Baru-baru ini, beredar penolakan dari salah satu ormas yang mengatasnamakan Islam atas pagelaran Gandrung Sewu di Banyuwangi. Acara yang bakal digelar pada 20 Oktober 2018 itu, dianggap sebagai pertunjukkan yang sarat dengan kemaksiatan. Perempuan menari dihadapan ribuan orang yang bukan mahromnya.
Mereka khawatir, hal itu akan mengundang murka Tuhan. Bencana akan ditimpakan ke Banyuwangi sebagaimana bencana-bencana lain yang terjadi di belahan Nusantara ini.
Tentu saja penolakan ini, terlalu tendensius. Teramat picik jika menyebutkan suatu kebudayaan sebagai penyebab terjadinya bencana. Ada nuansa kesombongan. Dengan menuduhkan suatu bencana adalah azab bagi kemaksiatan yang dilakukan oleh para korban, seakan menasbihkan bahwa dirinya adalah sosok yang suci karena tak mendapatkan musibah.
Apalagi jika ditinjau dalam perspektif dakwah. Pandangan hitam putih jelas tak tepat diterapkan di tengah multikulturalisme seperti Indonesia. Perlu kearifan tersendiri dalam meluruskan berbagai hal yang tak sesuai dengan syariat. Perlu waktu untuk mengubah. Berangsur-angsur. Gradual. Tak asal vonis disertai kutukan.
Bukankah pada masa Rasulullah ada teladan dalam berdakwah? Bahkan tercantum dalam Alquran. Minuman keras (khamr) yang telah mentradisi di tengah kaum Arab, tak seketika divonis haram. Namun, terlebih dahulu diimbau untuk mengurangi tingkat konsumsinya. Berselang cukup lama, ketika imbauan tersebut mulai terbiasa dilakukan, larangan meminum khamr diturunkan oleh Allah.
Lantas, tradisi yang dalam perspektif ilmu fikih bersifat ijtihady, pastaskah jika langsung dikecam haram dan dituduh menjadi musabab turunnya bencana? Jelas tak mencerminkan nilai-nilai luhur keislaman.
Tradisi di Nusantara yang banyak diwariskan dari agama Kapitayan dan Bhairawa telah lama mengalami proses islamisasi. Walisongo melakukan reformasi kultural dengan gemilang. Tak menghapus tradisi, tapi memodifikasinya. Berbagai ritusnya telah diubah. Dari pengorbanan berupa nyawa manusia diganti seekor binatang. Dari sebuah persembahan bergeser ke arah ungkapan syukur. Dari ritus pemujaan dialihkan kepada nilai-nilai luhur penjagaan keseimbangan antara hubungan manusia dengan alam dan sekitarnya. Mantra-mantra yang dirapalkan pun terselip doa-doa kepada Allah Swt dan seuntai selawat pada Baginda Muhammad.
Proses islamisasi yang “alon-alon” dan alamiah tanpa menimbulkan gejolak sebagaimana yang diterapkan Walisongo juga terjadi dalam penyikapan terhadap tari Gandrung. Bagaimana Ganrdrung dipraktikkan?
Dalam narasi-narasi awal tentang tari Gandrung, dipercaya sebagai ritus pemujaan kepada Dewi Sri. Seorang dewi yang memengaruhi tingkat kesuburan dan hasil panen dalam mitologi Jawa.
Narasi tersebut, kemudian berubah seiring perkembangan dakwah Islam di Banyuwangi. Tari Gandrung dipercaya berkembang pasca Perang Bayu pada 1771 – 1773 M.
Saat itu, banyak rakyat Kerajaan Blambangan yang melakukan puputan –perang hingga tetes darah terakhir– untuk mengusir penjajah. Hingga usai perang tersebut, penduduk Banyuwangi berkurang drastis. Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java mencatat penduduk Banyuwangi tinggal sepuluh persen. Dari 80 ribu tersisa hanya 8 ribu jiwa saja.
