Sedang Membaca
Kisah Kampung Mandar dan Narasi Lisan Makam Kapitan Galak di Pesisir Banyuwangi

Santri Al-Kandiyas Yogyakarta. Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jurusan Sosiologi Agama. Founder Gesselscaft.ID

Kisah Kampung Mandar dan Narasi Lisan Makam Kapitan Galak di Pesisir Banyuwangi

Makam Datuk

Sang fajar baru saja menyentuh ufuk timur. Cahaya merah tipis membelah langit pagi. Angin laut bertiup pelan. Membawa aroma asin yang khas. Jalan masih sepi. Hanya terdengar suara kendaraan sesekali melintas.

Beberapa warung mulai buka. Orang-orang mulai beraktivitas. Menyimpan kesan pertama yang lembut dan tenang. Inilah Banyuwangi. Awal dari sebuah penjelajahan panjang. Kota ini berada di ujung timur Jawa. Posisinya strategis, dekat laut, pelabuhan, dan pusat kota.

Saya datang untuk menelusuri jejak sejarah. Mengamati kehidupan di kampung pesisir. Dan pagi ini, semuanya dimulai dengan pelan dan damai.

Saya tiba di lokasi dengan sepeda motor Jupiter. Jalanan kota masih lengang. Lampu-lampu toko mulai padam. Aktivitas pagi mulai terlihat. Saya menyusuri jalan perlahan, menikmati suasana.

Tujuan saya adalah Kampung Mandar. Sebuah kelurahan tua di pusat kota Banyuwangi. Lokasinya tidak jauh dari pelabuhan dan alun-alun. Kampung ini punya sejarah panjang. Dihuni oleh komunitas nelayan dan pendatang dari berbagai daerah.

Salah satunya suku Mandar. Di sinilah titik perjumpaan budaya terjadi. Ada Madura, Bugis, Oseng dan Jawa. Saya datang untuk melihat lebih dekat. Merekam kehidupan sehari-hari di kampung pesisir ini.

Kelurahan ini mudah dijangkau. Hanya butuh beberapa menit dari alun-alun kota. Saya masuk lewat jalan kecil. Jalan itu membawa saya ke sebuah bangunan tua. Bekas Bioskop Irama. Dulu, tempat ini ramai. Menjadi hiburan warga kota. Sekarang sudah tutup. Diganti dengan gedung bioskop New Star Cineplex. Atau orang sekitar menyebutnya NSC.

Saya terus berjalan ke arah pesisir. Di sanalah dulu berdiri Pelabuhan THR. Singkatan dari Tempat Hiburan Rakyat. Dahulu, Pelabuhan ini juga pernah dipakai untuk pemberangkatan haji. Sekarang namanya Pelabuhan Marina Boom. Sudah ditata ulang. Lebih modern. Tapi sisa-sisa masa lalu masih terlihat jelas.

Baca juga:  Ziarah di Kawasan Kota Tua Kairo (2): Makam Sidnal Husein

Di tepi pelabuhan, pagi terasa hidup. Warga sekitar menyebut tempat ini “Plesengan”. Sebuah ruang terbuka di bibir pantai yang menjadi titik kumpul masyarakat.

Ada yang memancing, duduk santai, atau menikmati hidangan ikan bakar. Beberapa warung berdiri di tepi jalan. Dikelola warga lokal. Menjual makanan laut segar dan minuman hangat. Plesengan juga jadi tempat persinggahan para pelancong.

Sementara itu, para nelayan baru pulang dari laut. Perahu-perahu kecil atau sekitar menyebutnya dengan sampan bersandar rapi. Di tempat pelelangan ikan, suara teriakan saling bersahutan. Tawar-menawar berlangsung cepat.

Suasananya ramai, tapi tetap teratur. Meski kawasan ini dikenal sebagai Kampung Mandar, bahasa Madura justru paling dominan terdengar. Ini menjadi penanda bahwa komunitas Madura sudah lama tinggal dan menetap di sini.

Mereka mayoritas muslim, memegang tradisi, namun terbuka pada perubahan. Saya melihat jaring-jaring basah di atas pasir, bau ikan segar di udara, dan matahari yang perlahan naik dari arah bibir pantai yang bermuara di selat Bali.

Makam Datuk Kapiten Galak

Perjalanan saya menyusuri Kampung Mandar tidak hanya berakhir di deretan rumah atau aroma ikan asap. Di ujung gang sempit, saya mencari jejak yang lebih sunyi—makam tua, yang katanya menjadi penanda awal mula kampung ini berdiri.

Saya ditemani Datuk Faisal, seorang pemuda setempat yang masih menyimpan garis darah pendiri desa.

“Di sinilah semuanya bermula,” katanya pelan. Sembari menunjukkan makam tua Datuk Kapitan Galak.

