Sedang Membaca
Mengenang Dokter Soetomo: Tokoh Nasionalis Pembela Kaum Santri
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Mengenang Dokter Soetomo: Tokoh Nasionalis Pembela Kaum Santri

Screenshot 20200530 100601~2

“Pada hari Senen sore diam 4.30 tanggal 30 Mei 1938 baroe2 ini telah wafat dr. R. Soetomo, pemimpin besar Nasional Indonesia kita, dan dikoeboer pada 1 Juni, tempatnja di G.N.I Soerabaja.”

Kalimat di atas adalah paragraf pembuka dari obituari satu halaman penuh majalah bulanan terbitan PBNU dekade 30 – 40an; Berita Nahdlatoel Oelama (BNO). Tentunya, hal tersebut cukup aneh, mengingat pendiri organisasi Budi Utomo itu bukanlah tokoh NU. Namun, saat kematiannya, mampu menarik perhatian para pengurus NU.

Bahkan, dalam obituari tersebut, redaksi BNO yang kala itu dijabat KH. Mahfudz Shiddiq mengeluarkan instruksi kepada warga NU untuk salat ghaib dan membaca tahlil untuknya.

“Soenggoeh patoet jikalau kawan2 kita kaoem Nahdlatoel Selama bersama2 mengadakan sembahyang ghaib dan tahlil untuk roeh pemimpin besar itoe,” tulisnya.

“Moga2 Allah meampoeni dosanja serta poela melimpahkan sebanyak-banjaknja rahmat-Nja kepada roh beliau,” demikian doa Kiai Mahfudz Shiddiq, ulama muda, orator, dan aktivis media NU. Menurut Hamzah Sahal, Mahfudz Shiddiq adalah bapak media di NU, salah satu dari sedikit kiai yang menulis dalam bahasa Melayu.

Soetomo memang dikenal sebagai tokoh yang unik. Pemikirannya kerap tak terduga. Satu sisi terkadang mengecam Islam, di satu sisi yang lain ia bisa menjadi pembela yang gigih. Banyak tulisannya yang membuat geram tokoh-tokoh yang tergabung di Syarekat Islam. Seperti halnya Haji Oemar Said Cokroaminoto.

Baca juga:  Renungan 75 Tahun Indonesia Merdeka: Sejarah Kemerdekaan Indonesia Harus Ditulis Ulang

Roeslan Abdulghani dalam bukunya, “Almarhum Soetomo yang Saya Kenal” mengungkapkan salah satu fragmen anekdoktal bagaimana perseteruan dua tokoh tersebut. Pada medio 1930, Soetomo menulis artikel di surat kabar yang menyulut kemarahan Cokroaminoto dan ribuan pengikutnya di Surabaya.

Untuk melampiaskan hal tersebut, diagendakanlah sebuah debat terbuka di bioskop Kranggan, Surabaya pada Agustus 1930. Ribuan pendukung Cokroaminoto dari berbagai daerah memadati gedung tersebut. Mereka hendak menyaksikan junjungannya meluluhlantakkan argumentasi Soetomo yang mereka nilai menghina Islam.

Namun, tokoh kelahiran Nganjuk, 20 Juli 1888 itu tak kunjung datang. Justru yang datang adalah kelompok penari ludruk pimpinan Cak Durasim, seorang seniman santri yang berasal dari Jombang. Sontak saja para pengunjung debat kecele. Mereka akhirnya membubarkan diri.

Meski kerap berseberangan dengan Syarekat Islam, ternyata Soetomo memiliki kedekatan dengan sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama. Ia berkawan karib dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah sejak aktif di Indonesia Studio Club (ISC). Ia juga dekat dengan Kiai Nawawi Amin Surabaya yang tak lain adalah konseptor AD/ART NU. Dalam beberapa kali Muktamar NU, Soetomo dikabarkan datang sebagai tamu undangan. Alhasil, tidak heran ketika pesantren dikritik habis-habisan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Soetomo hadir sebagai “proxy” yang membelanya.

