“Allah swt tidak mencabut ilmu secara langsung dari dada manusia, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga tidak ada alim yang tersisa, dan akhirnya manusia berkiblat kepada orang-orang jahil, yang jika dimintakan fatwa maka mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu, sehingga mereka sesat lalu menyesatkan.” (Muttafaq Alaih)
KH. Ahmad Basyir yang saya kenal, beliau adalah sosok yang selalu dimintai ijazah oleh santri-santri yang pingin tirakat. Dalail khairat, Dalail Qur’an, Manaqib, Padang ati, dan lain-lain.
Ketika di pesantren dulu, banyak teman santri yang njujug, sowan ke rumah beliau di Bareng Kudus Jawa Tengah, untuk bisa mendapatkan ijazah.
“Mbah yai, kulo kaleh rencang-rencang bade nyuwun ijazah siyam dalail?”ujar seorang santri
“Lha awakmu wes entuk ijin soko wong tuo durung gus?”tanya beliau
Begitu kurang lebih ketika saya mendapatkan cerita dari teman-teman. Jadi, ijazah yang beliau berikan itu tidak kok—istilah orang njawab; nyah-nyoh-nyanyoh, asal-asalan—tetapi ada hal yang sakral yang harus diperhatikan, yakni; mendapatkan restu dari orang tua. Karena itu penting.
Tidak jarang para santri yang datang minta ijazah namun tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Entah kenapa, terkadang memang tidak diberi alasan yang detail.
Kalau dalam bahasa orang pesantren, bashiroh beliau memang sudah dibuka. Jadi kira-kira orang ini jika diberi ijazah bisa mengamalkan atau tidak. Kira-kira orang ini kalau sudah diberi ijazah malah malas belajar atau tambah rajin. Dan lain-lain. Mengingat, menuntut ilmu atau belajar itu adalah wajib, dan berpuasa itu sunnah. Meninggalkan suatu kewajiban karena sunnah, adalah dilarang.
Sangat wajar kalau pas lebaran, sewaktu sowan ke rumah KH. Ahmadi Abdul Fatah, Bu Nyai Muthi’ bercerita perihal ada salah satu santrinya berpuasa, namun tidak mendapatkan ijin dari orang tuanya. Anak tersebut tetap ngeyel, susah dinasehati. Sehingga sewaktu di sekolah, di dalam kelas, bukannya belajar, tetapi malah tidur-tiduran. Dan puncaknya ketika santri yang tirakat itu sakit.
Akhirnya, Bu nyai pun bertindak. Terjadilah percakapan. “Nang cah bagus.. siyam niku hukume nopo?”tanya bu nyai.
Sunnah bu..”jawab santri yang berpuasa tadi.
Terus sinau, tholabul ilmi niku hukume nopo? “tanya Bu nyai lagi.
“nggih wajib…”jawab santri.
Terus tho’at kaleh tiyang sepuh?”tanya Bu nyai lagi.
“..nggih wajib..”jawab santri.
“yowes.. iki ono jajan ndang dimaem.. awakmu sik gering ngono..”tutur Bu nyai kepada santrinya itu.
Dari percakapan yang saya tangkap tersebut, sangat wajar kalau Mbah Basyir sewaktu memberikan ijazah kepada santrinya tersebut tidak asal-asalan. Harus ada restu dulu yang lebih utama, yakni dari orang tua.
Makna Ijazah
Ijazah, bahasa kerennya adalah transfer of knowledge. Seseorang yang sudah mendapatkan ijazah, berarti sudah mendapatkan ijin dari si pemberi (sang maser/guru spritual). Ia sudah bisa mengamalkan lelaku. Karena apa, telah banyak sekeliling kita, bila ada seseorang yang sedang bertirakat, akan tetapi tidak jelas, gurunya siapa, bisa lelakon seperti itu ijazahnya dari mana, maka, dikhawatirkan akan menjadi orang ‘gila’. Karena tak lain, gurunya adalah syetan. Perbincangan masalah ijazah ini sangat lebar sekali.
Yang jelas, di dalam agama Islam, yang namanya ijazah sangatlah penting. Kenapa penting, karena di sana ada sanad (jalur transmisi). Di dalam ilmu hadits, sanad merupakan mata rantai yang berkesinambungan sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
Berbeda ijazah kalau di dalam perspektif dunia akademis, yang hanya diidentikan dengan ‘ngelamar kerja’ dan hal-hal yang bersifat duniawi.
Motto Mbah Basyir
Mbah Basyir, begitu kebanyakan orang memanggilnya, adalah sosok yang memiliki motto “Njiret Weteng, Nyengkal Mata“, yang berarti “Sengsara itu berani lapar, berani bangun tengah malam. Dalam artian untuk belajar” Masa muda bersusah payah, maka saat tua akan menemukan kesuksesan.
Berpuasa dan bangun tengah malam (tahajud), adalah tirakat yang memang ditekankan oleh Mbah Basyir kepada santri-santrinya. Seperti halnya berpuasa, bahkan, sampai sekarang pun masih saya temui, santrinya Mbah Basyir yang tiap hari selalu berpuasa (dalail). Orang ini, hemat saya, memang tahan banting dan jiwa sosialnya tinggi. Siapapun yang minta tolong, kalau dia mampu, pasti dibantu. Kelihatannya tidak kerja, tetapi uangnya banyak. Dia bisa beli ini dan itu, tidak tahu, mungkin dibantalnya nyumber uang. Wallahhua’lam.
Lalu, saya pun berfikir, kenapa ya kok harus dengan berpuasa? eh ternyata, orang yang berpuasa itu secara kejiwaan mampu mendorong manusia berkarakter ketuhanan rabbani, dan hal ini digambarkan oleh Imam Hasan al-Bashri, sosok yang bekarakter ketuhanan, “ia teguh dalam berprinsip. Teguh tapi bijaksana, Tekun dalam menuntut ilmu, semakin berilmu semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijaksana. Tampak wibawanya didepan umum, dan selalu menonjolkan sikap qana’ah. (Ahmad Syarifuddin: 2003).
Apalagi jika ditambahi dengan tahajjud. Banyak sekali buku-buku yang menjelaskan faedah, manfaat, dan hikmah dari sholat sepertiga malam ini.
Yang jelas, motto yang disampaikan oleh Mbah Basyir, “Njiret Weteng, Nyengkal Mata“, yang sudah diijazahkan kepada santri-santrinya, yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara itu—sehingga, harapan besar saya—akan muncul generasi-generasi unggul yang bisa membangun Indonesia ke depan menjadi lebih baik, lebih berakhlakul karimah, dan itulah tak lain dari harapan Mbah Basyir. Semoga beliau mendapatkan kemuliaan dihadapan Allah Swt., dan selalu masih membimbing dan mendo’akan santri-santrinya dari alam yang berbeda. Lahul Fatihah.