Di ujung Timur Pulau Jawa, ada sebuah desa yang berbatasan dengan Selat Bali. Patoman nama desa tersebut. Saat tiba tanggal 10 Muharram, sejumlah warganya saling berkirim makanan. Bukan sembarang makanan. Tapi sebuah bubur atau dalam bahasa setempat disebut jenang. Bubur itu bernama Jenang Suro. Selain bubur beras, di atasnya dilengkapi dengan berbagai toping. Mulai irisan daging ayam, kacang tanah, irisan telur dadar, seledri dan bawang goreng. Komposisi bubur yang demikian merujuk pada peristiwa bersandarnya kapal Nabi Nuh di bukit Zuhdi usai mengarungi banjir besar. Peristiwa itu sendiri terjadi pada sepuluh Muharam atau dikenal dengan nama Asyuro. Orang Jawa menyebutnya Suro.
Kisah tersebut setidaknya dapat dirujuk dalam kitab Nihayatuz Zain karya dari ulama Nusantara yang bermukim di Mekkah, Syekh Nawawi Al-Bantani (w. 1897). Dalam kitab yang diajarkan luas di pesantren itu, ia menulis demikian:
“Diceritakan, pada saat perahu Nabi Nuh AS sudah berlabuh (siap dipergunakan), pada hari Asyura, beliau berkata kapada kaumnya; ‘kumpulkanlah semua perbekalan yang ada pada kalian!’. Lalu beliau menghampiri (mereka) dan berkata: “(ambillah) kacang fuul (semacam kedelai) ini sekepal, dan ‘adas (biji-bijian) ini sekepal, dan ini dengan beras, dan ini dengan gandum dan ini dengan jelai (sejenis tumbuhan yang bijinya/buahnya keras dibuat tasbih)”. Kemudian Nabi Nuh berkata: “pasaklah semua itu oleh kalian!, niscaya kalian akan senang dalam keadaan selamat”. Dari peristiwa ini maka kaum muslimin (terbiasa) memasak biji-bijian. Dan kejadian di atas merupakan praktik memasak yang pertama kali terjadi di atas muka bumi setelah kejadian topan. Dan juga peristiwa itu dijadikan (inspirasi) sebagai kebiasan setiap hari ‘asyuro.”
Jika merujuk pada sejumlah literatur, Asyura memang hari yang bersejarah. Tidak hanya bagi Nabi Nuh saja, tapi juga bagi nabi-nabi yang lain. Di antaranya adalah terselamatkannya Nabi Musa AS dari kejaran Raja Firaun bersama bala tentaranya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas diceritakan tatkala Nabi Muhammad di Madinah bertemu dengan orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari Asyuro (10 Muharam). Saat ditanya alasan berpuasa, mereka menjawab:
“Allah telah melepaskan Musa dan umatnya pada hari itu dari (musuhnya) Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Musa berpuasa pada hari itu, dalam rangka bersyukur kepada Allah.”
Mendengar jawaban demikian, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhori Nomor 1865 dan Shahih Muslim Nomor 1910, Nabi bersabda:
“Aku lebih berhak terhadap Musa dari mereka.”
Sejak saat itulah, setiap 10 Muharam Nabi Muhammad memerintahkan para sahabatnya agar berpuasa. Meskipun puasa tersebut, sunah belaka. Sebagaimana disampaikan dalam haditsnya yang lain:
“Barangsiapa yang menghendaki berpuasa Asyura, puasalah. Dan barangsiapa yang tidak suka, boleh meninggalkannya.” (HR. Bukhari, No. 1489 dan Muslim No. 1987).
Sayid Abu Bakar Ustman bin Muhammad Syatho’ ad-Dimyati asy-Syafi’i (1266 H/ 1849 – 1310/ 1892 M) dalam kitabnya, I’anatuth Thalibin Juz II, mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang peristiwa-peristiwa penting pada Asyura. Demikian redaksinya:
“…. karena sesungguhnya pada hari tersebut (Asyura) Allah Ta’ala telah menerima taubat Nabi Adam AS. dan menjadikannya bersih, mengangkat Nabi Idris ke tempat yang tinggi, mengeluarkan Nabi Nuh dari perahu, menyelamatkan Nabi Ibrahim dari kobaran api, menurunkan kitab Taurat untuk Nabi Musa, mengeluarkan Nabi Yusuf dari penjara, mengembalikan penglihatan untuk Nabi Ya’kub, menyembuhkan penyakit Nabi Ayub, mengeluarkan Nabi Yunus dari perut ikan Hiu, dibelahnya lautan untuk kaum Bani Israil, mengampuni kekhilafan Nabi Daud, memberikan kerajaan untuk Nabi Sulaiman dan mengampuni dosa dari Nabi Muhammad, atas apa yang telah dilakukannya maupun yang akhir…..”
Yang tak kalah pentingnya, peristiwa paling bersejarah pada hari Asyura adalah hijrahnya Nabi Muhammad menuju ke Madinah. Pada hari itu, Nabi Muhammad memantapkan niat untuk berhijrah. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ini, kemudian dijadikan acuan dalam sistem kalender Hijriyah yang dikenal hingga dewasa ini.
Tak hanya bersejarah, Allah SWT juga menjadikan Muharam salah satu dari empat bulan yang dimuliakannya. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya, dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS At-Taubah: 36).
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa keempat bulan yang dimuliakan tersebut adalah Muharam, Zulkaidah, Zulhijah dan Rajab. Untuk itu, pada bulan Muharam ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Di antara ibadah yang paling dianjurkan oleh Rasulullah selama bulan Muharam adalah dengan berpuasa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini:
“Seseorang datang menemui Rasulullah SAW. Ia bertanya: ‘Setelah Ramadan, puasa di bulan apa yang lebih utama?’ Nabi SAW menjawab: ‘Puasa di bulan Allah, yaitu bulan yang kalian sebut dengan Muharam.” (HR. Ibnu Majah). (*)