Sedang Membaca
Menyelisik Sejarah Jadwal Imsakiyah di Indonesia
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Menyelisik Sejarah Jadwal Imsakiyah di Indonesia

Salah satu hal yang paling dicari selama Ramadan ialah jadwal imsakiyah, sebuah tabel yang menunjukkan waktu kapan harus berbuka dan kapan mulai berpuasa. Lebih tepatnya, kapan waktu magrib tiba saban harinya selama Ramadan. Serta kapan waktu imsak itu datang. Dari keterangan waktu yang terakhir inilah nama ‘jadwal imsakiyah’ bermula. 

Selain itu, di jadwal tersebut, biasanya juga dilengkapi waktu salat wajib lainnya. Mulai sedari Subuh, Dzuhur, Ashar, Magrib, serta Isya. Kemunculan jadwal imsakiyah tentu tak bisa dilepaskan oleh dua hal; perkembangan ilmu falak dan percetakan sendiri. Ilmu falak merupakan piranti utama untuk bisa menyusun jadwal imsakiyah. Perhitungan astronomis di dalam ilmu falak menjadi penentu kapan waktu-waktu tersebut tiba.

Sedangkan percetakan menjadi tonggak kedua mengingat dibutuhkannya media penyebaran akan jadwal tersebut. Tanpa adanya teknologi percetakan, jadwal imsakiyah terlalu sulit untuk disebarkan secara luas. Jika pun harus ditulis tangan, tentu saja akan sangat terbatas penyebarannya.

Dalam sejarahnya, jadwal imsakiyah tercetak pertama kali di Mesir di bawah pemerintahan Muhammad Ali (w. 1848) Sebagaimana dilansir oleh situs Al-Arabiyah, imsakiyah diperkenalkan untuk pertama kali pada Ramadan 1262 H atau September 1846 M. Semenjak itu, jadwal tersebut berkembang dan diadaptasi ke berbagai penjuru negara Muslim.

Saya masih belum menemukan catatan sejarah yang pasti tentang perkembangan jadwal imsakiyah di Indonesia. Tak ada catatan yang merekam sejak kapan jadwal imsakiyah diperkenalkan di Nusantara. Namun, jika merujuk pada perkembangan ilmu falak dan awal mula pengenalan jadwal imsakiyah di Mesir dapat diduga penyebarannya pertama kali di Nusantara dibawa oleh Syekh Abdurrahman bin Ahmad al-Mishra. Ia merupakan seorang ulama ahli ilmu falak yang berasal dari Mesir. Ia datang ke Nusantara, tepatnya di Betawi, pada 1896.

Syekh Abdurrahman lantas membuka pengajaran ilmu falak. Ada salah seorang muridnya yang masyhur dan dikemudian hari turut serta mengembangkan ilmu tersebut. Ia adalah Sayyid Ustman al-Batawi (1822-1913). Ulama besar yang produktif menulis dan memiliki percetakan sendiri itu menulis kitab tentang ilmu falak yang berkaitan dengan pelaksanaan puasa. Judulnya Iqazhun Niyam fi maa Yata’allaqu bi Ahillah wash Shiyam. Kitab tersebut disusun pada 1321 H/1903 M.

Baca juga:  Kiai Sahal, Mendayung di antara Liberalisme dan Fundamentalisme (2, Bagian Akhir)

Sayyid Utsman sendiri menghasilkan seorang murid yang juga memiliki keahlian dalam ilmu falak. Ia tak lain Syekh Muhammad Manshur bin Abdul Hamid, penulis kitab Sullamun Nayyiran (1344 H/1925 M). Hingga kini, kitab tersebut masih dikaji di kalangan penggiat ilmu falak.

Besar kemungkinan, dari jalur inilah jadwal imsakiyah diperkenalkan di Indonesia. Mulai Syekh Abdurrahman bin Ahmad al-Mishra lantas dikembangkan oleh murid-muridnya di Nusantara. Akan tetapi, hal ini masih praduga. Penulis masih belum menemukan data pendukung yang memvalidasi hal ini.

Sejauh pengetahuan saya, jadwal imsakiyah yang tertua ditemukan dalam majalah Swara Nahdlatoel Oelama (SNO), sebuah majalah bulanan yang diterbitkan oleh Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO, kini PBNU) pada masa-masa awal berdirinya. Jadwal imsakiyah ini tertera Ramadan 1346 H (Maret 1928 M). Sayangnya, edisi ini tak lengkap sehingga tak diketahui pada SNO edisi keberapa jadwal ini dimuat.

Ada juga jadwal imsakiyah yang dicetak berbentuk lembaran dan disebarluaskan. Salah satu yang saya temukan jadwal Ramadan 1345 H (Februari 1927 M). Jadwal ini diterbitkan oleh tiga nama perkumpulan;  Tashwirul Afkar, Shubbanul Wathon, dan Nasihin.

Tiga perkumpulan tersebut, tak asing dalam kajian sejarah Nahdlatul Ulama. Tashwirul Afkar, kelompok kajian yang diinisiasi Kiai Abdul Wahab pada 1914. Lima tahun kemudian berkembang menjadi madrasah dan pada 1924 berkembang sebagai lembaga kaderisasi Aswaja untuk menghadang maraknya wahabisasi.

