Sedang Membaca
Bagaimana Menggapai Masa Depan dengan Agama
Ayid Suyitno PS
Penulis Kolom

Penyair, Lulusan IKIP Jakarta 1983, Mantan Guru dan Wartawan.

Bagaimana Menggapai Masa Depan dengan Agama

DUA orang anak menemukan sebuah dompet berisi uang puluhan ribu dan kartu-kartu identitas. Dalam senang dan rasa terkejut, mereka berdebat panjang ala anak-anak, barang-barang itu mau diapakan? Yang satu ngotot, agar diam-diam saja, uangnya dibagi dua. Tetapi, yang satu lagi bersikeras agar semuanya dikembalikan. Waktu terus berjalan, mereka tetap pada pendapat masing-masing. Karena sama keras dan sama kukuh, akhirnya mereka berkelahi. Pada saat perkelahian tengah seru-serunya datanglah guru mereka, melerai.

Tanpa bermaksud membela satu dan menyalahkan lainnya, tetapi demi kebenaran, sang guru membetulkan sikap si anak yang berniat mengembalikan dompet. Karena ini sesuai dengan ajaran agama, yang tidak boleh memiliki barang orang lain tanpa sepengetahuan dan seizing orang yang bersangkutan.

Kemudian, timbul pertanyaan, mengapa kedua anak itu bisa berbeda pendapat? Ternyata, karena latar belakang hidup dan kehidupan yang berlainan. Yang satu, kurang lekat dengan pendidikan agamanya, yang lain justru kesehariannya begitu kental dengan agama.

Dalam keluarga si anak jujur ini, agama memegang peranan penting. Gemblengan orangtuanya dengan dasar keimanan membuatnya menjadi lain dari umumnya anak-anak ini. Ia mampu bersikap sebagaimana yang telah disyariatkan ajaran agama. Meski masih dalam taraf sederhana.

Seiring dengan perjalanan usianya, umumnya anak-anak yang digembleng dengan baik tetap punya dasar pijakan yang pasti. Dalam menuju tujuan hidup, meski banyak guncangan yang sering terjadi, anak yang alim itu justru diolok-olok. Jika dia tidak mau minum-minuman keras, rajin salat pas waktunya, bertingkah laku lurus, dianggap orang aneh seperti halnya makhluk asing yang dating dari angkasa luar, layaknya ketinggalan zaman. Padahal, seharusnya diberi acungan jempol. Karena di tengah era modernisasi dan globalisasi yang sedemikian pesat, ia mampu menjalankan fitrah kemanusiaannya secara baik dan benar.

Kelangkaan ini, memang tidak datang dengan sendirinya, tetapi lewat pengetahuan, pengalaman, dan penghayatan yang mendalam. Hal ini pun tak berjalan begitu saja, tetapi melalui proses yang berlangsung lama, penuh lika-liku, banyak tantangan, yang ketidakmulusannya membuat kita menjadi dewasa dan matang.

Abdullah Nashih Ulwan, ahli pendidikan, menyebutnya dengan pendidikan iman. Dalam bukunya “Pendidikan Anak Menurut Islam” beliau menulis, “yang dimaksud dengan pendidikan iman ialah mengikat anak dengan dasar-dasar iman dengan membiasakannya melaksanakan rukun-rukun Islam dan mengajarinya sejak mumayyiz dasar-dasar syariat Islam yang agung.”

Baca juga:  Masa Lalu: Biografi dan Makanan

Ajaran ini terus berlanjut sampai ia remaja, sebagaimana Ulwan mengutip sebuah syair, “Generasi muda kita akan tumbuh berkembang sesuai dengan apa yang dibiasakan oleh kedua orangtuanya. Mereka tidak hidup dengan akal, tetapi dengan keberagamaannya. Maka, dekatkanlah mereka kepada agama.”

Dari kupasan tersebut dapatlah kita ketahui bahwa seorang anak bila tumbuh di rumah tangga yang menyimpang, belajar di lingkungan yang menyesatkan, dan bergaul dengan masyarakat yang rusak, kemungkinan besar ia akan menetek susu yang rusak, terdidik dengan akhlak yang bejat, dan tercekoki sendi-sendi kekufuran dan kesesatan. Semua ini mengakibatkan penderitaan, kekufuran, dan kekafiran. Jika demikian, kita akan sulit mengembalikannya ke jalan yang benar.

Pendapat seperti di atas memang benar karena bayi dilahirkan putih seperti kertas. Kita yang melukiskan kehidupan mereka nanti. Warna cat yang tertuang dalam kanvas adalah jiwa dari anak-anak. Bagaimana menuangkan warna indah dan bernuansa, hingga menghasilkan lukisan baik dan bermutu, jelas bukan perkara mudah. Itulah sebabnya pendidikan dasar agama wajib diberikan kepada anak-anak sejak masih dalam kandungan.

Di masa bayi, merupakan sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan Hakim dean Ibnu Abbas r.a. yakni, “Mulailah (mendidik) bayi-bayi kalian dengan kalimat la ilaha ilallah.” Termasuk sunahnya mengadzani telinga kanan anak mengiqamati telinga kirinya. Hal ini dimaksudkan agar berpengaruh dalam mengikatkan anak pada dasar akidah, fondasi tauhid dan iman.

Di masa prasekolah, ketika anak bisa berbicara, ia harus sudah bisa menyebut nama Allah. Selain itu, anak harus diajari mengaji. Karena sebelum sekolah pun mereka sudah bisa menerima meski huruf latin belum bisa membaca. Tetapi, untuk agama lebih cepat, karena agami itu punya tuntunan. Umur sekian harus sembahyang, sementara pengetahuan umum tidak ada tuntunan.

