Setiap bulan dalam peradaban manusia memiliki makna sendiri, karena mereka menyakini setiap waktu berpengaruh dalam kehidupan manusia. Leluhur kita di Nusantara menyadari bahwa, ketika penanggalan menjadi penentu waktu. Mereka mencatat peristiwa alam sekitar, mulai dari terbitnya dan terbenamnya matahari, terbit dan terbenamnya bulan, pasang surutnya air laut.
Catatan itu memprediksi fenomena alam lainnya yang berkaitan dengan musim dan cuaca. Sehingga, benda langit seperti matahari, bulan, dapat dipetakan untuk menuntun panduan dalam beraktivitas. Catatan itu, ditulis dengan rapi, kemudian dianalisa yang isinya seputar panduan yang memuat untuk mulai masa menanam padi, masa berlayar, menentukan waktu untuk berdagang, menentukan jodoh atau pasangan, dan masih banyak panduan yang terkait siklus kehidupan manusia.
Dalam ilmu modern, catatan hasil pengamatan itu disebut dengan Ilmu Astrologi. Ilmu tersebut merupakan cikal bakal dalam lahirnya penanggalan, sebagai rumus dalam menyusun sebuah kalender. Sistem kalender sangatlah penting bagi peradaban manusia, terutama menentukan waktu yang berkaitan dengan pekerjaan manusia. Sejarah kalender pertama muncul sejak zaman Mesolitikum. Berdasarkan temuan para arkeolog menjumpai susunan batu yang diperkirakan berfungsi untuk penghitungan waktu di situs Wurdi Youang, Australia, berumur 11.000 tahun.
Kalender tertua berikutnya, di Warren Field, Skolatlandia yang berumur 10.000 tahun. Namun kalender pertama yang menggunakan rumus matematika yang matang berasal dari zaman perunggu di timur dekat kuno Mesopotamia, Suriah, Palestina dan Iran. Sistem Kalender matematis diyakini muncul seiring dengan perkembangan sistem penulisan di Sumeria.
Sistem kalender kemudian berkembang di sekitar peradaban Timur Tengah, seperti Mesir, Asyur, dan Elak. Dan kelak, sistem penghitungan mereka akan terwariskan hingga hari ini tentang ilmu pengetahuan. Salah satunya, peradaban Mesir kuno. Negeri Piramid itu, memiliki sejarah kalender berdasarkan siklus bulan yang kemudian beralih berdasarkan letak Sirius, atau bintang besar yang berada di Rasi Bintang Canis Major.
Warga Mesir kuno menyadari bahwa bintang Sirius di sebelah matahari setiap 365 hari yang sepadan dengan periode di mana setiap tahunnya Sunggai Nil menggenang. Dari sini, sistem kalender yang rumit dirancang untuk 365 hari. Kemudian, kebudayaan berbeda di peradaban Cina. Kalender ini dapat ditelusuri keberadaannya pada abad ke-14 SM tentang Kaisar Huang DI dari tahun 2637 SM. Sementara, bangsa Maya dan Aztek memiliki sejarah kalender dengan sistem yang menarik. Bahkan, publik sempat digegerkan pada tahun 2012 dengan isu kiamat, hal itu menegasikan bahwa penanggalan mereka telah berlangsung sejak 750 SM dan 100 M.
Untuk manusia modern abad ini, menganut kalender Masehi. Pencetusnya yaitu Julius Caesar dan Paus Gregorius XIII. Tercetusnya kalender ini didasari keinginan untuk memperbaiki kalender romawi. Julius, melakukan kunjungan ke Alexandria, Mesir, pada 47 SM, ia menerima saran dari Sosigenes, seorang ahli astronomi dan matematika agar penanggalan dengan menggunakan satu tahun Syamsiah, yakni 365 hari.
Lalu, bagaimana dengan Muharram dalam kalender Islam ?
Kalender Islam terbilang muda, dibandingkan dengan peradaban di belahan dunia lainnya. Dalam kronik sejarah, kitab Tarikh Al-Rusul wa Al-Muluk, Imam Thabari menyatakan, Maymun bin Miran menceritakan tentang dokumen hukum untuk suatu perbuatan dikirim kepada Umar yang tertulis pada bulan Sya’ban.
Umar bertanya: apakah ini Syaban tahun lalu atau tahun yang akan datang? Kemudian Khalifah setelah Abu Bakar ini berkata kepada para sahabat: Mari kita tetapkan satu titik awal yang digunakan oleh masyarakat.
Pada saat itu, Umar dan para sahabatnya melakukan diskusi. Pada intinya, mereka sepakat untuk mengadopsi cara penulisan tanggal yang digunakan “di bulan ini dan tahun ini”.
Selain itu, mereka sepakat memilih peristiwa Hijrah sebagai titik awal era Islam, karena peristiwa Hijrah memiliki makna mendalam, karena memisahkan kebenaran dari kesesatan. Dengan menetapkan hijrah sebagai titik awal, umat Islam memiliki fondasi yang kuat dalam mengukur waktu, dan identifikasi diri sebagai umat muslim.
