
Di bawah pohon rindang, terdapat sebuah warung rujak khas Kampung Mandar. Saya menyaksikan sebuah percakapan yang menarik. Seorang ibu paruh baya sedang meracik bumbu rujak dengan ulekan batu. Tangannya cekatan menghaluskan cabai dan kacang, sementara seorang pelanggan—lelaki tua dengan sarung yang dilipat setinggi betis—duduk santai sambil mengisap rokok kretek.
Percakapan mereka mengalir ringan, tetapi justru itulah yang menarik perhatian saya. Mereka bercakap dengan logat Mandar yang terdengar asing di telinga, namun terasa akrab dalam suasana kampung pesisir. Di sela kalimat berlogat Mandar, terselip kata-kata yang barangkali asing bagi penutur Mandar dari tanah leluhurnya.
“Olong, coba pesen rujak ndolet-nya satu saja?” tutur lelaki tua itu.
“Berapa cabenya?” tanya si ibu penjual.
“Satu saja, Olong,” jawabnya santai.
Saya menyimak dengan penuh perhatian—bagaimana mereka menyapa dengan sapaan khas Mandar, tetapi merangkai kalimat dengan sisipan kosakata Jawa dan intonasi Banyuwangi. Dari situ, saya mulai merenung: mengapa dialek Kampung Mandar Banyuwangi bisa berbeda dengan dialek Mandar di tanah leluhurnya, Sulawesi?
Pertanyaan ini membawa kita pada pembacaan historis sekaligus sosiolinguistik yang menarik. Bahasa, dalam konteks ini, bukan sekadar alat tukar makna, melainkan juga medan perjumpaan antarbudaya, ruang adaptasi, dan arena negosiasi identitas.
Secara historis, masyarakat Mandar yang mendiami kawasan pesisir Banyuwangi adalah bagian dari gelombang migrasi pelaut dan pedagang Mandar sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-18. Mereka menetap di kawasan pelabuhan, berdagang, dan sedikit demi sedikit membangun komunitas yang mapan. Namun, mereka tidak hidup dalam ruang linguistik yang homogen.
Kawasan Kampung Mandar dikepung oleh masyarakat Madura Oseng, dan pendatang dari berbagai etnis lain. Dalam interaksi sosial, ekonomi, hingga perkawinan lintas budaya, terjadilah proses akulturasi linguistik yang tak terelakkan.
Dialek ini tidak hadir begitu saja. Ia tumbuh dari pelabuhan—tempat keluar masuknya perahu, barang, dan manusia dari berbagai penjuru. Bahasa Melayu digunakan sebagai alat penghubung antaretnis: antara orang Mandar, Bugis, Madura, dan Jawa. Fungsinya praktis—agar saling memahami.
Saya berbincang dengan Tuk Ferry, seorang tokoh pemuda Kampung Mandar. Ia masih memiliki darah tokoh adat Mandar Banyuwangi. Namun, bahasa yang ia pakai sudah tidak sepenuhnya Mandar. Kata-kata seperti “ka ulu” (ke utara), “kau” (kamu), dan “awa’” (aku) masih ia gunakan. Logatnya ringan, mirip Melayu pesisir. Ia menyadari bahwa bahasa Mandar yang asli kini telah banyak berubah.
Dalam percakapan sehari-hari, masih ditemukan beberapa istilah khas yang akrab di kalangan tua maupun muda. Misalnya, panggilan keluarga: “Dato” untuk kakek, “Apak” untuk ayah, “Encik” atau “Olong” untuk paman atau bibi. Menariknya, satu istilah bisa memiliki makna ganda tergantung konteks. “Encik”, misalnya, bisa berarti paman, tetapi juga bentuk penghormatan kepada lelaki yang lebih tua.
Istilah-istilah ini menunjukkan sisa-sisa warisan budaya Mandar yang masih bertahan, meskipun pelafalannya mulai bercampur dengan pengaruh Madura dan Melayu. Di tengah arus perubahan, dialek menjadi ruang negosiasi antara mempertahankan akar dan menyesuaikan diri. Kata-kata itu tampak sederhana, tetapi mengandung muatan sejarah dan ikatan sosial yang kuat.
