Sedang Membaca
Kiai Moensif Nachrowi, Perawat Memorabilia Nahdlatul Ulama
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Kiai Moensif Nachrowi, Perawat Memorabilia Nahdlatul Ulama

Kiai Moensif Nachrowi, Perawat Memorabilia Nahdlatul Ulama

Mentari pagi mulai memancarkan cahayanya di hari Rabu, 8 Juni 2022. Kala itu, saya bersama dengan Kang Iip Dzulkifli, seorang sejarawan dari Bandung, bertandang di kediaman KH. Moensif Nachrowi. Berdasarkan informasi dari seorang sahabat, beliau lebih mudah ditemui seusai salat Subuh di masjid yang berada di komplek Pesantren Bungkuk, Singosari, Kota Malang itu.

Sekitar pukul 05.00 pagi, kami bergesar dari penginapan menuju ke Pesantren Bungkuk. Kiai Moensif masih bertafakur di masjid. Kami diterima oleh sejumlah pengurus pondok. Sembari ditemani kopi panas, kami menceritakan tujuan kedatangan kami.

“Kami sedang melakukan riset tentang sejarah Nahdlatul Ulama,” saya mengutarakan maksud tujuan silaturahmi.

Sebagaimana diketahui, Kiai Moensif adalah putra dari KH. Nachrowi Thohir, Malang. Nama terakhir ini, adalah salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau tercatat sebagai A’wan Syuriyah pada kepengurusan NU pertama (1926). Lalu, pada Muktamar III NU (1928), ia menjadi Mustasyar HBNO. Pada 1931, ia kemudian menjadi Ketua Cabang NU Malang sampai 1939. Setelah itu, lanjut menjadi Rais Syuriyah Cabang Malang sampai 1942. Hal ini terbukti pada verslaag Muktamar ke-13 NU di Menes, Banten (1938) yang mencatat Kiai Nachrowi sebagai utusan Syuriyah dari Cabang NU Malang, sedangkan Tanfidziyahnya adalah KH. Masjkur.

Kiai Nachrowi juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU pasca KH. Machfoedz Shiddiq berhalangan tetap. Sebagaimana ia tuliskan dalam biodata diri guna keperluan Majelis Konstituante – Kiai Nachrowi terpilih sebagai anggota Konstituante dari Partai Nahdlatul Ulama – beliau menjadi Ketua Umum PBNU pada 1943 sampai 1944.

Baca juga:  100 Tahun Soeharto (3): Keluarga dan Indonesia

Data tersebut langsung menganulir klaim yang berkembang selama ini, jika ia memimpin PBNU sampai Muktamar ke-17 NU di Jakarta (1950). Dalam pengakuannya tersebut, usai 1944 ia lebih aktif dalam dunia militer. Ia menyebut dirinya sebagai Ketua Fond Sabil Daerah Djawa Timur (untuk menjadi Barisan Hizbullah dan Sabilillah) pada 1944. Kemudian pada 1945 ini menjadi Ketua Front Sabilillah Daerah Jawa Timur. Hal ini berlanjut pada 1948-1949 sebagai Ketua umum komandan 10 barisan Hizbullah daerah Malang Selatan (clash I dan II).

Atas kiprah penting dari sang ayahanda tersebut, kami menduga bahwa akan ada informasi menarik seputar sejarah Nahdlatul Ulama yang bisa didapat dari Kiai Moensif. Selain beliau tercatat sebagai aktivis awal Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), pasti ada jejak sejarah lain yang tersimpan dibenak kiai kelahiran …. itu.

Dugaan tersebut benar adanya. Kami ditunjukkan sebuah album peninggalan orang tuanya. Ada puluhan foto-foto lama yang menunjukkan dinamika Nahdlatul Ulama, khususnya di Malang. Foto-foto madrasah mendominasi di album tersebut. Maklum, Kiai Nachrowi adalah salah satu tokoh NU yang getol mengembangkan lembaga pendidikan. Sampai saat ini, madrasah-madrasah tersebut masih eksis dan bahkan berkembang pesat.

Dari puluhan foto tersebut, ada beberapa foto yang membetot perhatian kami. Serangkaian foto pelaksanaan Muktamar ke-12 NU di Malang. Tak kurang dari lima foto yang menunjukkan momen tersebut. Empat di antaranya adalah foto bersama para peserta muktamar dan panitia, serta suasana di acara muktamar yang dihelat di Hotel Mansion itu.

