Sebagai seorang santri kelana, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tentu memiliki segenap pengalaman di sejumlah daerah. Pengalaman yang tak hanya berkesan pada dirinya sendiri, namun bagi segenap orang yang berkesempatan menjumpainya.
Di tengah pintasan kenangan itu, bisa jadi Banyuwangi menjadi salah satu daerah yang cukup penting dalam hidup Gus Dur.
Di ujung timur Jawa tersebut, ayahanda Neng Alisa Wahid tersebut menorehkan banyak kenangan. Mulai dari perjumpaan dengan guru spiritual hingga intrik politik. Dua sisi yang terkesan bertentangan, namun demikianlah kompleksitas seorang Gus Dur. Tak cukup satu perspektif untuk menilainya yang multidimensi tersebut.
Sejauh penelusuran penulis, Gus Dur telah menginjakkan kaki di tlatah Blambangan sejak dekade 80-an. Kapasitasnya sebagai Ketua PBNU mengantarkannya ke berbagai kantong-kantong Nahdliyin. Menyapa dan menyerap energi dari akar rumput yang saat itu sedang tergencat kungkungan Orde Baru.
Intensitas kunjungannya ke Banyuwangi tersebut, mengantarkannya pada perjumpaan dengan guru spiritual. Pada suatu kesempatan talkshow di sebuah stasiun televisi swasta, Gus Dur mengungkapkan ada lima orang yang menjadi panutannya. “Saya diperintahkan oleh lima orang sesepuh saya. Itu saja. Kalau mereka memerintahkan apa saja, masuk api, (ya) masuk api,” tegasnya.
Pengakuannya tersebut, kemudian menimbulkan berbagai spekulasi. Siapakah lima kiai yang jadi panutan presiden keempat Republik Indonesia tersebut?
Salah satu spekulasi yang muncul adalah KH. Zarkasy Djunaidi, Genteng, Banyuwangi. Pengasuh PP. Bustanul Makmur tersebut disebut-sebut sebagai salah satu dari lima guru spiritual panutan Gus Dur. Hal ini sebagaimana diakuinya saat mengisi acara peringatan hari jadi ke-47 Yayasan Pendidikan dan Sosial Nahdlatul Ulama (YPSNU) di Surabaya, pada Ahad, 26 Agustus 2001.
“Ada empat ulama Jawa Timur yang saya tidak kuasa menolak perintahnya, kalau mereka yang memerintah, saya tak akan berani membantahnya,” ungkap Gus Dur. Ternyata, satu dari empat ulama Jawa Timur tersebut, ada nama KH. Zarkasy Djunaidi Banyuwangi (Tiga Kiai Khos, Ainur Rofiq Sayyid Ahmad).
Dalam sebuah acara di Lapangan Maron, Genteng, bertepatan pada 10 Nopember 2001, Gus Dur diundang oleh Kiai Zarkasy untuk menjadi pembicara utama. Dihadapan ribuan warga Nahdliyin Banyuwangi itu, Gus Dur kembali mengakui kepatuhannya kepada bapak delapan anak itu.
“Jika saja ada lautan api dari Jakarta sampai Banyuwangi, maka saya akan seberangi agar saya bisa menghadiri acara ini, menemui saudara saya, Kiai Zarkasy ini,” ungkap Ketua PBNU tiga periode tersebut.
Ada juga yang meyakininya guru spiritual tersebut adalah tokoh yang lain. Suhailik, salah seorang kawan Gus Dur asal Banyuwangi yang aktif di Forum Demokrasi, menyebut nama yang lain. Ia adalah seorang guru tarekat di Desa Sragi, Songgon, Banyuwangi. Konon, ia kerap mengantarkan Gus Dur ke sana. Setiap perjumpaannya, selalu terjadi perbincangan tertutup diantara keduanya.
Fragmen lain Gus Dur di Banyuwangi yang sangat inspiratif adalah tatkala perjumpaannya dengan KH. Moehtadi Langring, Kecamatan Giri. Kiai Moehtadi hanyalah kiai kampung yang tak banyak orang mengetahui. Hingga suatu hari sekitar tahun 1994, Gus Dur mendatanginya.
Keinginan Ketua Umum PBNU untuk sowan ke Kiai Moehtadi menggemparkan Banyuwangi. Tak ada yang menyangka seorang tokoh nasional yang fenomenal hendak bersilaturahmi dengan tokoh kampung. Bahkan, ia berkenan bermalam di rumahnya yang sederhana di pelosok desa itu. Hanya beralas tikar di lantai. Gus Dur tak mau disuruh tidur di kasur yang ada di dalam kamar.
Lantas, apa yang menjadi musabab begitu hormatnya Gus Dur kepada Kiai Moehtadi?
Usut punya usut, Kiai Moehtadi adalah putra dari Kiai Thohir bin Nawawi, Kajen, Pati. Kiai Thohir adalah santri kesayangan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur. Jika ditelusuri lebih jauh, Kiai Thohir masih memiliki hubungan nasab kepada Kiai Mutamakkin Kajen.
Profil dari Kiai Thohir hingga Kiai Mutamakkin yang masyhur kewaliannya tersebut, membuat Gus Dur begitu menghormatinya. Tak hanya pada beliau saja, namun hingga ke anak cucunya. Seperti halnya kepada Kiai Moehtadi. Sejak itulah nama Kiai Moehtadi menjadi sosok yang terpandang.
