Pada dekade 60-an, persaingan antara Partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) mencapai masa-masa dinamisnya. Hampir di semua bidang, kedua partai ini saling bersaing. Khususnya di Banyuwangi.
Baik NU maupun PKI berusaha menancapkan pengaruhnya di berbagai bidang. Tak terkecuali dalam bidang seni-budaya. PKI dengan Lekra-nya mampu mengorkestrasi kesenian di Banyuwangi. Melalui grup musik Sri Muda, PKI menggelar berbagai pertunjukan kesenian seperti musik angklung, nyanyian hingga tari gandrung.
NU Banyuwangi pun tak mau ketinggalan. Melalui Lesbumi, NU menampilkan orkes Melayu, Hadrah, selawat hingga kuntulan.
Ada yang menarik saat Lesbumi Banyuwangi yang saat itu diketuai oleh Ismail Ridwan hendak mengajukan kuntulan sebagai bagian dari kampanye politik NU kala itu. Para kiai yang disuguhi usulan tersebut menggelar bahtsul masail (pembahasan masalah dalam perspektif syariah).
Kiai-kiai NU Banyuwangi terbelah. Ada yang menolak, adapula yang menerima. Dengan berbagai dalihnya.
KH. Harun Abdullah yang kala itu sebagai Rais Syuriyah mengambil pendapat yang ikhtiyat (berhati-hati). Ia menolak kuntulan tersebut karena menampilkan penari perempuan yang dapat menimbulkan fitnah.
Hal tersebut disanggah oleh KH. Suhaimi Rafiudin. Menurut kiai berdarah Madura ini, alasan dari pengasuh PP Darunnajah tersebut dapat dikesampingkan terlebih dahulu. Karena ada bahaya yang lebih darurat; komunisme.
“Bagaimana jika nanti masyarakat banyak yang ikut PKI karena senang dengan pertunjukannya, sedangkan kita tidak mau menggunakan kesenian juga?” kurang lebih demikian sanggahan kiai asal Kampung Melayu tersebut.
Pada akhirnya, permasalahan tersebut di-mauquf-kan. Kuntulan tetap digelar di tengah-tengah kampanye NU. Hal ini menjaga antusiasme warga Nahdliyin dan tak sedikit juga menggeret mereka memilih Partai NU.
***
Alhamdulillah, kealiman dan kearifan dari KH. Harun Abdullah dan KH. Suhaimi Rafiudin di atas, tak hanya bisa kita dengar dalam penggalan-penggalan cerita yang disampaikan oleh para sesepuh terdahulu. Namun, juga dapat kita baca dari karya tulis peninggalan keduanya.
Kiai Suhaimi menulis Tafsir Surati-l-Fatihah yang awalnya berupa manuskrip dan kemudian diterbitkan. Begitu pula dengan Kiai Harun. Beliau menulis nadzam tentang beragam istilah dalam kitab kuning, terutama dalam bidang fiqih, dalam kitab Bayanu-l-Mubhamat. Kitab ini pun diterbitkan ulang setelah ditemukan edisi stensilnya.
Semoga seiring waktu semakin banyak karya-karya ulama Banyuwangi yang diterbitkan. Amin…!!!