan kanannya menenangkan sang istri yang di lukisan Pieneman dicitrakan tak berdaya itu.
Tak ada tombak maupun sebilah keris yang dibawa oleh Diponegoro maupun pasukannya. Dengan detail demikian, Raden Saleh ingin menegaskan, penangkapan sang pengeran adalah tipu daya musuh.
Saat itu, yang bertepatan dengan hari kedua lebaran, Diponegoro diundang De Kock di kediamannya. Pertemuan dalam suasana gencatan senjata itu, tak lebih hanya silaturahmi sebagaimana saat-saat lebaran yang kita kenal. Tak ada senjata yang dibawa oleh Sang Pangeran maupun pasukannya.
Namun, di tengah pembicaraan, tiba-tiba De Kock menyampaikan maksudnya untuk menangkap sang pangeran yang hanya membawa seutas tasbih itu.
“Saya akan menahanmu supaya masalah selama ini lekas selesai,” ungkap De Kock sebagaimana ditulis oleh Peter Carey dalam Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme.
Perlawanan Raden Saleh juga terlihat dari bagaimana ia mencitrakan De Kock. Sebagai pelukis beraliran romantis, Raden Saleh tanpak aneh menggambarkan De Kock dengan bentuk kepala yang tidak proporsional. Kepalanya tanpak lebih besar.
Penggambaran kepala besar itu, menurut Sardono W. Kusumo dalam Raden Saleh 200 Tahun (Kompas, 22 April 2007) Raden Saleh ingin menegaskan keangkaramurkaan sang jendral. Kepala besar adalah pengejawantahan dari Buto Rambut Geni dan Buto Terong yang merupakan sosok raksasa yang penuh kerakusan. Pencitraan Pasukan Belanda yang demikian, mirip sebagaimana yang diungkapkan dalam Babad Diponegoro.
Tak hanya lewat satu lukisan itu saja, Raden Saleh menunjukkan sikap anti-kolonialismenya. Ada deretan lukisan lainnya yang bisa diteliti bagaimana tentang sikapnya tersebut. Di antara judul lukisan tersebut, ada “Perburuan Banteng”, “Antara Hidup dan Mati”, “Kapal Karam”, “Gunung Merapi Meletus di Malam Hari”, “Lukisan Potret Bupati Majalengka” dan sederet karya lainnya.
Sikap perlawanan yang dilakukan oleh Raden Saleh tersebut, bukanlah hal yang aneh. Ia terlahir dari keluarga bangsawan yang turut serta dalam Perang Jawa. Paman sekaligus pengasuhnya masa kecil, Adipati Surohadimenggolo, kelak ditangkap oleh Belanda karena terlibat membantu Pangeran Diponegoro dalam melakukan perlawanan terhadap Kompeni.
Meski sejak berusia belia telah dididik oleh Belanda hingga dewasa dekat dengan dunia Barat, namun jati diri putra pasangan Raden Sayid Husen bin Alwi bin Awal dengan Raden Ayu Syarif Husen bin Awal itu, tak banyak berubah. Ia tetap sebagai orang Jawa yang tanah airnya ditindas oleh Belanda.
Meski hidup lama di Eropa dan menjadi pelukis resmi di Kerajaan Belanda, jiwa nasionalismenya masih menyala. Semasa di Eropa itu, ia ditengarai sebagai pihak yang membocorkan informasi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda pada pers Barat. Sesuatu yang membuat jengkel Belanda yang berupaya untuk menyembunyikan perilaku buruknya tersebut. Lebih-lebih ketika kembali ke Jawa dan usai menikah dengan Raden Ayu Danudirejo. Jiwa nasionalismenya semakin terlihat. Bahkan, pada 1869, ia disebut-sebut terlibat dalam Pemberontakan di Tambun, Bekasi melawan kesewang-wenangan penjajah.
Terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya, posisi nasionalisme dari Raden Saleh memang patut untuk diteguhkan. Sebagaimana yang diteguhkan oleh Pramoedya Ananta Toer, Raden Saleh adalah individu nasional pertama