Festival Beda Setara yang telah dilaksanakan pada tanggal 10-16 November kemarin telah usai. Festival ini adalah hasil kolaborasi antara Jaringan GUSDURian dengan kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selain memperingati Hari Pahlawan dan Hari Toleransi Internasional, acara ini sekaligus juga memperingati 15 tahun wafatnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dari rangkaian acaranya saja kita sudah bisa membaca bahwa tujuan dari acara ini adalah untuk melanggengkan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur untuk Indonesia: toleran, adil, dan inklusif. Hal ini sebagaimana konsistensi dari gerakan Jaringan GUSDURian, selalu berpihak pada mustadh’afin, kelompok marginal.
Perlu diketahui dalam satu dekade terakhir, kasus intoleransi di Indonesia menunjukkan tren yang sangat kompleks, banyak terjadi kasus yang menunjukkan disharmoni antara warga bangsa.
Setidaknya ada lima hal yang menjadi catatan dalam 10 tahun terakhir, di antaranya: penolakan rumah ibadah, kekerasan dan perusakan tempat ibadah, diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan gender, politisasi hukum dan kebijakan, dan politik identitas.
Sebagai pewaris nilai, gagasan, dan keteladanan Gus Dur, Jaringan GUSDURian membuat alarm untuk membangunkan masyarakat dan juga civitas akademik bahwa Indonesia untuk kasus intoleransi masih perlu diantisipasi—meminjam istilah yang popular: Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Oleh sebab itu, pentingnya kembali memperkuat gerakan masyarakat sipil.
Kita juga tahu, di Jogja sendiri walaupun dikenal sebagai kota “city of tolerance”, nyatanya juga mengalami beberapa kasus intoleransi yang sangat menyita perhatian publik. Pembubaran diskusi, pemotongan salib di Kotagede, dan saat saya masih tinggal di Jogja pernah ada penolakan camat non-muslim di Bantul yang kemudian viral.
Jaringan GUSDURian dan UIN Sunan Kalijaga lalu dipertemukan dengan kesamaan nilai sebagaimana yang dicanangkan oleh Kementerian Agama terkait prinsip moderasi beragama (komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan keseimbangan). Dalam pembukaan Simposium Beda Setara, Noorhaidi Hasan, Rektor UIN Sunan Kalijaga, menyatakan bahwa semangat “Beda Setara” yang digagas Jaringan GUSDURian telah menjadi nilai yang lekat dengan UIN Sunan Kalijaga.
“Ketika gagasan penyelenggaraan ini disampaikan kepada saya, saya langsung menyambut baik dan mendukung 100 persen penyelenggaraan ini, karena DNA UIN Sunan Kalijaga adalah Beda Setara,” ujarnya.
Hal ini juga diamini oleh Abdur Rozaki, Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga, melihat rangkaian acara selama seminggu itu, ia menyatakan bahwa moderasi itu harus terus diperjuangkan untuk memastikan kehidupan bersama terawat dengan baik. Caranya adalah meletakkan prinsip beda setara bahwa kita semua sesama anak bangsa memiliki hak yang sama dalam konstitusi dan penghargaan keragaman yang kuat dalam tradisi agama-agama nusantara.
“Itulah urgensi dari kolaborasi antara Jaringan GUSDURian dengan UIN Sunan Kalijaga dalam satu minggu ini,”tambahnya.
Menentang Diskriminasi, Mewujudkan Moderasi
Laelatul Badriyah, seorang pelapak yang ikut meramaikan acara di sana bercerita bahwa acara Festival Best kemarin sangatlah apik. Selain menghidupkan ekonomi rakyat dan mengenalkan keberagaman, juga menjadi ruang bertemu antar kelompok dengan berbagai background entah agama, kepercayaan, bahkan profesi.
“Sebagai orang yang ngelapak di sana, acaranya keren banget. Di Pasar Bestari itu ada 30 penjual. Penjualnya pun macam-macam. Ada layanan choacing seperti aku, layanan baca tarot, layanan pijat. Ada yang fokus ke menjual makanan, bakso, cilok, makanan tradisional seperti kecombrang, ada yang fashion, jualan baju, kerudung,”kisahnya.