Interaksi dengan orang Madura mempercepat pergeseran itu. Bahkan, anak-anak muda kini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia campur Madura. Bahasa menjadi penanda bagaimana identitas kultural di kampung ini terus bergeser. Tidak sepenuhnya hilang, tetapi melebur. Yang tersisa bukan bentuk aslinya, melainkan versi baru yang lahir dari dialog dan keseharian.
Inilah wajah hibriditas di Kampung Mandar—bahasa menjadi saksi, bagaimana sejarah, migrasi, dan hidup bersama membentuk cara berpikir dan bertutur masyarakatnya.
Difusi Perpindahan Dialek Kampung Mandar
Dalam teori difusi, dijelaskan bahwa perubahan budaya—termasuk bahasa—terjadi karena penyebaran unsur budaya dari satu kelompok ke kelompok lain. Penyebaran ini bisa melalui migrasi, perdagangan, perkawinan, penaklukan, maupun interaksi sosial jangka panjang. Teori ini menekankan bahwa tidak semua unsur budaya berkembang secara mandiri; banyak yang terpinjam atau teradaptasi dari kelompok lain.
Komunitas Mandar di Banyuwangi adalah hasil dari migrasi budaya pesisir. Mereka membawa bahasa, nilai, dan tradisi dari tanah asal mereka di Sulawesi Barat. Namun setelah menetap di pesisir kota Banyuwangi yang multietnis, mereka tidak hidup di ruang budaya yang steril. Mereka berdampingan dengan komunitas Osing, Madura, Bugis, dan pendatang lainnya. Di sinilah proses difusi berlangsung.
Bahasa Mandar di Kampung Mandar Banyuwangi mengalami difusi linguistik, yakni proses adopsi atau perubahan bentuk dan makna bahasa akibat kontak intensif dengan bahasa lain. Kosakata tertentu mengalami substitusi atau adaptasi karena kebutuhan komunikasi lintas komunitas. Banyak kata Mandar yang terdilusi atau digantikan oleh padanan dari bahasa Jawa, Madura, atau Indonesia.
Tak hanya itu, struktur kalimat dan intonasi pun bergeser mengikuti pola bahasa dominan yang lebih sering digunakan. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh strategi sosial: anak-anak, misalnya, lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau Jawa agar lebih mudah diterima di sekolah maupun dalam pergaulan.
Difusi, Adaptasi, dan Hibriditas
Teori difusi juga membantu kita memahami bahwa perubahan dalam dialek ini bukanlah hasil pelupaan, melainkan bentuk adaptasi dan survival budaya. Komunitas Mandar di Banyuwangi berusaha menjaga keberlanjutan identitas mereka di tengah dominasi bahasa mayoritas. Mereka tidak bisa bertahan dengan bentuk dialek yang sepenuhnya “asli”, karena tuntutan hidup di ruang sosial yang plural mendorong fleksibilitas linguistik.
Akibatnya, lahirlah dialek Mandar-Banyuwangi yang hybrid—sebuah dialek yang tetap membawa aroma kampung halaman, tetapi juga memuat logat lokal dan logika kebahasaan yang baru. Inilah bentuk nyata dari cultural syncretism yang dibicarakan dalam teori difusi modern: ketika unsur budaya yang menyebar mengalami percampuran dengan unsur lokal, lalu melahirkan bentuk baru yang khas.
Walhasil, memahami perubahan dialek melalui teori difusi membuat kita lebih bijak dalam melihat perbedaan. Perbedaan bukanlah kemunduran, melainkan hasil dari perjalanan sejarah yang panjang.
Namun, ini juga menjadi pengingat bahwa tanpa dokumentasi dan kesadaran budaya, hasil-hasil difusi ini bisa hilang dalam diam. Maka, cerita tentang dialek Mandar di Banyuwangi adalah upaya penting untuk memetakan bagaimana warisan budaya menyebar, bertransformasi, dan bertahan.
Kita tidak bisa memaksa bahasa tetap murni. Tapi kita bisa menjaga agar transformasinya tetap bermakna. (*)