Sisa penduduk Banyuwangi tersebut, lantas terserak di berbagai kampung. Satu sama lain tak saling terhubung. Di tengah kondisi demikian, lantas muncullah inisiatif untuk melakukan konsolidasi dengan media kesenian. Tari gandrung adalah pilihannya. Mereka keliling mengamen. Selain mengumpulkan rezeki, juga melakukan komunikasi dengan sesama rekan dan kerabatnya. Upaya kamuflase tersebut, sukses mengelabui pasukan penjajah yang bercokol pada masa itu.
Perlu kajian lebih serius memang untuk menarik benang merah antara perubahan narasi latar belakang tari gandrung dengan proses islamisasi di Banyuwangi ini. Tapi, jika ditinjau dari perspektif agama, proses islamisasi begitu kentara. Penyembahan pada entitas selain Ilahi dialihkan pada motif lain. Selain terhindar dari kesyirikan, juga bernilai lebih edukatif. Ada unsur heroisme bela negara di dalamnya. Bahkan, saat ini, gandrung telah bertransformasi menjadi pangung kesenian semata. Panggung hiburan pada batas-batas tertentu.
Selain desakralisasi pada narasi latar belakang gandrung, proses islamisasi juga tampak pada sosok penarinya. Jika pada awal perkembangannya diperankan oleh laki-laki dan menghias diri selayaknya perempuan. Maka, lambat laun penarinya diganti dengan sosok perempuan. Gandrung lelaki terakhir adalah Marsan dari Rogojampi. Ia diketahui menari hingga 1890-an. Setelah itu, tari gandrung sepenuhnya diperankan oleh perempuan.
Selain karena faktor kaderisasi, menguatnya nilai-nilai Islam juga besar kemungkinan turut mempengaruhi migrasi pelaku tari gandrung. Dalam Islam, perbuatan menyerupai lawan jenis jelas perbuatan yang munkar. Seorang laki-laki tidak diperkenankan untuk bergaya, menghias diri atau berbuat sebagaimana umumnya perempuan. Begitu pula sebaliknya.
Hal tersebut, secara gamblang disampaikan dalam berbagai dalil. Seperti halnya hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas berikut:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [HR. Al-Bukhâri, no. 5885; Abu Dawud, no. 4097; Tirmidzi, no. 2991]
Sedangkan soal lenggak-lenggok para penari bukanlah suatu perkara yang sampai menyebabkan keharaman. Sebagaimana keputusan bahtsul masail muktamar pertama Nahdlatul Ulama pada 1926. Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian itu hukumnya boleh meskipun dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak terdapat gerak kewanita-wanitaan bagi kaum laki-laki, dan gerak ke laki-lakian bagi kaum wanita. Apabila terdapat gaya-gaya tersebut, maka hukumnya haram.
Hal ini berdasarkan pada kajian Syekh Murtadla al-Zabidi dalam kitabnya, Ithaf Sadah al-Muttaqin. Dalam Juz VI, Syekh Murtadla menjelaskan berbagai pendapat ulama tentang tarian. Ada dua pendapat yang menghukumi tentang tarian.
Pertama, dihukumi makruh. Karena tarian dihukumi makruh karena termasuk dalam laibun wa lahwun (permainan dan senda gurau) yang memang dimakruhkan karena tak ada faedahnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam al-Qaffal dan al-Rauyuni. Sedangkan pendapat kedua cenderung membolehkan (mubah). Asalkan dalam tariannya tak ada unsur tasyabuh dengan lawan jenis dan tidak ada gerakan tak senonoh serta berlebihan yang merusak kehormatan. Pendapat ini didukung oleh banyak ulama. Di antaranya al-Faurani, Imam Haramain, Ibnu al-Imad al-Suhrawandi, Imam ar-Rofi’i, Al-Ghazali dan Ibnu Abi Dam.