Baca juga:  100 Tahun Dick Hartoko: Buku dan Ketakjuban Sastra

Sebagaimana dicatat dalam majalah Berita Nahdlatoel Oelama edisi khusus “Congres Nummer” (20-22 Tahun VI, 15 Agustus – 15 September 1937), itu dihadiri oleh 76 utusan Cabang Nahdlatul Ulama dari seluruh Nusantara. Pada muktamar ini, juga terjadi proses pemilihan Ketua Umum HBNO yang mulai terasa kontestasinya. Antara KH. M. Noer sebagai incumbent dengan KH. Machfoed Shiddiq sebagai pendatang baru.

Pada saat itu, pemilihan Ketua Umum atau dulu dikenal sebagai president, dilakukan tiap tiga tahun sekali, meski muktamar (Congres istilah saat itu) dilaksanakan tiap tahun. Pada muktamar di Malang itu, sebenarnya, pencalonan ketua sudah ditentukan jauh sebelumnya. Namun, di tengah persidangan, Ketua Cabang NU Surabaya, M. Thohir, mengusulkan dua nama tambahan sebagai calon. Yakni, KH. Machfoed Shiddiq dan KH. Abdoellah Oebayd. Namun, Kiai Oebayd mengundurkan diri.

Saat ada nama baru yang muncul, pendukung Kiai Noer melakukan manuver dalam persidangan. Mereka mengusulkan bahwa calon ketua umum HBNO “hendaklah tinggal beroemah di Soerbaia”. Klausul tersebut tak semata untuk mengefektifkan kinerja NU yang berpusat di Surabaya, tapi juga untuk “menjegal” Kiai Machfoedz yang tinggal di Jember.

Perdebatan alot tersebut kemudian ditengahi oleh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau memutuskan untuk mengambil jalan tengah. Siapapun yang terpilih sebagai ketua, harus siap tinggal di Surabaya. Dari keputusan tersebut, akhirnya dilakukan pemilihan yang mana menghasilkan keputusan bahwa Kiai Machfoed sebagai ketua terpilih. Sedangkan Kiai Noer ditetapkan sebagai Wakil Ketua (Vice President).

Baca juga:  Kiai Asep, Sosok Pembaharu Pendidikan Islam Abad 21

Atas pemilihan tersebut, Kiai Hasyim juga mengajak seluruh muktamirin untuk mengeluarkan darma guna memikul biaya tinggal ketua ataupun wakil ketua HBNO terpilih tersebut di Surabaya. Beliau mengusulkan masing-masing Cabang untuk berdarma sebesar 0,50 rupiah setiap bulannya. Sedangkan Kiai Hasyim sendiri menyanggupi untuk menyumbang sebesar satu rupiah. Ajakan dari Kiai Hasyim itu disetujui oleh muktamirin. Bahkan, saat itu, lansung terkumpul dana sebesar 30 rupiah 50 sen.

Keseruan dan gegap gempita proses keterpilihan Kiai Machfoedz Shiddiq sebagai Ketua Umum PBNU itu, tertangkap jelas dalam sebuah foto yang ada di kediaman Kiai Moensif. Kiai Machfoedz mengenakan jas dan bersarung kotak-kotak. Dilengkapi dengan kopiah hitam menambah karisma tokoh muda NU yang masih berusia 29 tahun itu. Foto langka yang menunjukkan putra dari Kiai Shiddiq Jember itu, mengenakan kopiah. Biasanya yang tersebar luas adalah versi tanpa kopiah.

Foto-foto langka tersebut mengabarkan suatu fragmen sejarah penting dari Nahdlatul Ulama. Fragmen yang tak hanya berupa narasi, tapi juga berupa visual yang baik. Sungguh, hal ini berkat dari ketekunan Kiai Moensif untuk merawat memorabelia Nahdlatul Ulama.

Kini, sang perawat memorabelia NU tersebut, telah tiada. Kamis siang, 14 November 2024, berita duka itu menyebar luas. Semoga kepergian beliau tak kemudian membuat memorabelia yang terawat puluhan tahun lalu itu terserak dan menghilang. Tetap terawat seiring semerbak harum namanya.

Terima kasih, Kiai Moensif. Swargi langgeng!

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top