Sedang Membaca
Nahdlatul Ulama, Istana, dan Kontestasi Pemilu

Santri Al-Kandiyas Yogyakarta. Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jurusan Sosiologi Agama. Founder Gesselscaft.ID

Nahdlatul Ulama, Istana, dan Kontestasi Pemilu

20220131 105812

Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dibawah komando Kiai Yahya Cholil Tsaquf mengalami ger-geran. Pertama, manuver Kiai Yahya Cholil Tsaquf sangat asik dekat dengan Istana, salah satunya pro dan kontra penunjukkan Menteri BUMN Erick Thohir ditunjuk menjadi Ketua Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) dan sekarang menjadi Ketua Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) NU.

Figur Erick Thohir tidaklah sebagai kader tulen Nahdlatul Ulama (NU), mengapa cawe-cawe urusan Harlah hingga saat ini menduduki posisi strategis.

Kedua, konflik kepengurusan PCNU Jombang masa khidmat 2023 – 2024 yang dilantik pada 20 Mei lalu, berbuntut menggungat perdata kepengurusan di Pengadilan Negeri (PN) Jombang. Pihak tergugat adalah PBNU dan kepengurusan PCNU Jombang masa khidmat 2023 -2024.

Ketiga, pemberhentian Kiai Marzuki Mustamar yang secara tiba-tiba dari jabatan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU)  Jawa Timur. Banyak pihak beranggapan bahwa S.K pemberhentian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) erat hubungan dengan politis.

Isu ger-geran di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) saat ini tidak dipisahkan dengan dimensi politik, publik mengetahui saat ini kita masih berada di hajatan demokrasi, para elite Nahdlatul Ulama (NU) sibuk bermanuver ke kanan dan ke kiri, dan unjungnya publik mempertanyakan netralitas dari komitmen Kiai Yahya Cholil Tsaquf yang tidak membawa Nahdlatul Ulama (NU) ke dalam arus politik praktis.

Realitas hari ini, mari kita lacak perjalanan Nahdlatul Ulama (NU). Fakta historis menunjukkan Nahdlatul Ulama (NU) memang ditakdirkan tidak berjodoh dalam urusan politik.

Baca juga:  Pengarusutamaan Kebudayaan dalam Riset dan Inovasi

Pasca pemilu 1955, yang memperoleh posisi empat dan menjadi posisi tiga besar dalam pemilu 1971, maka pasca itu Nahdlatul Ulama selalu kalah dalam perhelatan politik.

Pasca kembali Khittah 1926 tahun 1984, maka Nahdlatul Ulama telah vakum  dalam cawe-cawe politik, dan memilih peran secara efektif di dalam pemberdayaan umat, baik di bidang pendidikan, Kesehatan.

Godaan politik praktis dapat ditunjukkan dengan geliat pengembangan di berbagai pesantren sebagai motor gerakan dakwah Nahdlatul Ulama (NU).

Meskipun tidak aktif kembali di jalur politik, romantisme politik kembali pasca reformasi, Nahdlatul Ulama (NU) membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)  yang berhasil mengantarkan Gus Dur  menjadi Presiden ke-4. Hanya sayangnya bahwa realitas politik berbicara lain, Gus Dur dilengserkan dari tampuk kepemimpinan negeri dan hingga kini PKB terjebak dalam pertikaian internal.

Tahun 2004, Nahdlatul Ulama(NU)  kembali digoncang dengan majunya kader terbaiknya KH. Hasyim Muzadi sebagai Ketua PBNU yang bersedia menjadi Cawapres Ibu Megawati Soekarno Putri, dan Haji Jusuf Kalla sebagai kader Nahdlatul Ulama (NU) asal Makassar bergendengan dengan SBY, meskipun kalah dalam kontestasi pilpres secara langsung, dampak polarisasi politik mengakar hingga ke daerah-daerah.

Di tahun 2009, dan tahun 2014 Haji Jusuf Kalla menjadi Capres maupun Cawapres mendampingi Jokowi. Hingga akhirnya, pemenangnya Presiden Jokowi, pada masa inilah jalinan erat Nahdlatul Ulama (NU) dengan penguasa, maka pada Kabinet Jokowi-JK tidak heran diisi oleh beberapa nama yang memiliki latar belakang Nahdlatul Ulama (NU).

