Hari ini, 21 Januari, tujuh belas tahun silam, terdapat momen penting dalam sejarah Nahdlatul Ulama. Kejadian yang berlangsung pada 1992 tersebut, adalah pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Bandar Lampung.
Forum tertinggi setelah Muktamar itu, dikejutkan oleh berita mengejutkan. Pejabat Rais Aam PBNU KH. Ali Yafie memutuskan untuk undur diri. Bahkan, ia tak hadir dalam kegiatan tersebut.
Pasca wafatnya Rais Aam KH. Achmad Shiddiq pada 23 Januari 1991, posisi Rais Aam dipercayakan pada Kiai Ali Yafie. Tokoh kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah tersebut dipercaya menjadi pelaksana tugasnya. Saat itu, berdasarkan hasil Muktamar ke-29 di Krapyak, ia dipercaya menjadi wakil rais, sehingga sangat memungkinkan penunjukkan tersebut.
Kiai Ali sendiri mengawali karirnya di NU sejak muda. Pada 1957, ia dipercaya menjadi Rais Syuriyah PCNU Pare-pare. Aktivitasnya di NU tersebut, kemudian mengantarkannya terlibat dalam dunia politik. Namun, karir di politiknya tersebut tak ditekuni secara serius. Ia lebih memilih di jalur intelektual. Kiai yang menyandang gelar profesor tersebut, aktif mengajar di IAIN Alaudin, Makasar. Hingga mengantarkannya menjabat sebagai dekan.
Karir intelektualitas dari Kiai Ali inilah di kemudian hari mengantarkannya ke panggung Nasional. Pada Muktamar ke-27 di Situbondo, namanya mulai masuk jajaran pengurus Syuriyah PBNU. Lantas, jabatan-jabatan lain pun mulai bersusulan. Mulai dari MUI, ICMI hingga Dewan Pengurus Syariat Bank Muammalat Syariat.
Namun, pengabdian di NU ia letakkan di tengah jalan. Pada Munas dan Konbes di Bandar Lampung itulah, ia mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Pj Rais Aam. Keputusan yang diambil oleh putra dari Kiai Muhammad Yafie itu, menggemparkan peserta Munas.
Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua PBNU menyesali pengunduran diri Kiai Ali. Ia mengharapkan, Kiai Ali berkenan mengubah keputusannya tersebut. “Ini merupakan harapan dari PBNU dan saya rasa harapan seluruh peserta konbes ini. Ini mudah-mudahan sampai kepada beliau, sebagai doa untuk kepentingan beliau dan bukan untuk kepentingan siapa-siapa,” ungkapnya sebagaimana dimuat di Kompas (25/1/92).
Putra Kiai Wahid Hasyim tersebut juga mengeluhkan awak media yang keburu mengabarkan berita pengunduran diri tersebut sehingga menyebabkan situasi menjadi runyam. Menurutnya, permasalahan tersebut bisa didialogkan terlebih dahulu.
“Saya tidak tahu akal apa yang digunakan media massa sehingga memperolehnya, sementara orang-orang PBNU sendiri belum membaca. Ini entah kepintaran, entah apa dari media massa. Saya tidak tahu. Artinya kecekatan mereka untuk memperoleh berita kadangkala merupakan yang positif bagi kehidupan bangsa, tapi kali ini membawa akibat runyam bagi NU,” kata Gus Dur.
Namun, karen keburu tersiar, berita pengunduran diri tersebut menjadi konsumsi publik yang tak lagi bisa dinegoisasikan dengan para pihak yang terlibat. Rais Syuriyah PWNU Yogyakarta KH. Malik Madani, misalnya. Dalam sebuah forum, ia menuntut pihak PBNU membacakan surat tersebut. Dengan demikian, sas-sus itu tak lagi sebatas gosip. Namun, menjadi perbincangan formal dalam forum Munas dan Konbes tersebut.
Kiai Ali Yafie sendiri dalam sebuah wawancara dengan Kompas (25/1/92), menolak menyebut pengunduran dirinya itu sebagai bentuk perpecahan di tubuh NU. Dengan diplomatis, pakar fiqih tersebut, menyebut hal tersebut sebagai perbedaan biasa.
“NU tak pernah pecah. Cuma tak ada kesepakatan pendapat,” tegasnya.
Pandangan dari Kiai Ali yang demikian tersebut, meredam ketegangan di tubuh NU maupun di mata pihak lain. Perbedaan yang sempat memanas itu, dapat terselesaikan tanpa adanya konflik berkepanjangan yang mengancam keutuhan. Atas fenomena ini, dalam tajuknya, Kompas memuji kultur demokrasi di NU yang demikian matang.
“Orang mencemaskan perbedaan pendapat yang menyebabkan mundurnya tokoh yang dihormati, KH Ali Yafie dari jabatan Wakil Rois Aam, akan menimbulkan perpecahan. Perbedaan pendapat itu berhasil diatasi dengan baik, tanpa meninggalkan perpecahan organisasi. Sungguh besar semangat kekeluargaan dalam organisasi kemasyarakatan dan keagamaan tersebut,” tulis Kompas. (*)