Lebih 100 ribu anggota Muslimat NU, pagi ini (27/1/2019), memadati Stadion Gelora Bung Karno. Perwakilan yang berasal dari seluruh Indonesia tersebut, sedang menggelar puncak peringatan hari lahir ke-73. Badan otonom Nahdlatul Ulama tersebut lahira 26 Rabiul Akhir 1365 H atau bertepatan dengan 29 Maret 1946. Dengan alasan teknis, peringatannya dimajukan.
Melihat antusiasme anggota yang begitu luar biasa, tidaklah mengherankan. Sepanjang usianya, Muslimat telah mendedikasikan dirinya pada perjuangan kaum ibu. Mereka ruh sekaligus motor penggeraknya. Di sepanjang sejarahnya itulah telah lahir sederet tokoh perempuan hebat yang memiliki komitmen perjuangan tanpa batas.
Salah satu tokoh Muslimat NU yang berjuang menembus batas tersebut adalah Asmah Syahruni. Ia adalah ketua umum Muslimat NU ketiga. Terpilih sebagai ketua selama tiga periode sejak Kongres ke-X di Semarang (1979) hingga memutuskan undur diri kala Kongres ke-XIII di Jakarta (1995).
Untuk bisa menjadi ketua umum Muslimat NU tiga periode tersebut, tak semudah membalik telapak tangan. Tak hanya perjuangan di organisasi, namun membentuk kepribadian sejak dini juga tak kalah pentingnya. Hal itulah yang dilakukan oleh Asmah Syahruni. Sejak belia, perempuan kelahiran 28 Februari 1928 di Rantau, Kalimantan Selatan itu, telah menunjukkan kegigihannya.
Asmah merupakan sedikit perempuan yang bisa merengkuh pendidikan sekolah di kampungnya. Saat itu, anak perempuan yang bersekolah dipandang sebagai sesuatu yang tabu.
Namun, hal tersebut tak menyurutkan langkahnya. Ia tetap sekolah bersama beberapa saudara perempuannya yang lain.
Keberanian Asmah menembus batas di kala masih belia ini, bisa jadi terbentuk dari lingkungan keluarganya yang paham betul pentingnya pendidikan. Dari ibunya, Imur, ada darah birokrat. Iskandar, kakek dari ibunya tersebut, merupakan seorang “pembaka”, pangkat yang setarap lurah untuk adat Banjar. Sedangkan dari bapaknya, Buhajar, kental dengan kultur santri. Muhammad, kakek dari ayahnya, merupakan seorang ulama terpandang di Kandangan, Sungai Hulu Selatan.
Sebagai seorang perempuan yang mendapat pendidikan, membuat Asmah tak tinggal diam. Ia manfaatkan ilmunya untuk mengajar sesama kaumnya yang tak dapat keistimewaan tersebut. Ilmu yang didapat dari sekolah seperti halnya baca-tulis, ia ajarkannya kembali ke teman-temannya.
Panggilan jiwanya menjadi seorang guru itu, kemudian disalurkan secara formal. Dengan Beslit Mienseibu Tjokan (Departemen Pendidikan pada masa Pendudukan Jepang), ia diangkat sebagai guru Futsu Tjo Gakko (setara SD) di Rantau I. Kemudian menjadi wakil kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III.
Selanjutnya ia terus malang melintang di dunia pendidikan. Mulai dari guru Sekolah Rakyat (SR) VI di Rantau III, SR VI Batang Kulur hingga SR VI di Ulin, Kandangan.
Karirnya sebagai guru berakhir pada 1954. Bukan karena tak mau lagi mengajar. Namun, hasratnya untuk melampaui batas yang selama ini menjadi streotype yang mengekang perempuan kembali bergejolak. Saat itu, Asmah dipercaya sebagai Ketua Wilayah Muslimat NU Kalimantan Selatan. Hal ini mengharuskannya untuk hadir pada Muktamar NU di Surabaya yang juga dilaksanakan bersamaan dengan Kongres Muslimat NU.
Acara Kongres Muslimat NU tersebut, sangat penting untuk dihadiri. Lebih-lebih acara tersebut juga menjadi ajang konsolidasi menjelang Pemilu 1955. Sebagaimana diketahui, pemilu tersebut adalah pertama kalinya NU sebagai partai tersendiri. Akan tetapi, saat mengurus izin, ia dipersulit oleh kepala sekolahnya.
