Berbeda pandangan itu sunnatullah. Gusti Allah memang sengaja menciptakan keberagaman untuk kita. Sebab itu, kita diminta untuk terus belajar: belajar menghargai pendapat yang lain, belajar untuk tidak memaksakan bahwa ‘pandanganku yang paling benar, dan yang lain salah’, serta belajar untuk tidak mudah menghakimi orang lain dengan label sesat.
Hal ini juga yang dilakukan oleh dosen FISIP UIN Walisongo Semarang, Naili Ni’matul Illiyyun. Neli atau Cik Nay sapaan akrabnya.
Sudah sembilan tahun Neli menjadi pengajar di kampus UIN Walisongo Semarang. Banyak pengalaman yang menurut penulis menarik untuk direkam dan dijadikan semacam dokumen proses pembelajaran yang dialami olehnya. Apalagi Neli mengajar mata kuliah Islam dan Moderasi Beragama.
Belajar moderasi atau menjadi orang yang moderat itu tidak gampang. Misalnya, sewaktu di bangku sekolah saya mendapatkan pemahaman dari seorang guru yang menyatakan—lebih ke menghakimi—bahwa kalau salat berjamaah dengan kelompok ‘A’ itu salatnya makruh (sebaiknya dihindari), karena kelompok ‘A’ ini tidak menggunakan ijma’ dan qiyas. Ijma’ dan qiyas adalah salah satu cara (metode) untuk menetapkan suatu hukum Islam. Tetapi kalau kita yang jadi imam, tidak terkena hukum makruh.
Bagi saya ini absurd. Pertanyaannya adalah bagaimana mengetahui orang atau kelompok tersebut tidak menggunakan ijma’ dan qiyas? Apa iya kita tanya dulu sebelum salat berjamaah, eh, kamu pakai ijma’ dan qiyas tidak? Lalu debat. Akhirnya tidak jadi salat jama’ah. Malah menyusahkan bukan?
Itulah hal yang menurutku perlu dikoreksi dengan cara pandang seperti itu. Namun saya juga tetap menghormati pandangan dari guru saya itu. Mungkin ada beberapa faktor yang menjadikan beliau punya pandangan seperti itu.
Sepertihalnya dengan Neli, bagaimana pengalamannya dalam memberikan mata kuliah tentang moderasi? apakah ada yang menarik untuk diwartakan, secara mahasiswa yang diajar tentu mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
Neli bercerita bahwa pengalamannya dalam mengajar di kelas itu banyak, bermacam-macam. Karena yang dihadapi olehnya tidak semuanya lulusan pesantren, yang akrab dengan istilah-istilah keagamaan.
“Anak-anak yang kuliah di FISIP rata-rata mempunyai latar belakang pendidikan dari SMA, dan jarang banget yang pernah mondok di pesantren, sehingga mindset yang sudah terbentuk adalah menilai kelompoknya lah yang paling benar dan yang lain sesat, tidak mau berinteraksi dengan orang yang berbeda, banyak lah yang kaku,”ujar Neli.
Hal ini memang wajar terjadi. Sama seperti saya dulu, bahkan saya punya pengalaman yang agak sedikit konyol, yaitu tidak mau memakai tas kresek yang ada tulisan “selamat natal” sewaktu masih SD. Dulu pernah ibu saya belanja di supermarket atau toko yang mendapatkan kresek bertuliskan itu. Saya kecil tidak mau ada simbol-simbol agama lain terhadap segala macam benda yang saya pakai. Namun di sisi lain, saya menyukai film Kera Sakti, yang mana mengandung nilai spiritual antara Buddhisme dan Taoisme. Ya, namanya juga anak-anak. Begitu juga dengan beragama. Ada proses pendewasaannya.
Bagaimana cara Neli mengajar, terutama untuk mata kuliah moderasi? Ia menambahkan, bahwa caranya adalah pelan-pelan memberikan pemahaman kepada mahasiswanya. “Saya beri pemahaman pelan-pelan kenapa sama-sama Islam kok berbeda pandangan, ada yang tekstual, ada yang kontekstual, baru dikenalkan bahwa moderat itu yang seperti apa,”lanjut Neli.