Sedangkan Shubbanul Wathon, perkumpulan anak muda binaan Kiai Wahab yang kelak menjadi cikal bakal dari Anshoru Nahdlatoel Oelama yang sekarang dikenal dengan GP Ansor. Adapun Nasihin, dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Choirul Anam) merupakan lembaga kaderisasi bagi mubalig-mubalig NU untuk menghadapi “perdebatan” soal khilafiah yang kerap dibidahkan oleh kalangan modernis. Ketiga perkumpulan tersebut memiliki beberapa kesamaan. Selain secara ideologi dan gerakan, juga sama pada sosok penggeraknya, yakni Kiai Wahab Hasbullah. Artinya, jadwal terbitan SNO maupun Shubbanul Wathon memiliki akar yang sama.

Menariknya, dalam jadwal imsakiyah berbentuk lembaran tersebut dilengkapi dengan ‘risalah puasa’. Isinya mengupas tentang dalil kewajiban puasa, syarat dan rukunnya, hal yang membatalkan hingga hikmah dari puasa itu sendiri.

Jadwal Imsakiyah dalam kultur NU sebenarnya tak hanya berlaku tiap Ramadan. Pada bulan-bulan yang lain, NU juga merilis hal yang sama. Seperti jadwal imsakiyah yang dirilis pada Jumadil Awal 1347 (Oktober 1928) lewat SNO edisi Nomor 1, Safar 1347 tahun kedua. Dalam versi yang lain, bahkan dirilis dalam versi jamak. Lebih dari satu bulan, dari bulan Sya’ban hingga Dzulqaidah. Jadwal ini, diterbitkan pada SNO Nomor 11 Dzulqaidah 1348 Tahun II.

Baca juga:  Manis-Pahit Kenangan AC Milan dan Angan Kejayaan Khilafah

Para Juru Hisab

Di balik jadwal imsakiyah tersebut, tentu saja ada para penyusunnya. Mereka memiliki keilmuan matang dalam ilmu falakiyah. Dengan basis pengetahuan tersebut, para ahli tersebut melakukan hisab (perhitungan) untuk menentukan setiap pergantian waktu sebagaimana dimuat dalam jadwal imsakiyah.

Jadwal Imsakiyah Ramadan 1347 yang dimuat pada SNO maupun yang dibuat oleh Shubbanul Wathon setahun sebelumnya, disusun oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz bin Abdul Karim, tokoh yang sama di balik pelbagai jawaban soal-soal keagamaan yang ditujukan pada redaksi SNO. Selain aktif di majalah itu, Kiai Mas Alwi juga tercatat sebagai pengurus HBNO dan termasuk pendiri NU.

Pendidikan Kiai Mas Alwi sendiri banyak ditempuh di pesantren. Mulai dari Bangkalan di bawah asuhan Syaikhona Kholil hingga di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Ia juga pernah belajar di Makkatul Mukaromah. Dalam riwayat yang lain, juga pernah berkunjung ke Eropa untuk mempelajari renaisance yang sedang berkembang di sana pada awal abad 20. Tak mengherankan jika pencetus nama NU tersebut memiliki ilmu agama dan umum yang mumpuni, termasuk ilmu hisab (falakiyah).

Selain Kiai Mas Alwi, juga terdapat beberapa ahli hisab yang turut menyusun jadwal imsakiyah. Dalam jadwal imsakiyah Ramadan 1347 terbitan SNO (Nomor 4, Rabiuts Tsani 1347 H Tahun II), terdapat Ahmad Munif as-Sibani yang dibantu oleh dua orang kawannya yang bernama Syamsul Huda dan Muhtadi.

Baca juga:  Mempelajari Ilmu Virus: Fardu Kifayah

Tiga nama tersebut, saya masih belum bisa mengidentifikasi identitasnya. Akan tetapi, dalam keterangan lebih lanjut, ketiga penyusun jadwal imsakiyah tersebut mentashihkan karyanya kepada gurunya yang ‘alamah’ (cerdas) dan ‘hasib’ (juru hisab), yaitu KH. Muhammad Maksum bin Ali (w. 1933), Jombang. Dalam terbitan lain (SNO nomor 11 Dzulqaidah 1348 Tahun II), nama yang sama disebut sebagai penyusun langsung.

Kiai Maksum Ali Jombang bukanlah nama yang asing. Ia adalah santri sekaligus menantu Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Ia merupakan ahli hisab kenamaan. Setidaknya ada dua kitab dalam ilmu falakiyah yang telah ia susun, Ad-Durus Al-Falakiyah dan Badi’atul Mitsal.

Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan ”mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi Matahari, dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilid dengan jumlah 109 halaman. Sedangkan  kitab kedua, hanya membahas tentang hisab hilal awal bulan. Formatnya masih menggunakan buruj dan derajat. Sedangkan alat bantu ukurnya menggunakan rubu’ mujayyab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top