Baca juga:  Kibal-kibul ala Machiavellisme

Dan kita masih ingat, di tahun 2019. Menjadi babak kedua bagi petinggi Nahdlatul Ulama (NU) memainkan peran penting dalam politik, keputusan Presiden Jokowi menunjuk Kiai Ma’ruf Amin yang selaku Rois ‘Amm PBNU menjadi betul diluar prediksi kebanyakan orang, media banyak menulis Mahfud MD yang digandang-gadang menjadi Cawapres Jokowi gagal karena intervensi  dari elite Nahdlatul Ulama,

Di tahun 2024, drama Nahdlatul Ulama (NU) menjadi babak baru, mengingat Presiden Jokowi tidak maju kembali, sehingga upaya Nahdlatul Ulama (NU) bermanuver dengan banyak kader Nahdlatul Ulama (NU) yang berhasrat maju dalam konstetasi kali ini.

Praktis, ada dua kader Nahdlatul Ulama (NU) tulen. Gus Muhaimin Iskandar Putera Jombang, sekaligus keponakan Gus Dur yang mendampingi Anies Baswedan. Dan, Mahfud MD putera Madura yang mendampingi Ganjar Pranowo.

Pembacaan politik Nahdlatul Ulama (NU) hari ini merupakan kelanjutan drama-drama terjadi sebelumnya. Namun pada faktanya, di panggung belakang, ketidakkonsistenan banyak pengurus NU malah asik bermanuver ria, mereka secara terang-terangan ikut mendukung salah satu paslon presiden.

Walaupun sebagian banyak para kader NU mengikuti aturan harus cuti, atau bahkan mengundurkan diri. Tetapi, kenetralan yang bersifat abu-abu, demikianlah yang disesalkan oleh sebagian pihak.

Pengurus Nahdlatul Ulama seakan larut dalam drama cawe-cawe Istana dalam Pilpres 2024, salah satu contohnya tidak ada suara lantang yang menyuarakan etika pasca putusan MKMK, dan para pengurus malah asyik bermain perannya masing-masing.

Baca juga:  Kumandang Azan di Negeri India

Realitas politik hari ini, apakah Nahdlatul Ulama betul-betul “dipangku” oleh Istana?

Istilah kultural Jawa menjelaskan, dengan adagium “Yen mati dipangku” menunjukkan realitas kultural dalam menjelaskan hubungan antara Nahdlatul Ulama dengan Istana.

“Dipangku”, “mati” dan “memangku” dua hal yang berbeda makna.

Yang dimaksud “Dipangku”, “Mati” menurut Iman Budhi Santoso adalah keadaan seseorang yang disamakan bayi atau anak-anak yang didudukkan di pangkuan. Artinya, diberi kebaikan, disantuni, disuapi dilindungi orang lain.

Mungkin sadar dalam hal itu, strategi “dipangku” kerap dilakukan kedua belah pihak, baik antara Nahdlatul Ulama (NU), maupun istana.

Faktanya, misalnya Istana kerap sesekali memberikan jabatan beberapa pengurus Nahdlatul Ulama (NU) menjadi menteri, komisaris, hingga dalam kebijakan, contohnya, “Undang-Undang Pesantren”, “Hari Santri Nasional, dan “Dana Abadi Pesantren”.

Begitu pula, sebaliknya. Nahdlatul Ulama juga memberikan  strategi “Pangku” kepada Istana yang kerap memberikan legitimasi strategis berupa kebijakan kepada pemerintah. Misalnya, dukungan perpindahan IKN hingga stabilitas politik yang tetap harmonis.

Wal hasil, kisruh di internal Nahdlatul Ulama (NU) menjelang pemilihan presiden 2024, semestinya Nahdlatul Ulama (NU) tidak tunduk kepada pangkuan siapapun.

Pernyataan Kiai Yahya tentang netralitas seharusnya bukan saja menjadi kata-kata, tetapi ke dalam bentuk tindakan yang nyata, sehingga betul-betul Nahdlatul Ulama (NU) menjadi jangkar dalam kehidupan bermasyarakat.

Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) dibutuhkan dalam menjaga negara, dan sepak terjangnya dalam membingkai persatuan telah berangkat sejak kemerdekaan. (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top