Sedang Membaca
Pelecehan Seksual pada Anak merupakan Pelanggaran HAM Berat
Anggit Wasesa Praja
Penulis Kolom

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UMM Malang Malang. Instagram : @anggit_wasesa

Pelecehan Seksual pada Anak merupakan Pelanggaran HAM Berat

Images

Pelecehan seksual pada anak di bawah umur sudah menjadi ancaman serius akhir-akhir ini. Melonjaknya pelecehan seksual di Indonesia membuat semua orang harus waspada karena pelecehan seksual adalah tindakan lisan, fisik atau isyarat yang membuat seseorang tersinggung, terancam dan terimidasi. Perbuatan ini merupakan bentuk intimidasi terhadap anak, dimana orang dewasa atau remaja menggunakan anak sebagai rangsangan seksual. Tindakan pelecehan seksual baik yang bersifat ringan (secara verbal) maupun yang berat (seperti perkosaan) merupakan tindakan yang merugikan individu dan melanggar hak privasi seseorang.

Pelecehan seksual (sexual harassment) merupakan bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan masalah global. Pelaku kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual bukan didominasi kepada mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah atau rendah apalagi kurang atau tidak berpendidikan sama sekali, melainkan pelakunya sudah menembus semua strata sosial dari strata terendah sampai tertinggi.

Dewasa ini beragam persoalan menimpa kehidupan anak-anak diantarnya terjadi pencabulan yang dilakukan oleh oknum ustadz (HW) di pondok pesantren di kabupaten Garut kepada 12 santriwati yang rata-rata masih berumur 13-16 tahun, pasalnya sembilan bayi telah dilahirkan korban akibat perbuatan HW.

Berita ini tidak hanya meresahkan tetapi juga mencemaskan masyarakat terutama para orang tua yang mempunyai putri-putri remaja. Dapat kita bayangkan bagaimana perasaan anak yang menjadi korban kekerasan selain mendapat kerugian materiel mereka juga mendapat kerugian Immateriel seperti goncangan emosional dan psikologis, sehingga merasa takut, minder serta lebih sering mengurung diri.

Baca juga:  Mengenal Kiai Hasan Abdul Wafi, Kiai Jawa Timur yang Dicintai Gus Dur

Begitu banyak kejahatan dan pelecehan seksual yang terjadi dan menimpa anak-anak. Mereka sangat rentan menjadi korban kejahatan (victim of crime) di bidang kesusilaan. Anak- anak sedang menjadi obyek pengebirian tidak berdaya menghadapi kebiadaban individual, kultural dan struktural yang dibenarkan. Nilai-nilai kesusilaan yang seharusnya dijaga kesuciannya sedang dinodai dan dikoyak oleh naluri kebinatangan. Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual ini tidak hanya berlangsung di lingkungan perkantoran atau di tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlawanan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga terjadi di lingkungan sekolah.

Faktor Penyebab Pelecehan Seksual

Fenomena pelecehan seksual ibarat angin, sesuatu yang ada dan nyata, dapat dirasakan namun sulit untuk mengetahui bentuknya karena pemahaman setiap orang terhadap tindakan tersebut berbeda-beda. Pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Kekuasaan dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, “kekuasaan” jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang lebih banyak, dsb.  Ada juga faktor yang mendorong terjadinya pelecehan seksual oleh anak yaitu karena pengaruh lingkungan yang tidak baik, bacaan-bacaan yang berbau porno, gambar-gambar porno, film dan VCD yang beredar di masyarakat.

Tidak hanya di dunia nyata, pada era kecanggihan teknologi seperti saat ini pelaku pelecehan seksual kerap memanfaatkan sosial media sebagai sarana untuk menjalankan aksi bejatnya. Pelecehan seksual di sosial media dapat kita jumpai berupa komentar atau pesan pribadi yang berisi konten tidak senonoh. Bentuk pelecehan seksual ini dikenal dengan istilah sexting.

Judith Davidson dalam bukunya “Sexting Gender and Teens” (2014), menjelaskan bahwa sexting merupakan aktifitas mengirim pesan atau gambar seksual secara eksplisit, atau menonjolkan materi seksual melalui produk teknologi yang terhubung jaringan internet (dalam hal ini smartphone). Pada aktifitas sexting terdapat dua bentuk pesan, yaitu pesan verbal dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang bernada seksual (kalimat menggoda, merayu, bahkan tidak senonoh). Sementara sexting dalam bentuk nonverbal diwujudkan dalam bentuk video, foto, dan gambar atau stiker yang juga bernada seksual.

Baca juga:  Ahlam Mustaghanami, di antara Cinta dan Revolusi

Pelecehan Seksual Perspektif HAM dan Syariah

Pelecehan seksual merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia. Itu sebabnya, melakukan tindak pelecehan seksual sama halnya dengan menghalangi korban menikmati hak asasi dan kebebasan. Dari sisi kehidupan berbangsa  dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,  sehingga setiap anak berhak  atas  kelangsungan  hidup,  tumbuh,  dan  berkembang. Semua perbuatan yang kontradiktif dengan hak-hak anak dikategorikan sebagai  Konvensi Tentang Hak-Hak Anak (Convention on  the Rights of the Child) yang  disahkan pada tanggal 20 November 1989 dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di dalam Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan anak tidak mengunakan istilah  “hak  asasi  anak”,  tetapi  menggunakan  hak  anak.  Namun,  penggunaan  istilah  “hak anak” yang secara tersurat menggambarkan hak asasi anak. Seperti yang terdapat dalam Pasal 1  butir  2  UUPA  dinyatakan  “Perlindungan  anak  adalah  segala  kegiatan  untuk  menjamin  dan melindungi  anak  dan  hak-haknya  agar  dapat  hidup, tumbuh,  berkembang,  dan  berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Dari   definisi   tersebut   sesungguhnya   sarat  dengan   tuntutan   hak   asasi   manusia khususnya  hak  anak. Secara  lebih  tegas    lagi    diatur    di    dalam    Pasal    1    butir    I    UUPA disebutkan  “hak  anak  adalah  bagian  dari  hak  asasi  manusia  yang  wajib  dijamin,  dilindungi, dan   dipenuhi   oleh   orang  tua,   keluarga,   masyarakat,   pemerintah,   dan   negara”.  Dengan demikian,  penggunaan  istilah  hak  asasi anak  telah diatur secara tegas  di  dalam  Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  1999  tentang  Hak  Asasi  Manusia (selanjutnya disingkat UU HAM). Sehingga pelecehan seksual pada anak merupakan pelanggaran berat terhadap HAM.

Baca juga:  Buya Syafii, Gus Mus, dan Cahaya Bangsa

Dalam agama Islam perbuatan pelecehan seksual sangat tidak terpuji. Universalitas dalam hukum Islam sudah mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia dari yang paling besar dan paling kecil. Salah satunya adalah menyangkut dengan etika, moral, dan akhlak dan interaksi atau pergaulan antar manusia, sehingga permasalahan–permasalahan yang sering timbul dari pergaulan sosial masyarakat seperti pelecehan seksual dapat dihindari dan merupakan perbuatan tercela karena agama Islam telah mengajarkan kepada setiap umat-Nya untuk saling hormat-menghormati kepada siapapun tanpa melihat posisi dan jabatan seseorang.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top