Konon, di balik keputusan memasangkan Prabowo-Gibran sebagai capres-cawapres besutan Koalisi Indonesia Maju tersimpan ide besar bernama rekonsiliasi. Pasangan ini diyakini membawa simbol kelanjutan rekonsiliasi babak pertama pasca Pilpres 2019 setelah bergabungnya Prabowo ke dalam pemerintahan Joko Widodo.
Konon pula, pasca bergabungnya kekuatan Prabowo itu menghasilkan stabilitas politik Indonesia dan berhasil menyelematkannya dari aneka krisis yang menerpa dunia dan tidak terkecuali Indonesia. Salah satu ukuran keberhasilan Indonesia dalam menangani covid-19 dan pulih lebih baik dan cepat salah satunya karena faktor bersatunya dua kekuatan politik yang bersaing di Pilpres 2019 itu. Argumen ini dapat mudah diterima sebagai fakta politik di awal kepemimpinan Jokowi di peridoe keduanya.
Kini, jelang berakhirnya masa kekuasaan Presiden Jokowi yang akan berakhir pada Oktober 2024, gagasan rekonsiliasi itu dianggap perlu untuk dilanjutkan guna memastikan realisasi keberlanjutan pembangunan Indonesia menuju visi Indonesia emas 2045. Gagasan ini, dalam takaran Pilpres 2024 menghajatkan bersatunya PDIP dan Gerindra dengan formula Prabowo sebagai capres dan Ganjar Pranowo sebagai cawapres. Namun ide ini tidak bisa dteruskan lantaran PDIP telah memiliki capresnya sendiri. Maka, narasi rekonsiliasi dan keberlanjutan hanya dimiliki oleh koalisi Indonesia Maju.
Sembilan partai yang tergabung di dalamnya secara kekuatan kursi di DPR mengungguli dua koalisi lainnya. Gabungan jumlah kursi DPR antara Gerindra, Golkar, Demokrat dan PAN mencapai 267 kursi. Bandingkan dengan Koalisi PDIP dan PPP yang mencapai 147 kursi. Juga dengan koalisi Perubahan (Nasdem, PKB, dan PKS) sebanyak 167 kursi. Secara teoritik, narasi rekonsiliasi dan keberlanjutan telah disokong oleh kekuatan partai dengan jumlah kursi yang dominan.
Berbeda Konteks
Dengan ditolaknya penyatuan antara Gerindra dan PDIP, narasi tentang rekonsiliasi dan keberlanjutan yang dikampanyekan koalisi Indonesia Maju itu, dalam konteks Pilpres 2024 berbeda konteks dengan pasca pilpres 2019 lalu. Dulu, kekuatan politik Jokowi masih identik dengan kekuatan politik PDIP. Kini, relasi Jokowi-PDIP dan terutama dengan Megawati Sukarno Putri relatif terkoyak karena fakta-fakta dukungan politik yang tidak singkron bahkan cenderung disharmoni. Sehingga, dipasangkannya Gibran yang masih berstatus kader PDIP bersama Prabowo bukan menguatkan ide rekonsiliasi yang telah diukir di tahap pertama. Melainkan, secara politik justru sebaliknya: mencerai beraikan gagasan persatuan. Kecuali, jika narasi rekonsiliasi itu dibangun dengan mengeluarkan kekuatan PDIP dan sosok Megawati. Cukup antara kekuatan Jokowi dan seluruh pengikut dan para pendukung setianya dengan kekuatan Prabowo dan pendukungnya.
Pertanyaannya, apakah dengan banyaknya variabel yang berubah secara dinamis itu, gagasan rekonsiliasi itu masih cukup memiliki energi yang besar untuk menggerakkan roda pemerintahan ke depan? Jawaban ini tidak bisa dibandingkan dan atau menjadi sambungan dari rekonsiliasi di babak pertama. Sehingga, untuk mengatakan pasangan Prabowo-Gibran sebagai kelanjutan rekonsiliatif dari bersatunya Prabowo dengan Jokowi masih menyimpan problem dalam dirinya sendiri.
Rekonsiilasi dalam pengertiannya yang terbatas pada kekuatan partai, baru bisa diandaikan jika tiga tokoh dapat bertemu, Presiden Jokowi, Prabowo, dan Megawati Sukarno Putri. Hingga pasangan capres-cawapres ditetapkan oleh KPU, ketiga tokoh itu dipastikan berpisah jalan. Jokowi menempuh jalan politik yang kontroversial dengan meninggalkan “ibu kandungnya”, PDIP. Dengan upaya “politisasi hukum” lewat pintu MK, Gibran menjadi jaminan keberadaan Jokowi di koalisi Indonesia Maju.
