Sampai hari ini, saya masih menerima pesan siar (broadcast message) aksi peduli bencana Selat Sunda yang mencatat 437 korban meninggal dunia, 14.059 luka-luka, 16 orang dilaporkan hilang, dan 33.721 orang mengungsi. Hati ini terenyuh melihat bencana alam yang berefek luar biasa itu. Semoga keluarga korban diberi kekuatan dan ganti yang lebih baik oleh Allah SWT. Amin.
Seperti diketahui, sepanjang 2018, Indonesia dilanda beberapa musibah bencana alam mulai tanah longsor, banjir, gempa, sampai tsunami. Lokasi bencana berpindah-pindah dari Situbondo, Bali, Sumenep, Malang, Sumbawa, Lombok, Sulawesi sampai terakhir di Selat Sunda, Banten.
Tak heran jika Indonesia termasuk dalam zona Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (ring of fire) yakni daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km dan disebut juga Sabuk Gempa Pasifik.
Oman Fathurahman (2014: 10) mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memang mudah lupa. Meski berulang kali mengalami siklus gempa bumi besar, tsunami, dan letusan gunung merapi, misalnya, kita segera lupa seusai jejak bencana alam itu sirna, dan seolah nrimo saja saat hal serupa terjadi kembali, tanpa persiapan dan antisipasi yang memadai.
Andai naskah-naskah lama (terkait gempa dan bencana) tidak dihapus dari ingatan, lanjut Oman, andai pelajaran dan kearifan lokal yang disampaikan para pencerita naskah tersebut didengarkan sebagai rujukan untuk membuat kebijakan, mungkin korban gempa bumi dan tsunami Aceh tidak akan mencapai 200.000 jiwa! Dibanding dengan gempa sedahsyat Aceh dan tsunami di Sendai, Perairan Pasifik Jepang yang menelan korban jiwa “hanya” sekira 16.000 orang.
Dalam tesis berjudul Naskah-Naskah Gempa; Perspektif Orang Melayu Minangkabau Tentang Gempa Bumi (2012), Yusri Akhimuddin berhasil melakukan inventarisasi dan deskripsi 18 naskah gempa dimulai dari koleksi PNRI, Perpustakaan Universitas Leiden, Surau Pondok Ulakan, Surau Lubuk Ipuh, Surau Pakandangan, Surau Malalo, Surau Batang Kabung, Museum Negeri Aceh, Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, koleksi Bapak Rijal di Aceh, dan koleksi Bapak Elang Hilman di Cirebon.
Di antara yang teridentifikasi ialah naskah berjudul Bilangan Taqwim, Alamat Gempa; Ramalan tentang Gempa, Obat, Doa, Azimat; Kitab Ta’bir; Ramalan; Medicine and Divination (Obat-obatan dan Ramalan); Hadith; Kompilasi Teks: Perhitungan Bulan, Thaharah, dan Takwil Gempa; Ringkasan Karya Shaykh ‘Abd al- Ra‘uf; Kumpulan Teks: Doa dan Ramalan; Sejarah Ringkas Syekh Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru) Yang Membawa Agama Islam ke Koto Tangah, Pauh, Lubuk Begalung, Padang, dan Sekitarnya; Nabi Bercukur; Fartin Salam dan Takbir Gempa; Ilmu Pengetahuan Alam dan Kedokteran; dan tanpa judul.
Sebelum Yusri, Suryadi (2009) juga melakukan penelitian tentang sebuah naskah syair yang cukup unik. Ditulis oleh Muhammad Saleh dengan judul Syair Lampung Karam (SLK) dengan aksara Jawi dan diterbitkan tiga bulan pascaletusan Krakatau 1883. Sang penyair berada di Tanjung karang, Lampung, saat bencana terjadi lalu mengungsi ke Singapura. Kesaksian pribumi ini luput dari kutipan dan bacaan para peneliti terkait tragedi Krakatau. Naskah ini ditemukan Suryadi di enam negara 125 tahun kemudian.