Dalam ‘Asmah Syahruni: Riwayat Singkat Srikandi Muslimat NU’ yang dimuat dalam buku “Membuka Ingatan: Memoar Tokoh NU yang Terlupakan (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2017: 28-9), ia mendobrak halangan tersebut. Setelah tak diberi izin kepala sekolah, ia memohon ke penilik sekolah. Namun, lagi-lagi Asmah menemui jalan buntu. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti menjadi guru.
Namun, keputusan yang dilematis tersebut, bukan tanpa halangan. Menurut ketentuan, guru yang ingin berhenti harus mendapatkan izin dari bupati. Tentu saja aturan ini, cukup menyulitkan. Namun, bukan Asmah Syahruni namanya jika harus bertekuk lutut.
Ia pun mengurusnya dengan meminta bantuan Badan Pembantu Harian (BPH) yang bernama Basuni. Ia pun bisa lolos dari jerat tersebut. Ia hadir di Kongres Muslimat NU yang diselenggarakan untuk pertama kalinya tersebut.
Keputusannya untuk mundur sebagai guru, menjadikannya leluasa mengabdi di Muslimat NU dan NU.
Sepulang kongres, ia menghabiskan waktunya untuk keliling Kalimantan Selatan mendakwahkan Islam sekaligus mengkampanyekan Partai NU. Upayanya tersebut, menghasilkan torehan gemilang. Dari enam jatah kursi DPR RI dari Kalsel, tiga di antaranya diraih NU.
Dalam pemilihan calon anggota DPR RI dan anggota Konstituante dari Partai NU Kalsel, Asmah Syahruni mengusulkan adanya perwakilan dari unsur Muslimat NU. Sontak saja, gagasan tersebut membuat heboh. Ada yang menyatakan, bagaimana mungkin seorang perempuan naik ke panggung politik. Kontroversi tersebut, akhirnya dapat diselesaikan oleh fatwa KH. Anang Zainal Ilmi.
Ulama kharismatik yang dikenal tradisional tersebut, memberi fatwa yang tak terduga. Ia membolehkan perempuan menjadi anggota dewan. Keputusan tersebut, tentu memuluskan langkah Asmah.
Namun, ditengah jalan, halangan kembali datang. Dalam pemilihan, Asmah berada diurutan ketiga setelah KH. Idham Chalid (Ketua PWNU Kalsel) dan H. Ridwan Syahrani. Baru kemudian disusul oleh Hanafiah yang kelak menjadi Menteri Pertanian pada kabinet Ali Sastroamidjojo. Setelah Idham Chalid ditunjuk sebagai anggota Konstituante, posisi tersebut bergeser ke atas. Asmah sudah seharusnya berada di peringkat kedua digeser ke peringkat ketiga. Diganti oleh Hanafiah yang seharusnya berada di bawahnya.
Hal tersebut, mendapat protes keras dari Asmah. Pengurus Wilayah NU tak kuasa menjawab protesnya. Mereka melimpahkan hal tersebut ke pusat. Asmah pun melalui Ketua Umum Muslimat NU Nyai Mahmudah Mawardi memprotes ke PBNU. Protes tersebut, dilayangkan kepada Ketua Lembaga Pemilihan Umum NU (Lapunu) KH. Zainul Arifin. Namun, protesnya tak mendapat jawaban yang memuaskan.
Singkat cerita, Asmah tetap masuk sebagai anggota DPR RI. Ia menunjukkan prestasi yang menonjol. Ia tampil sebagai anggota dewan yang progresif dalam memperjuangkan hak-hak kaumnya. Begitu pula saat menjadi Ketua Umum Muslimat NU.
Ia mampu membawa gerbong besar perempuan Nahdliyin tersebut, berdikari. Melahirkan banyak program maslahat yang bisa dirasakan manfaatnya hingga kini. Mulai dari lembaga pendidikan, klinik kesehatan, koperasi hingga balai latihan kerja. Meski pada awalnya sempat ditolak karena tak memiliki darah biru dalam historitas para pendiri NU.
Tentu saja, prestasinya tersebut berakar dari sikap kukuhnya dalam menembus batas. Takdirnya terlahir sebagai perempuan bukan penghalang. Kesetaraan hak tak hanya dituntut, tapi harus diperjuangkan.
“Jangan meminta jatah atau keistimewaan karena kondrat perempuan kita. Tapi, kita harus menuntutnya jika memang layak untuk kita. Jadi, ada perjuangan. Kalau perlu, kita rebut posisi itu dengan argumentasi yang tepat. Itu namanya berjuang. Jangan sekali-kali berharap diberi. Tak bakalan wanita akan diberi hak-hak yang lebih tinggi oleh kaum pria,” demikian semboyannya.