Selain itu ada juga aktvitas-aktivitas di tengah-tengah pasar, seperti ular tengga keberagaman, jalan tol keberagaman, dan nonton film. Menurut Ela, sapaan akrabnya, bahwa acara Festival Beda Setara ini mampu menjadi ruang belajar mengenal kelompok dan agama yang berbeda.
Marleni Adiya, selaku ketua panitia menyatakan bahwa dipilihnya UIN Sunan Kaliaga karena kampus UIN Suka adalah salah satu dari sekian kampus yang berjejaring dengan Jaringan GUSDURian.
“Ada banyak kampus negeri dan swasta yang berjejaring dengan JGD, termasuk UIN SuKa, kemudian ada UIN Walisongo Semarang, beberapa kampus di daerah membangun kerjasama untuk visi misi Tri Dharma Perguruan Tinggi,” jawabnya.
Sejauh yang saya tahu, melalui poster-poster yang diposting di kanal media instagram @jaringangusdurian, JGD telah menyelenggarakan Gus Dur Memorial Lecture di berbagai kota di Indonesia yang menyasar kampus-kampus. Seperti UIN Gus Dur di Pekalongan, UIN Kiai Achmad Siddiq di Jember, UIN Walisongo Semarang, IAIN Kediri, Sekolah Tinggi Agama Katolik di Pontianak, dan lokasi-lokasi lain yang menjangkau audiens yang beragam.
Menurut hemat saya, Festival Beda Setara kemarin bisa dikloning atau dicopy-paste di berbagai kampus, sehingga menyentuh ceruk yang lebih besar dalam mengampanyekan keberagaman. Itu keren.
Hal ini sebagaimana yang dialami Wiji Nurasih, mengomentari acara Festival Best kemarin, ia mendapatkan kesempatan momen bertemu dengan para tokoh nasional yang menyuarakan keberagaman, sekaligus momen dalam hal memberikan kesempatan bagi kaum marginal seperti kelompok penghayat untuk lebih dikenal luas dan diakui keberadaannya.
“Bagiku acara Best Fest selama seminggu itu selalu diisi hal-hal yang menarik, kreatif dan asik. Ada games sederhana tapi kita bisa belajar soal wawasan keberagaman, sharing pendapat dan lain-lain. Malam harinya juga ada pemutaran film terkait isu keberagaman serta ada penampilan-penampilan yang melibatkan komunitas-komunitas lintas iman bahkan penghayat kepercayaan,”ujarnya.
Marleni pun mengamini bahwa antusiasme mahasiswa cukup tinggi. Mereka tertarik dengan forum belajar dan beberapa permainan-permainan atau wahana yang ada di Festival Best. Kemasan kampanye moderasi dan beda setara untuk kalangan gen z memang harus dikemas dengan cara yang kreatif, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Di akhir acara, festival ini memberikan 9 rekomendasi dari hasil Simposium Beda Setara dengan tema “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) sebagai Kritik Sosial untuk Kewargaan yang Berkeadilan”, yang langsung dibacakan oleh Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian.
Sembilan rekomendasi itu menyoroti langkah-langkah strategis untuk memperkuat kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), HAM, dan inklusi sosial. Di antaranya tentang penghapusan regulasi yang diskriminatif, seperti UU No. 1/PNPS/1965 (tentang penodaan agama), UU ITE, dan UU Administrasi Kependudukan, lalu tentang moratorium regulasi diskriminatif di daerah, contohnya terkait perizinan rumah ibadah yang ditolak meskipun sudah memenuhi persyaratan administratif.
Selanjutnya, merekomendasikan kepada masyarakat sipil untuk selalu proaktif mengadvokasi penghapusan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif serta memanfaatkan peluang kebijakan seperti Perpres tentang Moderasi Beragama. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor lintas iman adalah kunci untuk mewujudkan Indonesia yang setara dan adil. Untuk lebih lengkap hasil dari Simposium Beda Setara, bisa dibaca di sini: Simposium Beda Setara 2024 Hasilkan 9 Rekomendasi.
Semoga kampus-kampus yang lain bisa membuat acara serupa, membawa semangat nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.