“Kamu masih punya utang sama saya. Kapan kamu nyauri (membayar)?” tanya Kiai Idris Kamali kepada muridnya, Kiai Tholchah Hasan saat bertemu di Makkah Mukaramah.
“Utang apa, Mbah Yai?” tanya sang murid belum paham.
“Kamu kan dulu ngaji pada saya. Saya ajarkan ilmu-ilmu yang bisa saya ajarkan kepada kamu dengan maksud agar kamu bisa mengajarkan kepada orang lain. Kapan kamu mau mengajar?”
Waktu itu Kiai Tholchah memang belum mengajar kitab. “Insyaallah lima tahun lagi, Mbah.”
“Opo saiki kerepotanmu (apa kesibukanmu sekarang)?”
Kiai Tholchah menjawab terang-terangan kepada gurunya bahwa dirinya masih sibuk usaha dagang. Ternyata tak disangka, lima tahun persis usahanya bangkrut secara bersamaan. Padahal usahanya banyak, pertanian, perternakan, dll.
Setelah kejadian itu, satu tahun kemudian Kiai Tholchah umrah. Saat itu ia sudah mulai mengajar. Kiai Tholchah pun sowan menemui Kiai Idris.
“Wis mulai nyahur? (sudah mulai membayar utang?)”
“Sampun Mbah, belajar mucal (Sudah Kiai, belajar mengajar).”
“Opo sing mbok woco? (Apa yang kamu baca?)”
“Kitab Shahih Bukhari,” jawab Kiai Tholchah.
“Opo maneh? (apa lagi?)”
“Dereng (belum).”
Lalu Kiai Idris berpesan, “Kamu harus mengajar, kalau tidak, (berarti kamu) zalim.”
Setelah itu, Kiai Tholchah mengajar banyak kitab salah satu di antara kitab-kitab yang pernah ajarkan Kiai Idris seperti Ihya’ Ulumiddin. Itikamah tiap hari Rabu malam Kamis di minggu pertama dan kedua setiap bulan. Peserta pengajian dari jauh-jauh. Kiai Tholchah ngaji pakai kitab seperti saat ia ngaji pada Kiai Idris. Ngajinya mulai setelah magrib sampai jam setengah sembilan. Itu sudah berlangsung selama 39 tahun.
Pengajian libur cuma ketika Kiai Tholchah ditarik Gus Dur ke Jakarta untuk menjadi Menteri Agama. Tapi, sekarang kembali lagi seperti dulu. Kiai Tholchah tidak pernah memberikan janji kepada peserta pengajian kapan khatamnya. Karena yang penting baginya ialah apa yang sudah mereka dapatkan.
Untuk itu, setengah jam terakhir beri peluang kepada mereka untuk menyampaikan apa yang kira-kira musykil. Karena Kiai Tholchah masih punya utang kepada Mbah Kiai Idris, kalau tidak mengajar zalim.
Pada saat pengukuhan guru besar Kiai Tholchah, di depan rapat para senat ia menyatakan, “Sisa-sisa hidup saya, saya wakafkan untuk pendidikan Islam. Biar saya terikat. Alhamdulillah setelah saya mulai mengajar, semua pendidikan yang saya rintis berkembang sampai sekarang. Baik yang ada di sini maupun di tempat lain, seperti SMA yang saya dirikan di Pasuruan. Waktu itu di Pasuruan belum ada sekolah. Saya memulai dengan selalu ingat guru-guru saya dan selalu saya bacakan al-Fatihah (kepada mereka).”
Sekolah TK, SD, SMP, MTs, SMA, MA, SMK, yang Kiai Tholchah dirikan, tiap tahunnya minimal menerima 6 kelas. Pada saat sekolah-sekolah lain sedang sepi murid, sekolahannya tetap ramai. Sekolah Sabilillah yang berstandar internasional. Hanya satu hari dibuka pendaftaran, yang mendaftar 5-6 kali jumlah yang akan diterima. Ini semua sudah berjalan selama 15-16 tahun.
