Ahmad Ataka
Penulis Kolom

Ahmad Ataka lahir di Banyuwangi 24 Juli 1992. Ia menyelesaikan S3 di bidang Robotika di King’s College London. Bersama satu istri dan satu anak, Ataka tinggal di London hingga Maret 2020 sebelum kembali ke Indonesia. Ia aktif sebagai penulis, peneliti, serta pecinta robot dan fisika. Vidio-vidio tentang robotika dapat di tengok di bit.ly/jagorobotika.

Melihat-lihat Arsitektur Masjid Cambridge, Masjid Ramah Lingkungan Pertama di Eropa

Tanggal 24 April 2019 menjadi hari bersejarah bagi masyarakat muslim kota Cambridge, Inggris. Penantian sepuluh tahun untuk memiliki masjid pertama pun usai dengan dibukanya Cambridge Central Mosque ke publik secara resmi.

Bukan saja menjadi masjid pertama di Cambridge, masjid yang telah diinisiasi sejak tahun 2008 dan diperkirakan berkapasitas 1000 jama’ah ini pun disebut-sebut sebagai masjid ramah lingkungan pertama di Eropa.

Maka, saat saya dan keluarga mengunjungi kota Cambridge bulan Juli silam, mengunjungi masjid ini pun menjadi salah satu agenda utama kami. Usai menikmati keindahan Cambridge University dari atas perahu, kami pun bergegas menuju Mills Road di mana masjid ini berada.

Tepat setelah masuk ke areal masjid, kami langsung disambut oleh taman indah yang terbentang sepanjang halaman masjid. Suara gemericik air yang berasal dari air mancur di tengah taman mengiringi perjalanan kami menuju serambi depan masjid. Hiruk-pikuk keramaian kota pun seketika lenyap, tergantikan oleh kesyahduan dan kedamaian. Kami seperti tengah berada di sebuah oase segar di tengah gersangnya padang pasir kehidupan. Total areal masjid yang luas, yakni satu hektar, cukup membawa imajinasi kita bahwa Islam di Inggris baik-baik saja.

Usai menyeberangi taman, kami pun masuk ke serambi depan masjid. Yang pertama mencuri perhatian kami adalah tiang-tiang pondasi masjid. Bukannya terbuat dari beton layaknya bangunan pada umumnya, tiang penyangga masjid ini seluruhnya terbuat dari kayu. Bukan hanya materialnya saja yang terbuat dari kayu, tapi bentuk tiang-tiang ini pun didesain untuk menyerupai pepohonan. Kami seperti berada di tengah keteduhan pepohonan hutan! Teduh sekali!

Tim arsitek yang mendesain masjid ini ternyata juga otak di balik desain London Eye, bianglala raksasa yang menjadi salah satu ikon kota London. Desain interiornya melibatkan Profesor Keith Critchlow, ahli geometri dan arsitektur Islami asal Inggris.

Masjid ini seperti didesain untuk “mengawinkan” tradisi arsitektural masjid di berbagai belahan dunia Islam sepanjang zaman dengan tradisi arsitektural bangunan-bangunan relijius Inggris yang didominasi gereja-gereja abad pertengahan. 

Baca juga:  Agar Perusakan Masjid Ahmadiyah Tidak Terulang Kembali
Tanpa mihrab dan pengimaman membuat desain lebih simpel (Foto: penulis)

 

Bukan hanya arsitekturnya saja yang membuat masjid ini begitu istimewa, tapi juga keseluruhan desain masjid yang ternyata memperhitungkan dampak lingkungan secara menyeluruh. Selain tiang-tiang pondasi yang didesain menyerupai pepohonan, masjid ini juga didesain untuk secara natural mendapat cahaya matahari yang cukup sehingga lampu tak perlu dinyalakan di siang hari.

Di malam harinya, lampu LED hemat energilah yang digunakan untuk menerangi seisi masjid. Keberadaan ventilasi yang fleksibel memungkinkan masjid untuk tetap segar di musim panas. Material bangunan pun dipilih sedemikian rupa sehingga bangunan masjid terinsulasi dengan baik, meminimalisir bocornya panas dari dalam gedung di musim dingin.

Detail ini tidak hanya cantik, tapi dipikirkan agar sinar matahari bisa menembus seisi ruangan (Foto: penulis)

Bukan hanya itu, sebagian porsi energi yang digunakan untuk “menghidupi” masjid ini bersumber dari panel-panel surya yang terpasang di atap masjid yang memanen energi setiap harinya. Air hujan yang turun sepanjang tahun pun “dipanen” untuk digunakan sebagai irigasi taman dan sarana kebersihan.

Dan, ini yang tak kalah penting: pemilihan lokasi dan desain halaman masjid pun dipilih untuk memudahkan pejalan kaki dan pengendara sepeda, sehingga memungkinkan jama’ah untuk datang tanpa harus mengkonsumsi bahan bakar minyak. Perencanaan yang matang ini membuat keseluruhan emisi karbon yang dihasilkan operasional masjid ini sangat rendah.

Baca juga:  Antara Keikhlasan, Sedekah, dan Kepedulian

“Peradaban Islam selalu berdasar pada penolakan limbah,” kata Dr. Timothy Winter, ketua pembangunan masjid sebagaimana dilansir dari website resmi masjid, cambridgecentralmosque.org.

Pria yang juga dikenal sebagai Syaikh Abdal Hakim Murad dan kini menjabat sebagai dosen Islamic Studies di Cambridge University ini menekankan pentingnya perhatian terhadap lingkungan di era globalisasi ini, terlebih bagi umat Islam, sebagai bentuk syukur atas anugerah Tuhan pada umat manusia. “Jadi, dalam pembangunan masjid baru di Cambridge ini, kami berada di garis depan dari gerakan konservasi lingkungan.”

Di era ketika pemanasan global mencapai taraf yang nyaris tak terkendali lagi ini, perhatian terhadap lingkungan memang sudah seharusnya menjadi agenda utama umat manusia, termasuk umat Islam. Di sinilah masjid Cambridge ini memberi kita pelajaran yang amat berharga bahwa pembangunan masjid, betapa pun mulianya di agama kita, tak boleh melalaikan kewajiban kita sebagai manusia untuk melestarikan bumi kita. Maka, saat Greta Thunberg, remaja 16 tahun asal Swedia berani bersuara menuntut keseriusan kita melawan pemanasan global, dan aktivis-aktivis lingkungan Extinction Rebellion sampai menutup jalanan London dengan aksi protes mereka, masjid Cambridge ini seolah menjadi “suara” dan “aksi” nyata umat muslim Inggris untuk ikut andil mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

Saat gelombang islamophobia di Eropa begitu kencang menuduh Islam sebagai sumber segala masalah, masjid Cambridge ini seolah menjawab bagaimana wajah Islam yang sesungguhnya: rahmat bagi semesta dan seisinya.

Ruang utama. Satir untuk memisahkan laki-laki dan perempuan (Foto: penulis)
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top