Utopia Rekonsiliasi
Dengan begitu, gagasan rekonsiliasi belum bisa menjadi gagasan bersama sebagai bangsa yang pada masa pasca pilpres 2019 dapat diletakkan. Narasi rekonsiliasi akhirnya cenderung terjebak jatuh pada kebutuhan dan kepentingan politik sektoral dan elektoral yaitu masih sebatas berada pada “kemewahan” politik koalisi tertentu. Mengapa? Karena keagungan gagasannya dengan sengaja dinodai oleh proses politik dan hukum yang menabrak batas-batas etis. Meskipun keputusan MK tentang batas usia capres-cawapres itu final dan mengikat dan rencana hijrahnya Gibran ke Partai Golkar sebagai hak asasi politiknya, diskursus etis atas dua peristiwa itu telah mengganggu narasi besar rekonsiliasi. Alih-alih menyatukan untuk persatuan, keberlanjutan, dan kemajuan. Rekonsiliasi terpaksa disempitkan makna dan fungsinya sebagai sebatas taktik dan strategi politik elektoral. Ujung-ujungnya adalah bagaimana saling berlomba untuk saling memenangkan dan mengalahkan satu sama lain. Ditariknya Gibran untuk mendampingi Prabowo dengan demikian cenderung menjauh dari gagasan dasar rekonsiliasi. Ia hanya bisa dimaknai secara rasional dan objektif sebagai cara untuk menampung ceruk elektoral “Jokowi power”.
Tingginya approval rating atas kepuasan kinerja Jokowi adalah satu-satunya alasan paling logis—setidaknya secara elektoral—untuk menjamin kemenangan pasangan Prabowo-Gibran. Argumen inipun masih menyisakan pertanyaan: apakah kekuatan elektoral Jokowi masih eksis dan efektif pasca pecahnya hubungannya dengan PDIP dan Megawati? Jawaban ini setidaknya dikonfirmasi oleh beberapa lembaga survey yang menyebut bahwa pemilih Jokowi yang non PDIP mengalihkan dukungannya ke pasangan Prabowo-Gibran.
Rekonsiliasi dan Oposisi
Tiga pasang capres-cawapres pastilah berhajat untuk menang. Tetapi pasti juga memiliki rencana, katakanlah, jika kalah. Gagasan rekonsiliasi karena itu hanya bisa dimungkinkan terjadi pasca pertandingan usai. Itupun selalu bersifat politis. Rekonsiliasi dalam hubungan antar partai mau tidak mau harus diletakkan dalam format kepentingan kekuasaan. Begitu juga dengan Idealisme oposisi yang selalu problematis dalam sistem presidensialisme multi partai.
Artinya, gagasan rekonsiliasi dalam relasi antar kekuatan politik partai tidak bisa dibayangkan sebagai rekonsiliasi kebangsaan yang lebih luas. Pengalaman kepemimpinan Jokowi yang hampir berakhir, menyediakan gambaran betapa “rekonsiliasi politik” berbasis kekuatan partai hanya untuk pengamanan stabilitas pemerintahan suatu rezim. Pada saat yang sama, merupakan gambaran dari watak dasar pragmatisme partai. Dan, tanpa sadar telah melumpuhkan kekuatan dan eksistensi oposisi partai dalam menerjemahkan fungsi check and balancing dalam idealisme demokrasi.
Kini, partai-partai yang selama ini identik dan berada dalam “kandang oposisi” mulai merangsak masuk dan berhasrat kuat untuk merebut kekuasaan. Langkah-langkah pragmatis mendahului dari pertimbangan ideologisnya. Dari semua partai-partai yang ada, hanya PDIP yang memiliki historisitas dan mental oposisi sejak Orde Baru. Partai-partai lain masih ber-DNA penguasa. Dalam sistem presidensial yang multi partai, apalagi di Indonesia dengan nilai-nilai Pancasila, oposisi hanya sebuah “pelarian politik” sementara sambil menanti momentum untuk berkuasa. Baik dalam siklus lima tahunan atau masuk di tengah jalan. Dalam aras ini, publik Indonesia jarang disuguhkan keteguhan sikap oposisional dalam pengertiannya yang positif dan konsisten kecuali pada PDIP di era Orde Baru dan sepuluh tahun kepemimpinan SBY.
Rekonsiliasi untuk siapa?
Jika dinamika proses rekonsiliasi masih sebatas pada maknanya yang sangat politis kepartaian, apalagi hanya terjatuh pada politik elektoral semata, maka rekonsliasi hanya menjadi domain partai-partai yang lebih dekat dengan politik kekuasaan semata. Rekonsiliasi dengan demikian tidak diarahkan sebagai energi kekuatan bangsa yang multi komponen. Ia hanya akan menjadi elemen dan kepentingan partai yang parsial. Rekonsiliasi tidak hanya menjadi utopia. Ia telah menjadi komoditi untuk memuluskan hasrat kuasa bagi mereka yang tengah memburu singgasana kekuasaan.