Terlepas dari laku spiritual tersebut, sosok Gus Dur tak bisa dilepaskan dari sisi politik. Ia merupakan politisi yang mengantarkannya mendirikan PKB, menjadi ketua umum, bahkan hingga terpilih sebagai presiden keempat Republik Indonesia. Galibnya politik dan para politisinya, Gus Dur pun tak terlepas dari intrik.
Dalam bentang sejarah, Banyuwangi menjadi saksi bagaimana intrik politik menimpa Gus Dur. Baik intrik di level lokal hingga nasional. Salah satu peristiwa yang cukup mencekam dari intrik politik tersebut adalah upaya pelengseran Gus Dur dari kursi presiden. Hal tersebut menyulut kemarahan warga Nahdliyin. Tak terkecuali di Banyuwangi.
Dari sekian aksi dukungan “pasukan berani mati” untuk mempertahankan Gus Dur yang dilakukan di berbagai daerah, bisa jadi apa yang dilakukan di Banyuwangi menjadi paling fenomenal.
Di bawah bendera Laskar Pembela Gus Dur, ribuan demonstran di Banyuwangi melakukan aksi blokade. Pelabuhan Ketapang dan jalur Gumitir ditutup paksa. Sontak saja, arus transportasi dari Jawa ke Bali maupun sebaliknya, tersendat.
Situasi semakin mencekam, saat para demonstran tak bisa dikendalikan oleh para stakeholder yang ada. Para pejabat maupun para kiai tak mampu meredam emosi massa yang tak rela presiden kebanggaannya dilengserkan dengan cara-cara yang tidak konstitusional dan keji tersebut.
Mendengar situasi yang semakin runyam di ujung timur Pulau Jawa itu, Presiden Gus Dur dan juga Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi menghubungi Kiai Zarkasy. Keduanya meminta tolong untuk meredakan gelombang demonstrasi yang berpotensi merugikan banyak pihak itu.
Kiai Zarkasy yang saat itu, sedang menderita sakit yang cukup kronis, memaksakan diri untuk bangkit. Ia dengan dibonceng sepeda motor, menembus dinginnya malam menemui ribuan massa yang berkumpul di Pelabuhan Ketapang. Sekitar 40 KM dari kediamannya.
Di sana, Kiai Zarkasy disambut dengan hangat oleh massa yang sebagian besar jama’ahnya tersebut. Ia berpidato singkat dan meminta para demonstran membubarkan diri. Tak dinyana, massa yang sempat tak terkendali itu, bisa dengan mudahnya membubarkan diri. Tak sampai berhenti di sana.
Kiai Zarkasy segera bertolak ke Gumitir yang berjarak kurang lebih 60 KM dari Ketapang. Kondisi sakit tak ia hiraukan. Ia kembali menemui massa dan memintanya bubar.
Peristiwa lain yang cukup membekas pada warga Nahdliyin Banyuwangi adalah insiden pelemparan gelas air mineral kepada Gus Dur. Mungkin, peristiwa ini adalah peristiwa satu-satunya di mana Gus Dur diserang fisik secara terbuka di hadapan khalayak ramai.
Saat itu, Gus Dur mengisi acara di Gedung Wanita Paramita Kencana, Banyuwangi, pada 2004. Hadir ratusan warga NU dan pendukung PKB di sana. Hingga menjelang berakhirnya sambutan, terjadi kekisruhan. Gelas air mineral dilemparkan ke Gus Dur oleh salah seorang yang turut hadir.
Peristiwa penyerangan ini, tak bisa dilepaskan dengan intrik politik di Banyuwangi pada masa itu. Di kalangan elit PKB Banyuwangi sedang terjadi rivalitas yang menegangkan antara Achmad Wahyudi selaku Ketua DPRD dan Samsul Hadi sebagai Bupati. Keduanya, sama-sama kader PKB.
Perseteruan tersebut, berawal di Muscab PKB pada Desember 2001. Saat itu, Wahyudi berhasil terpilih sebagai Ketua Tanfidz DPC PKB Banyuwangi mengalahkan Samsul Hadi.
Akan tetapi, hasil tersebut ditengarai penuh manipulasi oleh pihak yang kalah. Berbagai cara pun dilakukan untuk melengserkan Wahyudi dari tampuk kepemimpinan PKB.
Perseteruan tersebut terus meruncing hingga terjadinya peristiwa pelemparan tersebut. Di ujung sambutannya, Gus Dur mengumumkan pemecatan Wahyudi sebagai Ketua Tanfidz DPC PKB Banyuwangi.
Sontak pendukung Wahyudi marah dan melempar Gus Dur dengan gelas air mineral.
Menurut kubu Wahyudi, pelemparan tersebut sebenarnya tak ditujukan kepada Gus Dur.
Namun, kepada seseorang yang berada di belakangnya dan membisiki Gus Dur untuk mengumumkan pemecatan tersebut. Orang yang dimaksud adalah Samsul Hadi. Akan tetapi, dalam buku “Politik Santet: dari Genjer-Genjer sampai Umbul-Umbul Blambangan”, alibi tersebut dibantah oleh Samsul. Ia mengaku berada di bawah panggung saat peristiwa itu terjadi (2016: 75).
Peristiwa yang terjadi lebih dari satu dekade tersebut, masih membekas dalam banyak ingatan orang yang hadir. Bahkan, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang mengisi acara di Gedung Wanita, masih mengingat hal tersebut. Saat itu, ia turut mendampingi Gus Dur sebagai ketua Gemasaba.