Haji merupakan kewajiban setiap Muslim. Siapa saja yang telah mampu—baik tenaga, hart, dan keamanan—maka wajib untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Kredo yang demikian, tentu saja menempatkan para penguasa yang Muslim masuk dalam kategori wajib untuk haji. Tak hanya mampu, tapi sangat mampu.
Akan tetapi, dalam bentang sejarah, justru para penguasa ini, memiliki tingkat “kesulitan” tersendiri untuk naik haji. Mulai era kesultanan hingga masa republik, keengganan penguasa naik haji itu terungkap nyata. Kesultanan Aceh, misalnya, meski para sultannya kerap mengirim kapal ke tanah Arab dan ke Istanbul, namun tak satu pun dari mereka yang naik haji.
Begitu juga dengan raja-raja Nusatara lainnya. Dalam catatan Ricklefs (Polarising Javanese Society; Islamic and Other Visions 1830-1930, 2006) menyebut tak ada satu pun raja dari Kesultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta yang menunaikan haji sampai pada masa kemerdekaan Indonesia.
Kesultanan Banten pun setali tiga uang. Tercatat hanya ada kerabat kerajaan yang menunaikan haji. Ia bernama Pangeran Arya Ranamanggala (w. 1626), seorang wali dari Sultan Abdul Qadir Banten sewaktu muda, dan Abdul Qahhar, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, yang naik haji pada 1674.
Hal yang cukup berbeda, terjadi pada Sultan Agung (w. 1645). Raja Mataram Islam yang berkuasa selama 32 tahun itu, dalam “Babad Nitik Sarta Cibolek” dilukiskan sebagai seorang raja yang melaksanakan Salat Jumat di Masjidil Haram, Makkah dengan menempuh perjalanan secepat kilat. Akan tetapi, meski dianugerahi kemampuan hebat (entah fiktif atau bahasa simbol), dalam babad yang disalin oleh Jean March de Grave (Initiation Rituelle et Arts Martiaux: Trois Ecoles de Kanuragan Javanais, 2001) itu, tak menyebutkan sekalipun narasi keberangkatan haji dari Sultan Agung.
Henry Chambert-Loir dalam “Naik Haji di Masa Silam” menduga keengganan para penguasa naik haji itu karena akan mengancam kekuasaannya. Perjalanan haji menuju Makkah pada masa silam memang memakan waktu yang tak sebentar. Kekosongan kekuasaan di waktu yang cukup lama, di tengah model kerajaan, memang sangat rawan. Sewaktu-waktu bisa dikudeta atau diserang kerajaan lain. Selain itu, Loir juga melihat ada alasan spiritualitas yang melatarbelakangi keengganan tersebut. Yakni, keengganan mengakui Makkah sebagai pusat spiritualitas dunia secara utuh.
Meski demikian, ada juga para penguasa yang naik haji. Mulai dari yang gagal, tulus hingga yang harus diprotes terlebih dahulu oleh banyak kalangan untuk bisa naik haji. Catatan sejarah tertua yang menyebutkan perihal penguasa naik haji datang dari Kerajaan Malaka. Seorang petualang asal Portugis, Tome Pires dalam “Suma Oriental” mengungkapkan keinginan berhaji dari seorang sultan bernama Mansur Syah.
Sultan Mansur Syah adalah penguasa Malaka yang memerintah sejak 1459 hingga 1477. Menjelang masa akhir masa hidupnya, ia hendak menunaikan ibadah haji. Persiapan besar pun dilakukan. Sebagai seorang raja yang kaya raya berupa 12 ton emas dan sejumlah permata, tentu bukan persoalan sulit jika hendak ke Makkah. Ia pun memesan kapal di Jawa dan di Pegu. Kapal tersebut, bakal digunakan untuk ke Makkah mengangkut dirinya, sebagian hartanya serta sejumlah pengiringnya.
Namun, malang tak bisa ditolak, mujur tak bisa diraih. Sultan Mansur Syah menderita penyakit yang cukup serius. Perjalanannya ke Makkah pun tertunda hingga meninggal dunia. Padahal segalanya telah dipersiapkan cukup matang. “Ia telah membelanjakan uang banyak dan mengumpulkan orang banyak untuk perjalanan tersebut,” tulis Pires.
Hal yang sama juga dialami oleh penerusnya, Sultan Alaudin Riayat Syah. Sultan yang memerintah pada 1477-1488 itu, bertekad untuk meneruskan niatan ayahnya yang tak tercapai itu. Ia mengumpulkan banyak harta untuk mewujudkannya. Namun, ketika waktunya tiba, ajal keburu menjemput.
“Ketika sedang berada di Bretam (Bintan) setelah memutuskan pergi ke Mekkah, ia hendak kembali ke Malaka untuk menyelesaikan persiapannya, tetapi dalam tujuh atau delapan hari ia meninggal akibat demam,” tulis Pires.