Takdir dan Soetomo tokoh itu terlibat polemik di media tentang sebuah upaya menyusun kebudayaan Indonesia. Mengacu ke Barat sebagaimana yang digaungkan Sutan Takdir ataukah melihat ke dalam khazanah Nusantara seperti yang ditawarkan Soetomo.

Baca juga:  Sejarah Arsitektur Kubah, dari Gereja hingga Masjid

“Pesantren dan pondoknya memberi pengajaran lahir batin bagi murid-muridnya,” puji Soetomo seraya mengkritik model pendidikan Barat yang justru hanya mengajarkan anak didiknya sebagai ‘buruh gajian’ saja.

Pendidikan pesantren, lanjut lulusan Stovia itu, menjadi akar kuat membentuk karakter dan persatuan masyarakat Indonesia. Hal tersebutlah yang akan memerdekakan dan memajukan bangsa Indonesia ini.

Akan tetapi, gagasan tersebut langsung diserang oleh Sutan Takdir. Justru pesantren yang menjadikan bangsa Indonesia anti-intelektualitas dan mengalami kemunduran.

“Apabila tuan dr. Soetomo mengatakan terpecah-bawahnya persatuan yang berpusat kiai itu racun bagi bangsa kita, saya menyebut perpecahan persatuan yang demikian ini ialah obat yang semujarab-mujarabnya,” tulisnya balik.

Polemik yang berseri tersebut, kemudian dibukukan oleh Achdiyat K. Mihardja dalam Polemik Kebudayaan. Bersama dengan polemik seputar kebudayaan bangsa yang ditulis oleh pemikir Indonesia medio 30-an. Seperti Ki Hajar Dewantara, Sanusi Pane dan lain sebagainya. Polemik ini diulas juga oleh esais kenamaan Mahbubd Djunaidi.

Pemikiran dan kiprah Soetomo yang demikian dinamis terhadap Islam itu, digambarkan dengan cukup pas oleh Kiai Mahfudz Shiddiq selaku redaktur.

“Walaoepoen dalam satoe doea hal tindakan dan faham toean Dr. [dokter] terseboet koerang memoeaskan pada kita dan kadang2 mengetjiwakannja, akan tetapi kita sebagai ra’jat Indonesia tidak boleh meloepakan atas djasa2 beliau jang besar, djasa beliau jang ditoedjoekan oentoek bangsa dan nusa Indonesia. Maka, merasa atau tidak, kita berhoetang boedi kepadanja,” tulisnya.

Baca juga:  Sejarah Singkat Suku Hui, Penganut Islam di Tiongkok

Tak hanya bagi bangsa Indonesia, Soetomo juga turut berkontribusi dalam proses pendirian NU. “…teroetama poela pada berdirinja Nahdlatoel Oelama dahoeloe, beliau pernah memberikan tenaganja,” lanjutnya.

Tentunya, menarik untuk mengkaji peranan Soetomo bagi proses pendirian NU sebagaimana disinggung di atas. Apa mungkin berkaitan dengan proses administratif bagi NU untuk bisa mendapat legalitas dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda tempo dulu. Mengingat kedekatannya dengan Kiai Wahab dan Kiai Nawawi Amin, hal tersebut tak menutup kemungkinan.

Waba’du, bagaimanapun kontroversinya sepak terjang tokoh pendiri Budi Utomo itu, di hari kepulangannya ini, 30 Mei, sebagai anak bangsa kita patut untuk mengenang dan meneladani kegigihannya. Sebagaimana tertulis diobituari BNO tersebut:

“Dengan kewafatan beliau, Indonesia kehilangan seorang jg berharga, seorang pemimpin jg sudah mateng, seorang djasawan jg soekar bandingannja, seorang bidjaksana jg luas pengetahuannja.”

Ila hadrati Dokter Soetomo, sang pembela kaum santri, al-fatihah…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top