Makam Datuk Kapitan Galak berdiri tenang di depan Kantor Kelurahan Kampung Mandar. Sederhana. Tidak megah, tidak pula terlupakan. Tidak banyak nisan tua yang masih utuh di tengah kota.

Baca juga:  Terbius Arsitektur Masjid Atiq Isfahan

Tapi makam ini bertahan. Menjadi ingatan yang dipahat dalam bentuk batu. Ia bukan sekadar tempat orang mati dimakamkan, melainkan tempat sejarah disematkan.

Nama Kapitan Galak nyaris tak ditemukan dalam dokumen sejarah resmi. Tapi dalam narasi lisan yang beredar dari mulut ke mulut, ia adalah sosok yang dihormati. Seorang pemimpin komunitas Mandar yang ditunjuk oleh Belanda—melalui gelar “Kapitan”—untuk mengatur dan mewakili kelompok etnisnya.

Meski ada pengaruh kolonial dalam gelar itu, masyarakat tetap menyematkan kehormatan melalui panggilan “Datuk”.

Perpaduan gelar lokal dan kolonial yang memperlihatkan bagaimana masyarakat pesisir ini beradaptasi tanpa kehilangan identitas.

Orang-orang Mandar diyakini datang dari Sulawesi Barat, dari wilayah bekas Kerajaan Banggae. Mereka membawa keterampilan berlayar, berdagang, dan beradaptasi dengan lingkungan baru.

Menurut kisah yang diwariskan secara turun-temurun, sebagian dari mereka datang untuk berdagang, tapi akhirnya ikut terlibat dalam Perang Puputan Bayu bersama rakyat Blambangan, melawan VOC. Perang ini terjadi antara tahun 1767 hingga 1773 dan berakhir dengan runtuhnya Blambangan. Setelah perang, VOC mengganti nama wilayah ini menjadi Banyuwangi.

Makam Datuk Kapitan Galak adalah artefak sosial. Ia adalah nadi yang sunyi dari perjalanan migrasi, akulturasi, dan perlawanan. Di sekelilingnya, kini berdiri kantor kelurahan, rumah warga, warung kecil, dan aktivitas modern.

Tapi makam itu tak tergantikan. Ia menjadi pengingat bahwa Banyuwangi bukan sekadar kota di timur Jawa, tetapi simpul pertemuan pelaut, pedagang, dan pejuang dari seberang laut.

Masyarakat sekitar masih merawat makam itu. Sesekali ada yang datang untuk berziarah. Tidak ada upacara besar. Tapi kehadiran mereka menunjukkan bahwa makam ini bukan hanya peninggalan masa lalu, tapi juga bagian dari jati diri yang masih mereka pegang.

Baca juga:  Pengalaman Spiritual Ibramsyah Amandit

Meski identitas Mandar di kampung ini perlahan berbaur dengan budaya Madura, Oseng dan Jawa, makam ini tetap menjadi jangkar sejarah—tempat di mana identitas, memori, dan komunitas bertemu.

Dalam pandangan antropologi, tempat bukan sekadar ruang geografis, tetapi juga sarat makna kultural dan simbolik. Marc Augé menyebutnya sebagai lieux de mémoire—tempat-tempat yang menyimpan ingatan kolektif.

Makam Datuk Kapitan Galak, meski secara fisik hanya nisan sederhana, menyimpan jejak panjang migrasi, perjumpaan budaya, hingga perlawanan terhadap kolonialisme. Ia adalah artefak sosial yang menandai keberadaan dan kontribusi orang Mandar di Banyuwangi.

Makam itu menjadi semacam “arsip diam” dari sebuah komunitas yang mungkin tak banyak disebut dalam historiografi resmi.

Dalam ingatan masyarakat, sosok Datuk Kapitan Galak hidup melalui narasi lisan, bukan dokumen negara. Hal ini menunjukkan pentingnya oral tradition dalam menjaga identitas kelompok marjinal.

Seperti diuraikan Paul Connerton, memori sosial tidak hanya diwariskan lewat teks, tapi juga melalui praktik, ritual, dan tempat.

Gelar “Kapitan” yang disematkan oleh kolonial Belanda berpadu dengan gelar “Datuk” sebagai bentuk penghormatan lokal, mencerminkan hibriditas—konsep yang dikembangkan Homi K. Bhabha—yakni percampuran budaya yang tidak serta-merta menghapus identitas asal. Justru dari perpaduan inilah muncul identitas baru yang lentur dan adaptif.

Kini, meski identitas Mandar mulai larut dalam kebudayaan Oseng, Jawa, dan Madura, makam ini bertahan sebagai jangkar simbolik. Ia menjadi titik balik, semacam “peta pulang” bagi generasi muda untuk menengok kembali siapa mereka dan dari mana mereka berasal. (*)

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top