SLK yang panjangnya 38 halaman (375 bait) itu dapat dikelompokkan ke dalam apa yang disebut oleh beberapa peneliti sebagai ‘syair kewartawanan’ (Mulyadi 1991, Chambert-Loir 1999; Wieringa 2003)
Melalui SLK juga, kita bisa merasakan betapa dahsyatnya letusan Krakatau yang diiringi tsunami di banyak baitnya seperti di antaranya:
Dengan takdir Tuhan yang Ghani/Besar gelombang tidak terperi
Lalulah masuk ke dalam negeri/Berlarian orang ke sana kemari
Ada yang memanjat kayu yang tinggi/Masing-masing membawanya diri
Ada yang gaduh mencari bini/Ada yang berkata Allahu Rabbi
Setelah sampai setengahnya malam/Dilihat gelombang sudahlah redam
Kembalilah umat di atas makam/Berbaring-baring di atas tilam
Sampai kepada siang harinya/Berjalanlah orang mencari hartanya
Ada yang mencari mayat anaknya/Yang banyak mati kepada malamnya
Kepada masa ketika itu/Datang gelombang bukan suatu
Banyaklah umat berhiru-biru/Lari seperti dikejar hantu
Mana yang tidak semparnya lari/Masuk ke rumah bersembunyi diri
Disangkanya tidak rusaknya lagi/Di dalam rumah yang banyak mati
Ada kira-kira pukul Sembilan/Datanglah gelap tidak kelihatan
Pada masa itu tidak ketahuan/Angin pun keras membawa ujan
Hujan nan turun seperti batu/Tidak tertahan di tempatnya itu
Kebesaran Tuhan memberitahu/Supaya tobat qabla an tamutu
Sependapat dengan Suryadi, saya mengamati bahwa Muhammad Saleh dalam SLK melakukan refleksi bahwa bencana ini adalah peringatan Allah SWT kepada umatnya; justru dengan adanya bencana itu manusia semestinya lebih mendekatkan diri kepada Khaliknya. Nasihat di akhir bait 37 “Supaya tobat qabla an tamutu” (supaya bertobat sebelum kalian meninggal) merupakan pesan yang sangat dalam. Di samping itu, beberapa kata dalam syair senantiasa meningatkan pembaca kepada Allah Sang Pemberi Bahaya dan Keselamtan.
Tak hanya syair dan manuskrip ratusan tahun silam, lagu anak juga bisa menjadi media mitigasi bencana. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggagas sebuah lagu terkait mitigasi bencana. Lirik dikarang oleh Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi dari LIPI Eko Yulianto dengan mengadaptasi instrumen dari lagu berjudul “Becak” yang dibuat oleh Ibu Sud. Perhatikan di bawah ini:
Saya mau tamasya
Berkeliling-keliling kota
Hendak melihat-lihat keramaian yang ada
Saya panggilkan becak
Kereta tak berkuda
Becak, becak, coba bawa saya
Saya duduk sendiri
sambil mengangkat kaki
Melihat dengan asyik
Ke kanan dan ke kiri
Lihat becakku lari
Bagaikan tak berhenti
Becak, becak, jalan hati-hati
Lirik “Mitigasi Gempa Bumi” oleh Eko Yulianto:
Tinggal di Indonesia
Bersama banyak gempa
Tsunami juga ada
Di desa dan di kota
Ayo kita siaga
Agar slamat semua
Lekas-lekas pahami tandanya
Kalau gempa melanda
Lindungilah kepala
jauhi dari kaca
Masuklah kolong meja
Saat gempa mereda
Lari ke tempat terbuka
Jangan lupa bawa tas siaga
Jika gempa terasa
Tiga puluh detik lamanya
Kuat lemah tak beda
Tsunami bisa ada
Ajak sluruh keluarga
Ke tempat aman sementara
Tiga puluh menit waktu tersisa
Ayo berlari saja
Tinggalkan mobil semua
Ke tempat yang kita bisa
Tiga puluh meter tingginya Jika kita di sana
Tsunami tak berdaya
Semoga selamat sejahtera semua
Alhasil, manuskrip dan syair warisan luluhur Nusantara yang kemudian diikuti lirik lagu anak, bisa menjadi media mitigasi yang sangat luar biasa. Seperti yang dikatakan Prof Oman bahwa bencana alam tidak selalu harus difahami sebagai cobaan, ujian, atau hukuman Tuhan yang harus diterima belaka.
Melainkan, bencana alam juga dapat menjadi stimulus bagi kita untuk membangun peradaban bagi kemaslahatan bangsa Indonesia khususnya, dan bagi umat manusia pada umumnya, dengan cara mempersiapkan sistem mitigasi bencana, karena, seperti diingatkan dalam naskah-naskah kita itu, gempa, tsunami, dan letusan gunung merapi selalu berulang di Negeri Cincin Api (Oman Fathurahman, 2010: 13).