Di samping kita memberikan pelajaran di rumah, kita juga bisa mengirimkan mereka ke madrasah, pengajian, atau TPA (Taman Pendidikan al Qur’an). Karena bukan dalam kehidupan duniawi saja kita perlu bersosialisasi, tetap juga dalam kehidupan beragama. Itu sudah dicontohkan, umpamanya dalam salat berjamaah. Yang maksudnya agar setiap umat Islam bersosialisasi satu dengan yang lainnya.

Baca juga:  Kemampuan Dasar yang Harus Dimiliki Santri

Dalam setiap gerakan hidup kita sehari-hari, memang harus memasukkan unsur agama di dalamnya. Kalau kita minimal sehari semalam lima kali berikrar bahwa salat ibadah mati dan hidup kita hanya untuk Allah. Terhadap anak-anak juga begitu, setiap tingkah laku mereka kita coba hubungkan dengan masalah keagamaan. Hidup bagaimana yang Allah mau? Kita yang beragama Islam sudah punya aturan hidup yang baik itu seperti apa. Walaupun dalam pendidikan umum juga dapat, tetapi kalau kita bisa lebih memberi makna pada jiwa mereka akan arti hidup itu sendiri, efeknya bagi anak akan lebih baik.

Anak perlu dimasukkan ke madrasah, pengajian, atau TPA karena di rumah itu belumlah cukup hasilnya. Jadi, apa yang mereka dapatkan di luar bisa membantu meringankan tugas orangtua di rumah. Selain itu, bisa menahan gejolak mereka. Jadi, di samping diberi tahu hokum-hukumnya, juga diberi tahu bagaimana memecahkan masalahnya sendiri. Karena dalam agama Islam ada akidah, ada syariah, keimanan, dan lain sebagainya. Lewat ini segala permasalahan tinggal didiskusikan. Sampai ditemukan jalan keluarnya.

Anak dimasukkan ke tempat-tempat tersebut pun sebenarnya sudah cukup. Yang penting, harus rutin, sehingga ia selalu ingat kepadaNya. Tidak ada istilah berhenti, tidak ada istilah bosan, meskipun kita telah khatam Qur’an. Tetapi, harus mendalami dan menggali maknanya, pengetahuannya, hingga kita tidak terjebak. Belajar ilmu agama itu tidak ada istilah selesai yang namanya kiai saja masih terus belajar.

Untuk itu, orangtua memang harus menjadi contoh. Kalau tidak bisa meneladaninya secara benar, pasti muncul hambatan-hambatan. Misalnya, kita telat salah, mereka protes. Selain itu, komunikasi yang Islami akan sangat menguntungkan apabila dilaksanakan dengan ajakan. Dengan mengajak makan dan salat bersama, melibatkan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan sosial. Jadi, ada baiknya kalau anak suka dibawa-bawa sejak kecil. Termasuk di bulan puasa dan mengadakan taraweh bersama.

Baca juga:  Saran Abraham Maslow untuk Pemerintah dalam Penerapan PPKM Darurat

Pada akhirnya orangtua lah yang paling memegang peranan penting, kunci keberhasilan dari penanaman dasar pendidikan agama ini. Jangan sampai terjadi, anak dipaksa salat, sedangkan orangtuanya tidak melaksanakan. Sudah begitu, setiap hari pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Jelas hal seperti ini mengakibatkan usaha itu akan sia-sia.

Peran aktif orangtua, memang sangat perlu karena anak-anak tidak bisa mencari sendiri. Misalnya tatkala menonton televise sudah seharusnya jika didampingi, supaya hal-hal buruk yang sengaja atau tidak sengaja mereka terima bisa ditangkal dengan ajaran-jaran agama.

Sesibuk apapun orangtua memang harus memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Kalau memang benar tidak punya waktu yang cukup, kita bisa memanggil guru atau ulama untuk mengajari mereka.

Demikianlah, seperti yang ditulis Prof. Dr. Zakiah Daradjat dalam bukunya “Kesehatan Mental” bahwa “pendidikan agama pada masa kanak-kanak seharusnya dilakukan oleh orangtua, yaitu dengan jalan membiasakan tingkah laku dan akhlak yang diajarkan oleh agama. Dalam menumbuhkan kebiasaan berakhlak baik seperti kejujuran, adil, dan sebagainya. Orangtua harus memberikan contoh karena si anak dalam umur ini belum dapat mengerti, perlakuan adil dan dibiasakan pula berbuat adil, maka akan tertanamlah rasa keadilan itu dalam jiwanya.

Demikian pula dengan nilai-nilai agama dan kaidah-kaidah sosial yang lain, sedikit demi sedikit harus masuk dalam pembinaan mental si anak. Apabila pendidikan agama itu tidak diberikan kepada si anak sejak ia kecil, maka akan sukarlah baginya untuk menerimanya nanti kalau ia sudah dewasa karena dalam kepribadiannya yang terbentuk sejak kecil itu, tidak terdapat unsure-unsur agama.” (halaman 128).

Ini tidak berarti kalau masa kecilnya telah diberikan pendidikan agama secara baik akan menjadi lurus untuk seterusnya. Tidak, tidak demikian ceritanya. Karena pendidikan selanjutnya memang diperlukan. Sesuai dengan tuntunan Islam, “tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat.” Demikian seharusnya!

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top