Lalu, bagaimana dengan peradaban di Nusantara.
Boleh dikatakan, peradaban Nusantara masih terbilang muda, dibanding dengan Mesir Kuno, Yunani, Persia, China, Romawi, Konstantinopel, Umayyah atau Abassiyah yang telah lama menggunakan sistem penanggalan.
Kepulauan Nusantara adalah negeri muda. Paling tua catatan Prasasti Yupa yang ditemukan pada dinasti Kutai, dengan Raja Pertama Kundungga dengan usia 400 ratus tahun setelah Masehi.
Meskipun demikian, sudah catatan arkeologis di kepulauan Nusantara itu, Reruntuhan Gunung Padang, gua-gua di Sulawesi dan Nusa Tenggara, atau tengkorak-tengkorak di Jawa, akan tetapi peradaban itu tidak menghasilkan huruf dan angka.
Meskipun, tidak ada catatan historis tentang penanggalan, warga Nusantara masih menggunakan perhitungan sederhana, dengan menggunakan arah mata angin, yang telah ada sejak zaman prakaksara.
Namun, hadirnya sistem penanggalan di Nusantara, bersamaan dengan masuknya ajaran Hindu-Budha ke Indonesia sejak awal Masehi, yaitu kalender saka. Dalam, kalender Saka, tahun pertama dimulai pada 78 Masehi. Hal ini berkaitan saat penobatan Chashtana sebagai raja.
Ketika pengaruh Hindu-Budha dari India Masuk ke Nusantara, sistem penanggalan kerajaan diadopsi oleh masyarakat Nusantara. Hasil modifikasi hingga turun-menurun dari lintas peradaban di Nusantara, mulai dari kerajaan Sriwijaya, hingga kerajaan Majapahit.
Sementara itu, ketika agama Islam datang, baru mengenal kalender Hijriah, yang diadopsi menjadi kalender Jawa. Pencentusnya ketika itu, Sultan Agung. Ia menggabungkan dua kalender sekaligus, yaitu kalender Hijriah dan Kalender Saka.
Sultan Agung memiliki pandangan tentang perayaan adat dilakukan oleh keratin dan hari besar Islam dapat bersamaan dalam satu waktu, oleh sebab itu penyesuaian perlu dilakukan, perubahan itu terkait perhitungan waktu, dimana kalender Saka berdasarkan matahari, mengikuti Kalender Hijriah yang mangacu pada pergerakan bulan.
Hasil modifikasi dari Sultan Agung, membawa dampak kepada masyarakat di Nusantara, karena penyatuan dua unsur kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan satu unsur kebudayaan yang baru.
Hal itu, sebagaimana bulan Syuro, sebagaimana penanda awal di bulan Jawa yang diambil dari hari Asyuro, yaitu 10 Muharram. Lebih lanjut, penggambaran penamaan bulan, Syuro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dullkangidah, Besar, sangat kental penggabungannya, dengan penggabungan dari bulan-bulan hijriah.
Namun, di balik harmoni ini, penanggalan ini merupakan hasil dari kreasi bijak Sultan Agung yang pada suatu hari Jum’at Legi mengubah sistem penanggalan sekaligus menggambarkan semangat penyatuan dalam perbedaan.
Dampaknya, melalui penyeragaman Kalender Jawa ini, hampir menyeluruh memiliki tradisi yang sama, meskipun bentuk ekspresinya kebudayaan berbeda-beda.
Misalnya, di Jawa, berbagai ritual adat di Keraton dengan Mubeng Benteng, ritual mencuci pusaka yang dikenal dengan jamasan, dan hampir diikuti setiap daerah yang lainnya.
Berbeda, dengan masyarakat pesisir, mereka menggelar larung sesaji, mereka menyebutnya dengan petik laut, sedangkan, untuk masyarakat agraris, yang mereka lakukan sedekah bumi, sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan yang maha kuasa. Hasil kreasi Sultan Agung yang lainnya, juga dapat kita lihat dengan makanan tradisional, ketika bulan Syuro tiba, masyarakat Nusantara berbondong-bondong membuat Jenang Syuro yang menjadi lambang rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh.
Wal hasil, peradaban Nusantara tergolong masih berusia muda, dibandingkan dengan peradaban lainya. Meskipun demikian, dari berbagai macam kebudayaan yang pernah singgah di nusantara, dari peradaban yang berusia muda belajar dari peradaban yang lebih tua.
Hasilnya, peradaban nusantara melebur dari berbagai macam peradaban lainnya, kemudian dimodifikasi dalam tradisi adat tradisi yang hingga kini masih terjaga dengan baik. Lahirnya banyak adat dan tradisi bermunculan di masyarakat, tentunya kita wajib menghormati setiap perbedaan, bukan justru mencela karena tidak sesuai dengan pendapat kita.
Bisa dikatakan bahwa perayaan Syuro menjadi warisan sejarah yang dijadikan titik awal untuk merayakan keragaman yang kita jalani selama beribu-ribu tahun lamanya, meskipun kita berbeda secara agama, ras dan suku, namun, tetap harmoni sebagai suatu bangsa.