Cerita serupa juga dialami oleh Raja Amangkurat II dari Kesultanan Mataram Islam. Cucu Sultan Agung yang memerintah pada 1677-1703 itu, dalam “Babad Kraton” disebutkan memiliki keinginan untuk naik haji. Ia memerintahkan seorang petingginya untuk mempersiapkan kapal. Namun keinginan tersebut, dibatalkan karena ada saran dari orang kepercayaannya untuk menggagalkannya. Setelah itu, dalam laporan VOC, pada 1679 – 1680, ia dikabarkan kembali ingin ke Makkah. Bahkan, kapal telah disiapkan untuk segera menuju ke Makkah. Namun, menurut “Babad ing Sangkala”, kepergian tersebut tidak secara langsung. Ia hanya mengutus badal haji sebagai penggantinya (Ricklefs: 2006: 61).
Catatan sejarah para penguasa yang naik haji dan berhasil baru ditemukan ketika memasuki abad 19. Snouck Hurgronje dalam “Mekka in the Latter Part of the 19th Century” menyebutkan bahwa Sultan Pontianak telah menunaikan haji “beberapa tahun lalu”, yakni sekira 1880. Dengan demikian, Sultan Syarief Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie tersebut, menjadi penguasa pertama dari Nusantara yang naik haji.
Sebenarnya, jauh sebelum Sultan Syarief Yusuf Alkadrie menunaikan haji, ada sultan Aceh yang telah melakukannya. Ia adalah Sultan Alauddin Muhammad Syah yang memerintah pada 1781-1795. Akan tetapi, sebagaimana ditulis oleh Hoesain Djajadiningrat, Sultan Alauddin menunaikannya tatkala masih belum menjadi raja. Ia melaksanakannya saat masih menjadi putra mahkota.
Saat Indonesia telah merdeka dan sistem transportasi guna menunaikan ibadah haji sudah memadai dan cukup singkat, keengganan yang telah terwariskan secara turun-temurun dari pelbagai penguasa Nusantara itu, masih cukup kuat. Setidaknya, hal tersebut tampak dari presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Presiden Soekarno sebagai pemimpin yang beragama Islam, namun tak kunjung menunaikan ibadah haji, tentu menjadi ganjalan tersendiri. Bagi masyarakat Muslim Indonesia yang memiliki tradisi glorifikasi terhadap haji, ada yang kurang bagi sosok presiden yang belum haji. Desakan kepada Bung Karno untuk menunaikan haji pun berdatangan dari segenap masyarakat. Terlebih saat Indonesia telah bisa mengorganisir pelaksanaan ibadah haji secara mandiri pada 1951. Tak ada alasan lagi baginya untuk tak menggenapi rukun Islam tersebut.
Desakan kepada Bung Karno itu, salah satunya, muncul dari warga Nahdlatul Ulama Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, Madura. Warga Nahdliyin di pulau garam itu, membentuk “Panitia Pemberangkatan Naik Hadji Presiden”.
Sebagaimana yang dilansir dalam majalah bulanan ‘Berita LINO’ Nomor 5 Tahun kedua (1 Djumadil Ula 1372/ 17 Djanuari 1953), kepanitian tersebut diketuai oleh Raden H. Ahmad Saleh Walykrama.
Tugas kepanitian tersebut, adalah mendesak Bung Karno untuk segera menunaikan ibadah haji. Mereka berkirim surat ke PBNU untuk mendesak presiden. Selain itu, juga melakukan penggalangan dana sebagai konsekuensi atas desakan tersebut.
“Dalam suratnya yang dikirimkan kepada beberapa organisasi Islam, di antaranya kepada PBNU di Jakarta, panitia tersebut mengharapkan agar supaya presiden dalam masa haji tahun depan (1953) sudi kiranya mengerjakan ibadah haji dengan ketentuan, bahwa penduduk Ganding siap memikul sekadar konsekwensinya yang bertalian dengan keberangkatan itu,” demikian kutipan dalam berita LINO halaman delapan dengan penyesuaian ejaan itu.
Desakan warga Ganding itu, diteruskan oleh PBNU kepada Presiden Soekarno. Mereka berharap Bung Karno segera menentukan pendiriannya untuk menunaikan ibadah haji. Surat dari PBNU itu pun mendapat balasan dari Kabinet Presiden.
“Dalam surat jawaban yang diterima PBNU dari kabinet presiden, dinyatakan bahwa memang sudah menjadi niat yang pasti bagi Paduka Yang Mulia Presiden untuk jika diizinkan oleh Yang Maha Kuasa pergi naik haji. Kapan niat itu akan dapat dilaksanakan, pada saat ini belum dapat direncanakan karena sudah barang tentu tergantung dari pada keadaan Negara.”
Pada musim haji 1953 itu, Presiden Soekarno masih belum bisa menunaikannya. Polemik di kabinet masih menyita perhatian Bung Karno. Begitu pula pada musim haji tahun berikutnya, ia tak bisa hadir di negeri Raja Saud itu. Baru pada musim haji 1955, ia melaksanakan ibadah yang disyariatkan sejak Nabi Ibrahim itu.