Sejauh pengetahuan saya, nama besar KH. Ali Maksum tak banyak terekspose dalam bentuk biografi. Tentunya, satu buku yang ditulis utuh. Bukan kumpulan manaqib dari beberapa tokoh yang dikumpulkan jadi satu buku.
Dari kelangkaan itu, ada satu buku biografi tentang Rais Aam PBNU masa khidmat 1981-1984 tersebut. Buku tipis terbitan Multi Karya Grafika, Yogyakarta itu, ditulis oleh A. Zuhdi Mukhdlor. Ia salah seorang santri Kiai Ali yang menulis buku tersebut untuk memeriahkan Muktamar ke-26 NU yang bertempat di kediaman Kiai Ali sendiri, Pesantren Al-Munawir Krapyak, Yogyakarta, 1989. Artinya, buku ini ditulis menjelang beliau wafat, 7 Desember 1989. Seminggu setelah muktamar usai.
Buku setebal 106 (plus XIV) halaman itu, berjudul “K.H. Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya”. Sebagaimana tertera pada judul, buku ini mengulas perihal masa kecil, pendidikan hingga perjuangannya di Nahdlatul Ulama. Begitu pula intisari-intisari pemikirannya.
Dari rangkaian fragmen kehidupan dan pemikiran Kiai Ali yang tertuang di sana, ada satu fragmen yang cukup penting didedahkan dalam resensi ini. Yakni, bagaimana pemikiran-pemikiran Kiai Ali tentang pesantren. Baik semasa di Pesantren Al-Hidayat, Lasem sebagai tempat asalnya, Pesantren Tremas tempatnya belajar dan Pesantren Al-Munawir, Krapyak tempatnya mengabdi.
Kiprah Kiai Ali tentang dunia pesantren telah menonjol sejak muda. Kala ia menuntut ilmu di Tremas. Ia merupakan salah seorang santri emas di sana. Selain statusnya sebagai putra ulama besar, Kiai Maksum Lasem, santri kelahiran 1915 itu, juga memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Tak ayal, Kiai Dimyathi, pengasuhnya di Tremas menganakemaskannya dengan menempatkan dirinya di ndalem (hal. 8).
Menurut Prof. Dr. HA. Mukti Ali yang pernah menjadi santrinya ketika di Tremas, Kiai Ali merupakan sosok pembaharu di pesantren yang dirintis oleh KH. Abdul Manan (1830 – 1862).
“Waktu pondok Tremas dirubah sistemnya dari pondok madrasah, yang berjasa adalah Kiai Ali, karena idenya dari beliau. Banyak buku baru diperkenalkan beliau. Nahwu misalnya, diganti dengan “Nahwu al-Wadlih”, Balaghah diganti dengan “Balaghah al-Wadlihah”. Kemudian ada “Qiraah Rasyidah”, ada bacaan “As-Samir al-Madzahib”, ilmu Mantiq Al-Ghazali, dan buku-buku bacaan dari Mesir yang masih baru. Ini semua yang memperkenalkan adalah Kiai Ali Ma’shum. Jadi yang memodernisasi pondok Tremas adalah Kiai Ali, disamping Kiai Hamid Dimyathi. Kiai Ali pandangannya sangat jauh; maju, sejak sebelum pergi ke Makkah,” tulis mantan Menteri Agama era Orde Baru itu.
Sebagaimana teorema yang jamak dipahami dunia santri, al-muhafadzatu alaa qadimish sholih wal akhdu alaa jadidil aslah (menjaga sesuatu yang lama yang masih relevan dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik), menjadi pegangan Kiai Ali dalam memberikan sentuhan pembaharuan di dunia pesantren. Seperti halnya ketika ia mengusulkan pendidikan klasikal ala madrasah yang diterapkan Pesantren Tremas.
Pada 1928, di Pesantren Tremas diadakan sistem madrasah. Gagasan ini dipelopori oleh salah seorang santri senior bernama Sayid Hasan. Akan tetapi, ide tersebut mendapat tanggapan dingin dari pesantren. Saat itu, Sayid Hasan, tak melibatkan satupun guru pesantren dalam mengajar di madrasah baru itu. Bahkan, di sana dikampanyekan bahwa pola pendidikan ala pesantren sudah tidak relevan dengan kemajuan zaman.
Sontak saja, gagasan itu tak bertahan lama. Murid yang masuk hanya 60-an orang dan bertahan setahun. Setelah itu bubar. Kejadian tersebut membuat Kiai Dimyati trauma dengan konsep madrasah (hal 7).
