Tuhan dan manusia adalah dua entitas yang berbeda. Walaupun berbeda, namun keduanya memiliki satu kesamaan, yaitu penuh misteri. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana para mufasir maupun filosof dalam mendefinisikan manusia maupun Tuhan. Semuanya memiliki pandangan yang beragam. Wajar jika di antara mereka terjadi perdebatan ihwal definisi, nama, sifat dan bentuk dari Tuhan dan manusia.
Dari perbedaan pandangan dan definisi oleh para filosof maupun mufasir yang sangat panjang, terlebih lagi dalam menjelaskan sejarah Tuhan, maka, di sini penulis hanya menguraikan definisi singkat dari Tuhan dan manusia serta relasi antara keduanya. Dengan begitu, maka akan di dapatkan sebuah pemahaman tentang titik temu siapakah sebenarnya Tuhan itu. Begitu juga dengan manusia, bagaimana konsep dan definisi dari manusia itu sendiri.
Definisi dan Konsep Tuhan
Tuhan adalah sosok yang abstrak, gaib, dan cenderung sulit untuk didefinisikan. Hal ini sebagaimana pernyataan dari Muhammad Sharif Chaudhry dalam Concept of God In The Qur’an (2006: hal 1).
“God cannot be defined because God cannot be limited or confined within any particular framework. We have to perceive things in order to create an image of a things or make definitions of particular things. But God nature and His existence are not limited to what is familiar to us. And than, God cannot be described in human language but we can understand Him only through His attributes and His creations”.
Apabila dilihat dari segi bahasa (etimologi), Tuhan disebut dengan rabb (ربّ), yang berarti “tuan, master, atau lord”. Tuhan juga bisa diartikan dengan Ilah (إله), yang mempunyai arti dewa bagi manusia. Tuhan juga disebut dengan al-Malik, raja bagi manusia. Sementara segi istilah (terminologi), Tuhan disebut sebagai zat yang menciptakan seluruh alam raya, yang memiliki sifat rahman-rahim (kasih sayang), dan sebagai tempat memohon.
Sejak zaman kuno pra sejarah, Tuhan sudah dikenal oleh umat terdahulu. Menurut catatan Hesham A. Hassaballa dan Kabir Helminski ( 2007: hlm. 26- 27), pada zaman Neolitikum, Tuhan sudah dikenal dengan berbagai sebutan yang berbeda. Ketika masyarakat berucap atau menyebut kata ‘Tuhan’ atau ‘God’, misalnya, maka konotasi-nya akan mengarah kepada meminta atau memohon. Sebab Tuhan sendiri adalah zat yang dimintai atau zat yang dipanggil.
Sementara menurut Frans Magnis Suseno (2006: hlm. 18), kata dan definisi Tuhan sebenarnya diambil dari alam politik. Karena di dalam bahasa agama, Tuhan disebut dengan banyak nama, seperti: “Lord, Heer, Gusti, Gospodi, Allah, God, Gott, Theos, dan Bog”. Lanjut Frans Magnis, bahwa kata-kata tersebut merupakan hasil rekonstruksi manusia dalam memahami Tuhan agar manusia dapat menjangkau-Nya. Sementara politisasi nama Tuhan tersebut pada dasarnya telah digunakan oleh agama-agama Abrahimik.
Melihat sejarah-nya, agama Abrahimik atau yang dikenal dengan Abrahimic religions sendiri keberadaannya tidak bisa lepas dari bahasa Ibrani. Di dalam bahasa Ibrani, nama Tuhan ‘Allah’ misalnya, telah direkonstruksi dalam banyak bentuk. Diantaranya adalah ‘Elohim’ (yang berbentuk jamak). Sedangkan bentuk tunggalnya adalah ‘El’ atau ‘Eloah’.
Terlepas dari hal tersebut, dengan adanya bentuk, nama, serta definisi tentang sosok Tuhan oleh umat terdahulu, maka semakin menegaskan bahwa Tuhan di mata manusia keberadaannya diakui di alam raya ini. Oleh sebab itu, sejarah Tuhan semakin menarik untuk dikaji. Mengingat dewasa ini penyebutan ‘Allah’ yang dikonotasikan kepada Tuhan, terjadi polemik di wilayah tertentu. Padahal, di dalam sejarah-nya, tidak hanya orang Islam saja yang menggunakan kata Allah sebagai representasi untuk menyebut Tuhan, akan tetapi orang-orang Yahudi dan Kristen juga menggunakan kata yang sama, Allah, untuk menunjukkan Tuhan dalam kitab Injil dan Taurat mereka.
Dari sini penulis ingin menekankan bahwa di dalam konsep Tuhan tidak ada kesepakatan bersama kecuali diakui sebagai pemilik dan penguasa alam raya (rabb al-‘alamin). Karena pada kenyataannya masing-masing kelompok maupun keyakinan (agama) telah memiliki cara pandang tersendiri di dalam melihat dan menggambarkan sosok Tuhan.
Seperti pernyataan Etienne Gilson (2004: hlm. 15), bahwa manusia melakukan pengenalan kepada Tuhan tergantung dari cara pendekatan keilmuan-nya. Misalnya dalam tradisi ilmu kalam (teologi Islam), Tuhan lebih diposisikan sebagai Sang Pencipta (khaliq), sementara semua realitas yang lain disebut ciptaan-Nya (makhluq). Sementara di dalam tradisi ilmu fikih, Tuhan dihayati sebagai Sang Hakim, sehingga relasi yang ada antara Tuhan dan manusia adalah relasi perintah, larangan, dan hukuman. Lain lagi dalam tradisi tasawuf, yang lebih mendekati Tuhan sebagai Sang Kekasih, dengan mahabbah (cinta).
Sementara di kalangan filosof dan tradisi filsafat, Tuhan diistilahkan seperti Being Qua Being, The Absolut Being, Supreme, Intellect. Yang mempunyai arti kebenaran tertinggi (truth), zat yang wajib wujud-Nya, sumber segala wujud, dan lain-lain. Di antara semua istilah tersebut digunakan oleh manusia di dalam mengenal serta memahami hakikat ketuhanan. Pada pembahasan ini, konsep, definisi dan cara pandang tentang Tuhan bisa disimpulkan bahwa Tuhan adalah sosok yang transenden, gaib, absolut, dan memiliki kekuatan besar.
Namun dengan keberadaannya yang tidak kasat mata itu masih saja orang-orang dewasa ini yang tidak mempercayainya. Apakah dengan keberadaan bumi dan diisinya tidak cukup untuk membuktikan bahwa segala sesuatu ada yang menciptakannya? Wallahhu a’lam.