Banyak cerita-cerita hikmah dan keteladanan yang saya dapat sewaktu di pesantren. Cerita tersebut pun relevan jika kita bicarakan ulang, serta kita petik hikmah-hikmah yang ada di dalamnya. Salah satu yang paling saya ingat adalah bagaimana komentar KH. M. Arwani Amin-Kudus (Mbah Arwani) ketika kecopetan. Pada waktu itu beliau sedang bepergian bersama santrinya.
Seketika itu, si santri tidak terima atas perlakuan si pencopet kepada gurunya, kemudian hendak mengejar si pencopet tadi. Tapi, apa komentar beliau kepada santri yang menemaninya itu? “gak usah, sing penting sing nyopet ora awakmu“. (Tidak usah, yang penting yang nyopet bukan kamu). Riwayat lain menyebut justru Mbah Arwani malah bersyukur, “Alhamdulillah, saya yang dicopet, bukan menjadi pencopetnya.”
***
Komentar seperti yang diucapkan Mbah Arwani kepada santrinya pernah saya dapatkan dari ayah saya ketika ada barang saya yang hilang–sewaktu awal-awal tinggal di Jogja. Adalah suatu hal yang tidak terduga ketika mendapatkan komentar seperti itu. Karena saya sudah berfikiran bermacam-macam, khawatir kena marah, was-was, dan galau.
Namun, suatu hal yang tidak terduga sebuah ungkapan yang bisa membuat hati ini terasa meleleh. Mendapatkan tetesan kehidupan di tengah terik panas kegundahan.
Ayah saya, tanpa menyalahkan saya yang teledor, tetapi disuruh sabar dan lebih berhati-hati (lagi). Ada semacam hal yang sebenarnya lebih penting untuk dijaga daripada sekedar benda materi. Ngati-ngati awak e dewe.
Tapi, apa mungkin, umpamanya begini, saya coba bertanya, misalkan Anda yang kehilangan suatu barang (bukan jatuh atau ketlingsut, tapi memang diambil orang), lalu apa yang kalian lakukan? berdoa agar barang itu dikembalikan? berdoa sembari memberikan sumpah tujuh turunan kepada orang yang ngambil agar celaka? atau biasa saja, pasrah, dengan nada datar berdoa; “ilang yowes, mengko lak ana gantine sing luweh apik“. Hilang ya biarin, nanti ada gantinya yang lebih bagus.
Dari ketiga itu, kira-kira dimana kebanyakan orang itu berada? sepertinya kita lebih suka yang kedua, berdoa supaya pengambil atau pencuri itu celaka, ditimpa sial, dan mendapatkan balasan setimpal. Nanti dulu, sebelum mendoakan sial kepada si pencuri itu, apakah kita pernah berpikir; kenapa barang kita diambil, kok bukan yang lain? ada apa dengan diri kita dan harta kita, tiba-tiba ada yang hilang? Tentu, pencuri tidak akan mencuri jika tidak ada yang mengendalikan dan menghendaki. Pelaku teror pun sama, tidak akan terjadi jika tidak ada yang nyetting dan yang menghendaki. Dan semua itu sudah ada garisnya.
Kembali ke komentar Mbah Arwani; ‘wis jarke, sing penting ora awakmu sing maling’. Misalnya kalau diteruskan dalam konteks saat ini, tentu banyak sekali kata-kata ‘sing penting’. Sing penting ora awakmu sing nyesat-nyesatke. Sing penting ora awakmu sing ngafir-ngafirke, sing penting ora awakmu sing nyinyiri lan maido kancane. sing penting ora awakmu sing gawe padu, ngrusuhi tanggane. Sing penting ora awakmu sing nlikung kancane dewe, dan silahkan diteruskan sendiri.
Dari sekian “sing penting” itu, saya mendapatkan kesimpulan dan tentunya mengambil ibrah dari kisah Mbah Arwani, karena ternyata, selama ini kita lebih sering dan suka keliling melihat orang lain, tetapi lupa menziarahi diri kita sendiri.
Era media sosial, kita disuguhkan dengan apa yang tampak dari luar, lupa melihat kedalaman. Harta, jabatan, dan prestasi. Tidak perlu silau terhadap duniawi dan kesuksesan yang disuguhkan lian, karena apa yang tampak di luar belum tentu nyata terjadi. Syukuri apa yang ada, nikmati apa yang dipunya, insya Allah kita akan bahagia.
Ayo ziarah.