Kiai Abdul Wahid Hasyim atau ayah dari Gus Dur, adalah bapak haji modern di Indonesia. Ia orang yang pertama kali menyusun sistem pemberangkatan haji secara resmi yang ditangani oleh Pemerintah Indonesia sejak menyatakan diri merdeka.
Wahid Hasyim melakukan pembaruan perjalanan haji atas pasitasnya sebagai menteri agama. Ia menjali tugas sebagai menteri agama dari Desember 1949 hingga wafatnya, tanggal 3 April 1953.
Beliau hampir mengubah secara total pengelolaan haji, dari sebelumnya dikelola swasta dan pemerintah kolonial yang cenderung aniaya terhadap praktik ibadah haji ke pengelolaan yang ditangai pemerintahan yang baru saja merdeka.
(Baca Sejarah Singkat Transportasi Laut Jemaah Haji Nusantara)
Kondisi jemaah haji dari Indonesia, menurut Wahid Hasyim, sungguh sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan jemaah haji dari negara lainnya. Haji sebagai ajang “konferensi” umat Islam di seluruh dunia, tak menjadikan Indonesia sebagai suatu negara muslim yang diperhitungkan. Hal ini dikarenakan orang Indonesia yang menunaikan haji, bukanlah kalangan terdidik yang mampu menjadi duta bangsa dengan baik.
“Maka tidaklah mengherankan, apabila keadaan calon-calon haji itu tidaklah menarik perhatian orang: pakaiannya serba sederhana, percakapannya dangkal (cetek: oppervlakkig) dan yang terutama sekali sikap badannya (houding-nya) terlampau tawaduk dan merendahkan diri kepada orang lain. Ini menimbulkan anggapan bahwa mereka (calon-calon haji Indonesia) itu adalah minderwaardig (merasa dirinya kurang dari orang lain),” tulis Wahid Hasyim dalam artikelnya ‘Perbaikan Perjalanan Haji’ yang dimuat di Mimbar Agama Tahun I No. 2, 17 Agustus 1951.
Tak ayal dari kondisi jemaah haji Indonesia yang demikian, kurang terdidik dan minim pengetahuan, sering kali terjadi kejadian-kejadian lucu atau lebih tepatnya miris. Kiai Wahid dalam tulisan yang sama, merekam beberapa kejadian tersebut.
Sebelum berkecamuk Perang Dunia II, Kiai Wahid menunaikan ibadah haji. Ia menemukan kejadian yang sangat lucu. Ada seorang jemaah haji yang tak berkenan untuk menuju ke Padang Arofah. Padahal, berkumpul di Padang Arofah adalah salah satu rukun haji. Ia bersikukuh tetap tinggal di Makkah.
Tahukah alasannya kenapa si jemaah haji tersebut tak mau pergi ke Arofah?
Ia menyangka Arofah adalah Eropa. Dijelaskan berulang kali, ia tetap membangkang.
Tak tahu apa alasannya hingga ia anti sekali untuk datang ke Eropa. Mungkin saja, ia tak sudi untuk menginjakkan kaki ke benua para penjajah di Nusantara itu berasal. Akhirnya pun, ibadah hajinya tak sempurna. Rugi sudah harta yang dikorbankan sedemikian besar untuk perjalanan tersebut. Belum lagi jerih payah, bahkan nyawa, yang dipertaruhkannya.
Kisah lucu (juga miris) lain yang dikenang ayahanda Gus Dur itu adalah soal Dam. Ini merupakan denda yang dikenakan kepada jemaah haji yang melalukan pelanggaran peraturan ibadah haji yang telah disyariatkan. Pembayaran Dam biasanya berupa uang dalam jumlah tertentu.
Salah seorang jemaah haji bercerita kepada sesama jemaah kalau ia baru saja membayar Dam. Di tengah bercerita tersebut, kemudian ada satu jemaah yang interupsi.
“Kok, saya tidak disuruh membayar?” kurang lebih demikian.
Si jemaah yang membayar Dam tersebut, tak bisa menjawab. Ia pun sebenarnya tak paham kenapa harus membayar Dam. Akhirnya, si teman yang tak membayar Dam itu, memohon kepada “syekh haji” agar dirinya dijadikan korban agar bisa membayar Dam.
Mungkin, ia menganggap membayar Dam adalah sedekah yang bakal membuat haji semakin mabrur dan membuat hartanya berkah sehingga akan kaya berkalilipat. Bisa jadi, bukan? Hahaha….!
Yang tak kalah lucunya adalah kisah tentang jemaah yang lupa nama syekh hajinya. Tidak seperti ibadah haji saat ini yang dari awal telah diatur sedemikian rinci mulai pemberangkatan, selama ibadah hingga kepulangan. Dulu, seorang jemaah haji harus mendaftar ke agen kemudian ke kapal haji. Setibanya di Makkah mereka pun harus mencari syekh hajinya sendiri.
Biasanya, para “calo syekh haji” telah beraksi di kapal-kapal haji. Mereka menawarkan syekh haji dengan segala “kemewahan” pelayanannya. Ketika sampai di Pelabuhan Jeddah, Arab Saudi, kapal tidak langsung bersandar. Harus dimuat oleh perahu-perahu kecil terlebih dahulu.
Dari perahu itu, lantas bersandar di pelabuhan dengan satu pintu yang hanya cukup untuk satu orang. Semua jemaah haji itu akan diperiksa satu persatu. Salah satu yang diperiksa adalah siapakah yang akan menjadi syekh hajinya. Dari nama yang pertama kali disebut itu, jamaah langsung diserahkannya. Ketika salah sebut nama, tak bisa lagi direvisi. Akhirnya, banyak jemaah yang terpisah dari rombongannya.
Ketika proses screaning syekh haji itu, ada seorang jemaah yang lupa. Ia tak ingat siapa nama syekh haji yang akan memandunya. Si jemaah itu pun asal sebut nama.
“Raja Ibnu Saud,” sebutnya sembarang.
Tak disangka, ide serampangannya menyebut nama itu berbuah kenikmatan. Ia dianggap sebagai jamaah haji yang khusus diundang raja. Ia pun mendapat kemudahan seolah tamu kerajaan. Kemana-mana ia dijemput mobil dan diinapkan di hotel. Benar-benar kesalahan yang membawa berkah.