Dari hasil bahtsul masail tersebut, menjadi pegangan ulama Banyuwangi dalam menyikapi tari gandrung dan tari-tari lainnya. Di mana, saat itu, banyak ulama dari Banyuwangi yang ikut serta dalam forum bahtsul masail tersebut. Seperti halnya Kiai Saleh Lateng, Kiai Salim Penataban, Kiai Syamsuri Singonegaran dan lain sebagainya.
Akan tetapi, pada perkembangannya, tari gandrung melampaui dari sekadar pertunjukan. Dalam pertunjukkan tari gandrung diselingi dengan prosesi paju gandrung yang terkesan seronok. Lalu, juga disediakan minuman keras bagi para pengunjungnya. Praktik-praktik kemunkaran dari gandrung tersebut membuat keputusan sebagian ulama Banyuwangi berubah. Mereka pun mengharamkan pertunjukan yang dikenal dengan sebutan gandrung terop itu.
Seperti halnya, Kiai Saleh Lateng yang mengharamkan pertunjukkan di gelar di kampungnya, Kelurahan Lateng. Bahkan, keputusan tersebut berlaku menyeluruh pada segala jenis kesenian.
“Ojo sampek gantung gong,” demikian weluri yang diyakini oleh kalangan sepuh di Lateng. Artinya, tidak boleh menggelar pertunjukan yang ada unsur musik dan tariannya.
Lebih-lebih citra gandrung semakin memburuk pada tahun 60-an ketika terjadi tragedi kemanusiaan yang melibatkan PKI dan NU. PKI dengan Lekranya mampu mengkapitalisasi gandrung dan kesenian sejenisnya dalam propaganda politiknya. Sehingga orang-orang yang terlibat dalam gandrung identik dengan PKI pula. Otomatis juga dicap atheis sebagaimana propaganda yang berkembang masa itu dan diperkuat oleh rezim Orde Baru.
Nahdlatul Ulama yang notabane-nya menjadi aspirasi politik para kiai dan umat Islam di Banyuwangi pada masa itu, juga pasti memandang negatif gandrung pada masa itu. Tentunya, bersama kekuatan politik Islam lainnya. Seperti halnya Masyumi.
Citra gandrung sendiri baru dipulihkan pada masa kepemimpinan Bupati Samsul Hadi (2010-2015). Samsul yang berlatarbelakang Nahdliyin (NU) berhasil meyakinkan para kiai untuk kembali melihat gandrung sebagai bagian dari laku kesenian. Unsur-unsur kemunkaran dan citra negatif yang puluhan tahun melekat dan melingkar di seputar gandrung, mulai dikikis. Gandrung menjadi seni pertunjukan yang terhormat dan memukau.
Kebanggaan masyarakat Banyuwangi kepada tari gandrung sebagai ikon daerahnya juga semakin diperkuat oleh Bupati Azwar Anas (2010 – sekarang). Ia menjadikan tari gandrung sebagai tari pembuka dalam tiap-tiap acara kenegaraan. Bahkan, sejak 2014, ia menggelar Festival Gandrung Sewu yang begitu kolosal. Tidak hanya menjadi pertunjukan yang fantastis, Gandrung Sewu juga mampu merangsang anak-anak muda di Banyuwangi menekuni kesenian daerahnya dengan penuh kebanggaan.
Di era Anas ini pula, sentuhan islamisasi pada tari gandrung kembali dilakukan. Seperti halnya mengenakan kaos tipis semacam stocking bagi para penarinya untuk menutup bagian bahunya yang terbuka. Hal ini untuk mengurangi pandangan negatif yang tersisa dari sebagian pemuka agama.
Kolaborasi dengan tradisi yang bercorak islami juga kerap kali dilakukan untuk meminimalisir pandangan negatif pada gandrung. Seperti halnya memadukan dengan selawat dan hadrah.
Demikianlah gandrung bergulir sepanjang zaman. Dialektika selalu terjadi di setiap lenggok zamannya. Namun, gandrung sebagai manifestasi karsa manusia terus menerus beradaptasi dan bertahan hingga kini dan mungkin pada masa-masa selanjutnya