Neli juga meminta mahasiswanya untuk melakukan sharing atau berbagi cerita pengalaman masing-masing antar individu yang pernah bersinggungan dengan orang yang berbeda agama, beda ormas, lalu bagaimana sikap yang dihadapi olehnya.
Mata kuliah yang diampu oleh Neli pada dasarnya adalah mengarahkan kepada aspek afektif atau ‘sikap’ seseorang. Harapannya nanti mahasiswa dapat memahami secara utuh tentang keberagaman.
Dengan adanya mata kuliah Islam dan Moderasi di semester satu banyak membuka wawasan para mahasiswa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Shastra, mahasiswa FISIP semester tiga, “mata kuliah moderasi beragama kan itu juga membahas tentang agama lain, seperti ibadah agama lain bagaimana, cara cara perayaan hari besarnya bagaimana secara lebih mendalam. Nah dari itu, sangat menarik perhatian saya untuk mengetahui hal tersebut, sehingga mata kuliah tersebut bisa memotivasi saya untuk lebih semangat dalam belajar, karena keingintahuan tentang hal ihwal yang dilakukan oleh agama selain Islam,”ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anni Choirunnisa, mahasiswi FISIP semester tiga, mata kuliah ini semakin membuka cara pandangnya tentang arti keberagaman. “Jadi lebih open mind, dan mengerti tentang tujuan dari agama Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Menyayangi semua makhluk, tidak hanya sesama manusia saja tetapi juga hewan dan tumbuhan. Semuanya sama dihadapan Tuhan, ”ujarnya.
Namun Neli sendiri menyadari bahwa untuk memahami Islam dan moderasi satu semester secara teori saja tidak cukup. Nantinya pada mata kuliah Sosiologi Agama—yang didapatkan di semester tiga—ia mencoba mengajak para mahasiswa berkunjung ke komunitas yang berbeda, seperti field trip ke rumah ibadah atau kampus agama lain, lalu dilanjut dengan diskusi dengan para tokoh agama lain, sehingga mahasiswa mendapatkan pengalaman konkrit dengan orang yang berbeda agama.
“Saya pernah mengajak mahasiswa kunjungan ke St. Theresia Bongsari Semarang. Memang, awalnya mereka pasti ada rasa takut, merasa tidak boleh atau haram sepengetahuan mereka selama ini, ada juga sebagian yang antusias. Kami juga tidak langsung ke tempat ibadah, tetapi diskusi dulu sama romo, dikasih wawasan tentang agamanya dan juga tanya jawab. Setelah itu baru mereka diajak keliling gereja, mereka tanya sepuasnya ke romo apa aja yang ada di sana seperti tempat pengakuan dosa, tempat kebaktian, ornamen-ornamen gereja, dan lain sebagainya,”terangnya.
Menurutnya, cara seperti ini lebih efektif untuk mengenalkan kelompok yang berbeda. Tidak hanya itu, Neli juga mengundang aktivis sosial keagamaan seperti Pelita (Persaudaraan Lintas Agama) Semarang untuk mengisi materi perkuliahan kepada mahasiswa-mahasiswanya.
Luthfi Rahman, Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Walisongo mengatakan bahwa sampai sekarang yang masih jalan dalam gerakan moderasi di lingkup UIN Walisongo di antaranya seperti KKN mahasiswa bertema moderasi beragama, penelitian dosen, pelatihan moderasi untuk para dosen ke berbagai tempat, masih berjalannya mata kuliah islam dan moderasi beragama untuk mahasiswa dan ciri khas Rencana Pembelajaran Semester di UIN yang sarat dengan nilai-nilai moderasi.
Beragama secara moderat—tidak kaku dan tidak ekstrem—harus diupayakan. Terutama di lingkungan akademik. Menjadi seorang moderat itu perlu ilmu. Sepertihalnya Neli. Ia mengajarkan ilmu kepada para mahasiswanya. Tentu ilmu saja tidak cukup. Namun butuh pengendalian emosi, keteladanan, jiwa pemaaf, dan sanggup berempati. Itulah inti dari moderasi.
Saya yakin banyak Neli-Neli yang lain di lingkungan PTKI yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan dalam beragama.
Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.