Berbeda dengan Kiai Ali. Meskipun tetap mengusung konsep madrasah sebagai gagasan pembaharuan pesantren (al-akhdu), ia tetap mempertahankan prinsip-prinspi pesantren (al-muhafadzah). Dalam madrasah yang diusung Kiai Ali pada 1932 di Tremas, ia tetap memanfaatkan guru-guru pesantren sebagai tenaga pengajarnya.
Tujuan madrasah pun tidak untuk menegasikan keberadaan pesantren. Tapi, justru untuk memperkuat pesantren itu sendiri. Tak ayal, gagasan yang diusungnya bersama Gus Hamid Dimyati tersebut, mendapatkan restu dan dukungan dari Kiai Dimyati (hal 11-12).
Selain pembaharuan yang tetap berakar pada tradisi, pemikiran Kiai Ali dalam mengembangkan pesantren adalah kaderisasi. Hal ini terlihat dari kepemimpinannya di Pesantren Al-Munawir Krapyak. Pada 1942, ia ditunjuk menggantikan mertuanya, Kiai Munawir, untuk memimpin pesantrennya di Krapyak. Pasca mangkatnya Kiai Munawir, Pesantren Krapyak tak ada pelanjutnya. Sang menantu, Kiai Ali, oleh keluarga dipandang sebagai sosok yang tepat untuk melanjutkan estafet tersebut.
Mendapat tugas melanjutkan kepemimpinan Pesantren Krapyak, bukan perkara mudah bagi Kiai Ali. Saat itu, masa pendudukan Jepang sedang ganas-ganasnya. Pesantren mendapat pengawasan ketat. Santri pun banyak yang pulang karena ketakutan. Tak banyak lagi yang nyantri. Madrasah yang telah ada kosong melompong. Tak ada aktivitas sama sekali.
Kondisi terpuruk demikian, tak menyurutkan tekad Kiai Ali. Justru ia manfaatkan untuk menyiapkan kader-kader yang akan diajaknya berjuang membesarkan pesantren yang didirikan oleh pakar Al-Qur’an tersebut. Saat itu, ia hanya mengajar 10 orang yang bakal diproyeksikan sebagai penyangga keberlangasungan pesantren.
Mereka terdiri dari anak, cucu, menantu Kiai Munawir dan beberapa orang tetangga pesantren. Antara lain Abdul Qadir, Mufid Mas’ud, Nawawi Abdul Aziz, Dalhar, Zainal Abidin, Ahmad dan Warson. Sedangkan yang berasal dari tetangga antara lain Wardan Joned, Zuhdi Dahlan dan Abdul Hamid (hal. 21).
Sepuluh orang santri istimewa tersebut, digembleng langsung oleh Kiai Ali secara maraton. Selama dua tahun penuh (1943-1944), mereka belajar sedari subuh hingga pukul 21.00. hanya berhenti untuk salat dan makan saja. Selebihnya belajar dan belajar.
Upaya Kiai Ali untuk membangun Pesantren Al-Munawir dengan mempersiapkan para kader terlebih dahulu, ternyata merupakan keputusan yang tepat. Hal ini terlihat beberapa tahun kemudian, ketika Kiai Ali menjadi pengasuh satu-satunya Al-Munawir. Pasca wafatnya dua putra Kiai Munawir, KHR Abdul Qadir (1961) dan KHR Abdullah Affandi (1968), para santri khusus binaan Kiai Ali benar-benar menjadi tulang punggung utama Al-Munawir.
Al-Munawir tumbuh menjadi pesantren yang semakin moncer. Tidak hanya dikenal sebagai pesantren al-Qur’an. Kini, juga dikenal dengan pesantren kitab kuning. Madrasah kembali dihidupkan. Bahkan, dari tingkat taman kanak-kanak hingga takhasus semuanya diselenggarakan di sana.
Dari pemikiran Kiai Ali tersebut, ada dua hal penting bagaimana seorang pengasuh untuk mengelola pesantren. Pembaharuan adalah kunci.
Namun, bukan berarti mengabaikan tradisi dan meniadakan hal-hal yang telah ada. Dan, yang tak kalah pentingnya, membangun pesantren tak cukup hanya mendirikan gedung. Mendirikan pesantren adalah menyiapkan para kader terbaik sebagai aktor-aktor penggeraknya.