UNISMA juga seperti itu, Kiai Tholchah mendirikan pada 1981, sampai sekarang tetap berkembang. Ia kira NU belum punya fakultas kedokteran kecuali di UNISMA, dan juga laris. Kiai Tholchah merasa itu bukan karena kemampuan dan kelebihannya sendiri, tapi tidak lepas dari barokah guru-gurunya.
“Saya punya banyak guru, tapi yang saya ceritakan kepada khalayak umum cuma tiga: Mbah Idris, Mbah Adlan Ali, dan Kiai Shobari Tebuireng,” ungkapnya.
Kiai Tholchah tertarik dengan beliau-beliau, selain karena alim, wara’, dan sabar, juga karena beliau punya banyak karomah.
“Kiai Shobari itu gurunya Gus Dur. Beliau-beliau itu ilmunya manfaat dan barokah. Sampai sekarang sepertinya ketika saya membaca kitab yang pernah diajarkan Mbah Idris, suara beliau masih terdengar dan saya masih ingat betul bagaimana posisi beliau ketika mengaji, apakah sedang duduk atau sambil berbaring. Sepertinya saya masih melihat beliau, karena hubungan hati begitu dekat,” kenang Kiai Tholchah.
Nama-nama tokoh besar seperti Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub juga santrinya Mbah Idris, yang bahkan mengejar Mbah Idris ke Makkah, karena ada kitab-kitab yang belum khatam. Kiai Ahmad Hamid, Kiai Ashim Madura, Kiai Muh Lamongan, juga murid Kiai Idris. Gus Dur pernah mengaji kepada Kiai Idris kitab al-Hikam, tapi tidak pernah ikut ngaji rombongan.
Sedangkan yang mengaji kitab hadits, kutub as-sittah, tafsir, tasawuf, kepada Kiai Idris cukup banyak. Tapi yang pernah mengaji kitab al-fiyyah, agak sedikit.
“Alhamdulillah ketika mengaji kepada Kiai Idris saya sudah selesai, jadi ikut al-Fiyyah. Bahkan ketika mengetes (menguji) saya, beliau membacakan salah satu bait al-fiyyah, saya masih ingat beliau mebaca; “Wa jurra bil fathati ma la yansharif, ma lam yudhaf aw yaku bakda al radif. Bait apa setelah itu?” tutur Kiai Tholchah.
Selama Kiai Idris masih sehat tetap mengaji. Tidak diliburkan sekalipun hari Jumat. Ketika ada tamu pun disuruh menunggu pengajian usai. Biasanya para tamu itu tahu jam-jam berapa beliau menerima tamu. Biasanya bakdal mafrudhah (setelah Salat lima waktu). Setelah zhuhur sampai jam dua-tiga, Kiai Idris menyempatkan diri istirahat.
Ada juga beberapa santri yang dihukum oleh beliau dengan disabet pakai alat.
”Tapi kebetulan saya tidak pernah. Karena kami-kami waktu itu kan sudah besar, jadi tidak pantas kalau dihukum,” kenang Kiai Tholchah.
***
Kisah ini kami dapat saat menjalankan amanah KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) untuk mewawancarai Prof. Dr. KH. M. Tholchah Hasan di kediaman beliau, Singosari, Malang. Hasil wawancara 54 menit tersebut lalu menjadi buku berjudul ”Tokoh Besar di Balik Layar, Biografi KH Idris Kamali”.
Kenangan singkat pada Jumat 12 Juni 2010 itu menjadi cahaya yang tidak bisa kami lupakan bersama Arif Khuzaini dan tim Pustaka Tebuireng. Begitu eratnya hubungan guru dan murid sehingga melahirkan keteladanan dan langkah nyata beliau untuk pengabdian di masyarakat, bangsa, dan agama.
Pada Rabu, 29 Mei 2019 atau 24 Ramadan 1440 H, Prof. Dr. KH. M. Tholchah Hasan itu wafat ditangisi warga Nahdhiyin dan masyarakat luas. Selamat jalan Kiai Tholchah, semoga kami yang muda-muda ini mampu meneladani dan meniru jejak langkah Panjenengan. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ’anhu. Amin